Menjelang sore kami pulang kembali ke Jakarta hingga matahari tenggelam barulah kami bisa menginjakan kaki di rumah bercampur lelah."Mbak Ris, Ibu pulang ya. Itu di luar kayanya ada tamu," ucap asistenku, ia terbiasa pulang sore dan berangkat pagi."Oh suruh masuk aja.""Biar Emak yang bawain barang-barang ke dalam sekalian mau istirahat." Emak mengangkat paper bag dan beberapa kantong kresek, oleh-oleh dari Teh Naya dan sebagiannya kubeli di perjalanan tadi.Yang datang ternyata Sabrina bersama Rafka, aku menghela napas jangan sampai ia membuat tubuhku semakin lelah.Wanita itu tersenyum. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawabku dan Mas Lutfi serentak.Ia duduk di sofa bersebrangan denganku dan Mas Lutfi."Kayaknya kalian lagi pada capek ya, sebelumnya mohon maaf aku udah ganggu waktu istirahat kalian," ucap Sabrina.Wajah cantik dan segar itu menatap kami satu persatu, bodohnya aku selalu saja tersimpan cemburu ketika ia memandang suamiku."Ga apa-apa, santai aja. Rafka kan
"Loh itu 'kan Risti, mantan istri kamu, Mas, ngapain dia di sini? Ngebabu? hahaha."Aku yang sedang menyapu halaman sedikit mendongak, nampaknya di sana ada Mas Hanif dengan istri barunya, aku tersenyum masam saja sambil melanjutkan pekerjaan."Dari dulu penampilanmu ga berubah ya, Mbak, masih kaya babu, mana ada lelaki yang mau." Mulut lemes Kirana masih belum juga puas mengejekku.Sedangkan Mas Hanif nampak salah tingkah, mungkin tak enak dengan kelakuan istri barunya."Mas Hanif, kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil maju dua langkah, kebetulan pintu gerbang sedang terbuka lebar.Dengan jumawa Kirana alias pelakor perebut Mas Hanif itu maju satu langkah. "Ya mau pulang ke rumah dong, itu rumah kita."Perempuan mur*h*n itu menunjuk rumah dua tingkat bergaya Eropa modern di hadapanku dengan congkaknya.Aku tersenyum sinis. Entah kenapa kami harus bertemu lagi di kehidupan yang baru ini setelah sekian lama menjauhkan diri.Melihat Kirana sama saja dengan membuka luka lama."Kamu apa k
"Hah istri," ucap Kirana sambil memandang wajah Mas Hanif.Keduanya masih keheranan dan tak percaya kalau aku adalah istri pemilik rumah megah di salah satu komplek ini, bahkan rumah mereka saja masih belum seberapa megahnya dengan rumahku ini."Mas, Anda jangan bercanda deh, masa iya seorang nyonya rumah ini nyapu-nyapu halaman, penampilannya kucel lagi." Mas Hanif bersuara.Kurang ajar sekali memang mulutnya itu, ia tak tahu saja jika di depan suami aku bisa lebih cantik dan sexy dari istri barunya, asalkan dimodali wanita mana pun bisa cantik.Di luar saja penampilanku tertutup dan polosan, kalau di dalam kamar artis Hollywood pun kalah saing."Saya ga bercanda, dia ini istri saya apa perlu perlihatkan buku nikah kita," sahut Mas Lutfi sambil mengeratkan rangkulannya, kami tersenyum bersama.Mas Hanif masih tak percaya, ia geleng-geleng kepala sambil meremas dagunya yang klemis."Terus kenapa tadi dia nyapu-nyapu di depan? Anda pasti bohong 'kan? Atau sebenarnya dia ini memang pemb
"E-eh, jangan dong, Mbak. Kita ... euh ... kita minta maaf." Kirana terbata ketakutan."Minta maaf sama kakakku!" pinta Laila dengan ketus.Kirana menyeringai paksa lalu menatapku."Maaf ya, Mbak, tolong maafin aku," ujarnya seperti ketakutan, sementara suaminya nampak gelisah."Ya sudah saya maafkan, tapi jangan diulangi ya dan jangan pernah lihat orang dari penampilannya, karena penampilan itu bisa menipu."Kirana mangut-mangut tanda setuju."Jangan lapor polisi ya, Mbak," pintanya dengan wajah memelas pada Laila.Adik iparku yang terkenal jutek itu mengerlingkan matanya. "Ya ya, pergi sana.""Ayo ayo, Mas," gumam Kirana sambil menggandeng lengan suaminya.Kirana dan Mas Hanif akhirnya pulang juga dengan wajah pias, aku yakin malu yang mereka rasakan pasti sudah sampai ke ubun-ubun."Mereka itu siapa Mbak sih? Kok kurang ajar banget?" tanya Laila ketika kami duduk bertiga di sofa."tetangga baru, udahlah mereka ga penting." Aku mengalihkan pembicaraan.Tak enak jika Mas Lutfi tahu k
Wajah Mas Lutfi nampak masam setelah tahu kami tetanggaan dengan mantan suamiku, bagaimana lagi ini sudah takdir, hanya itu yang bisa kukatakan."Mas ngambek ya? Mau pindah dari sini?" tanyaku dengan sungguh-sungguh."Ga usah, ngapain pindah. Justru kita harus buktikan sama mantanmu itu kalau kehidupan kamu sekarang lebih baik setelah menikah sama Mas," jawabnya sambil senyum-senyum.Ide bagus, untuk apa menghindar terlebih saat ini ada fitnah yang menyebar, bisa-bisa semua orang menyangka jika tuduhan itu benar.Padahal kami tak pelihara tuyul, Mas Lutfi sering di rumah karena menyerahkan bisnisnya itu pada orang kepercayaannya, ia hanya memantau dari kejauhan, itulah yang kuketahui."Mbak Risti, saya denger selentingan katanya suami Mbak pelihara tuyul, gosip itu ga benar 'kan?" tanya Bu Yani, asisten rumah tanggaku.Setelah beberapa hari sakit demam akhirnya ia bisa kembali bekerja, pekerjaannya pun hanya membersihkan rumah dan mencuci baju saja, soal masak aku yang turun tangan."
Sambil menikmati segarnya udara pagi bersama secangkir kopi, aku melamun membayangkan pertemuan dengan Kirana di masa silam. Saat itu Kirana melamar kerja di kantor Mas Hanif dan ia diterima sebagai staf biasa. Namun, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba ia bisa menjadi sekretarisnya. Sedangkan Lolita, sekretaris Mas Hanif sebelumnya dipecat dengan alasan yang tak masuk akal, perempuan itu mengatakan jika Kirana yang telah berbuat curang dan selalu menggoda Mas Hanif agar naik jabatan. Awalnya aku tak percaya, tetapi setelah mengumpulkan bukti barulah mataku terbuka dan bisa lebih peka membaca gerak-gerik mereka. Entah sejak kapan mereka memiliki hubungan, yang jelas semua ketahuan saat Mas Hanif pura-pura melakukan perjalanan bisnis ke luar kota, nyatanya ia pergi liburan bersama Kirana. "Kamu tega, Mas. Dan kamu juga Kirana ga punya hati, sudah tahu dia punya istri malah kamu pacari?!" Dengan bersimbah air mata aku mengamuk di hadapan mereka yang sedang berlaku mesra di pantai
"Assalamualaikum, selamat siang semua." Mas Lutfi mulai bicara, sedangkan aku berdiri di sampingnya dengan senyuman gembira."Wa'alaikumus'salam." Serentak para tamu menjawab.Jujur saja aku deg-degan jadi pusat perhatian orang, tapi genggaman tangan Mas Lutfi seperti sebuah energi yang menguatkan."Saya Lutfi Dzuhairi selaku pemilik PT Milky Ways ini mengucap banyak terima kasih pada karyawan dari semua divisi dan yang utama kepada Bapak Hendy Sudarno selaku direktur yang telah banyak membantu pabrik ini menjadi berkembang pesat."Orang yang dimaksud suamiku tersenyum lalu menganggukan kepala."Pabrik susu murni ini merupakan cabang kedua, Alhamdulillah pabrik utama yang sekarang berada di desa Cirambay Sukabumi sudah berkembang pesat, dengan teknologi yang lebih canggih."Para tamu bertepuk tangan lagi."Selain pabrik susu kami juga mengelola peternakan sapi perah di desa itu, puluhan sapi bahkan kini hampir mencapai angka seratus itu, selalu menghasilkan susu segar setiap harinya u
"Aku ga ngelakuin apapun! Ya sudah aku minta maaf, Mbak. Habisnya kemarin kalian bikin curiga, aku tanya suamimu kerja apa, Mbaknya ga jawab." Kirana bersuara menyela ucapanku.Aku tahu betul ia sangat menutup aibnya itu rapat-rapat."Masa sih aku ga percaya, cerita dong Mbak Risti." Bu Sisca keukeuh ingin mengetahui."Iya cerita aja," timpal ibu-ibu yang lain."Sebenarnya, suaminya itu hasil nger ....""Cukup ya, Mbak. Kamu jangan ngomong macam-macam! Kenapa sih Mbak fitnah aku?!" Kirana berteriak menyela ucapanku.Orang-orang di sekitar sukses memperhatikan kami, bahkan suamiku sampai berlari menghampiri."Udah udah, yuk ikut Mas, jangan berantem di sini. Ini tempat umum." Mas Lutfi menarik paksa tubuh ini."Awas ya kalau Mbak berani buka rahasia aku maka aku juga akan buka rahasia Mbak!" Kirana mengancam.Karena geram, aku menepis tangan Mas Lutfi dan balik menyerangnya."Aku ga takut ya, bongkar saja silakan di depan umum kalau gitu aku juga bakal bongkar kebusukanmu!" teriakku sa