Mas Lutfi mangut-mangut sambil terus menenangkan Maryam yang masih merengek."Ya sudah kalau gitu siap-siap, kita akan berangkat sekarang. Ris, motor udah dikasih?" Mas Lutfi melirikku.Aku mengangguk. "Udah Mas.""Oh ya, Mak, ga usah bawa baju banyak-banyak, bawa keperluan Emak yang penting aja, soal pakaian kita bisa beli di Jakarta."Emak mengangguk lalu memintaku untuk ditemani berkemas di kamarnya, ketakutan jelas masih tercipta di wajah tuanya."Temani Emak, Maryam biar sama aku." Kata Mas Lutfi seraya keluar bersama Teh Naya, dari kejauhan kudengar mereka mengobrol.Di dalam kamar Emak melipat baju-baju dan memasukkan beberapa buah perhiasan yang selalu ia sembunyikan dari Ririn dan bapak."Terima kasih ya, Ris, tapi beneran ga apa-apa 'kan kalau Emak tinggal sama kamu?" tanya Emak sambil menatapku.Aku mengangguk serius. "Ga apa-apa, Mak, Mas Lutfi juga menerima dengan senang hati, jangan mikir macem-macem ya." Aku tersenyum yakin."Oh, jadi kamu beneran mau pergi, Heti? mau t
"Aku ga ada urusan ya, Rin, dia itu bapak kamu, ya urus lah." Aku berucap sinis.Gantian, karena biasanya dia yang akan bicara ketus seperti itu padaku."Nyebelin! Cepat bilangin ke Emak tentang keadaan bapak, suruh dia pulang urusin suaminya, aku capek tahu nyuciin baju bapak yang bau pesing." Ririn membentak.Aku menahan tawa, akhirnya kena karma juga tuh anak sombong, baru beberapa hari ngurusin bapaknya saja sudah lelah, bagaiman emak yang berpuluh-puluh tahun mengurusnya, tak pernah dihargai lagi."Gugatan ke pengadilan sebentar lagi akan diajukan, Ririn anak manja, jadi bapakmu itu bukan lagi suami emakku, tapi mantan!" tegasku dengan suara pelan."Oh ya, emangnya bapakmu sudah ga kuat jalan ke kamar mandi ya? sampai pipis aja harus di celana?" Aku menahan tawa"Kamu tuh ya bener-bener ngeselin, masa iya nyuruh Emak sendiri bercerai, anak durhaka!" Ririn murka."Bodo amat, dari pada menikah tapi dibuat susah dan ngebatin, ya mending suruh cerai, di rumahku Emak kujadikan ratu, b
"Mbak, sekarang aku benar-benar merasa di posisimu dulu, ditinggalkan dan dicampakkan. Hanya bedanya aku bersama anakku, ada tanggung jawab besar yang harus kupikul." Lagi-lagi Kirana terisak."Aku udah ngerasain karmanya akibat ngerebut suami orang, kamu benar, Mbak, kalau akhirnya Mas Hanif suatu saat akan direbut juga sama orang lain, sekali lagi aku minta maaf," ujar Kirana dengan suara bergetar."Kirana, aku udah maafin kamu." Tenggorokanku tercekat mendengar suara tangisannya."Terima kasih, terima kasih, Mbak. Aku berharap masa depanku nanti akan bahagia bersama anakku, aku harap karma ini hanya berlaku untukku tidak untuk keturunanku." Kirana bicara lagi."Syukurlah kalau kamu udah menyadari semuanya, aku seneng, Kirana."Hening, aku merasa terharu dengan semua yang terjadi, tak dapat dipungkiri ada rasa puas yang menjalar dalam hati, rasanya semua sakitku di masa lalu telah terbayar lunas."Tapi, kamu tinggal di mana sekarang?" tanyaku, agak khawatir juga karena setahuku oran
"Oh, jadi kamu istri keduanya ya?" tanyaku sambil maju satu langkah.Kulihat Bapak tampak khawatir memandang kami bertiga."Maksudnya?" tanya wanita itu terkejut."Dia ini ibu saya, istri pertamanya lelaki ini, fix selama ini Emak dibohongi sama Bapak, ada untungnya juga ya kita kemari." Aku menyeringai sinis.Wanita yang terlihat lebih muda dari emak itu nampak terkejut, sejurus kemudian matanya mulai berkaca-kaca, lalu menatap bapak penuh kecewa"Jadi ... jadi Akang punya istri selain aku?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.Bibir bapak bergetar, tubuhnya terlihat sangat kurus dengan wajah yang semakin menua."Halimah, Akang bisa jelaskan," ucap Bapak sambil berusaha meraih tangannya."Akang udah bohong! Selama sepuluh tahun Akang bohongi aku! Keterlaluan!" Wanita itu berteriak.Sontak saja pasien yang lain saling melirik, karena ini kamar nomor dua, jadinya satu ruangan ditempati oleh beberapa orang."Maaf, Halimah, Maaf," ucap bapak dengan suara bergetar.Aku maju lagi sat
Menjelang sore kami pulang kembali ke Jakarta hingga matahari tenggelam barulah kami bisa menginjakan kaki di rumah bercampur lelah."Mbak Ris, Ibu pulang ya. Itu di luar kayanya ada tamu," ucap asistenku, ia terbiasa pulang sore dan berangkat pagi."Oh suruh masuk aja.""Biar Emak yang bawain barang-barang ke dalam sekalian mau istirahat." Emak mengangkat paper bag dan beberapa kantong kresek, oleh-oleh dari Teh Naya dan sebagiannya kubeli di perjalanan tadi.Yang datang ternyata Sabrina bersama Rafka, aku menghela napas jangan sampai ia membuat tubuhku semakin lelah.Wanita itu tersenyum. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawabku dan Mas Lutfi serentak.Ia duduk di sofa bersebrangan denganku dan Mas Lutfi."Kayaknya kalian lagi pada capek ya, sebelumnya mohon maaf aku udah ganggu waktu istirahat kalian," ucap Sabrina.Wajah cantik dan segar itu menatap kami satu persatu, bodohnya aku selalu saja tersimpan cemburu ketika ia memandang suamiku."Ga apa-apa, santai aja. Rafka kan
"Loh itu 'kan Risti, mantan istri kamu, Mas, ngapain dia di sini? Ngebabu? hahaha."Aku yang sedang menyapu halaman sedikit mendongak, nampaknya di sana ada Mas Hanif dengan istri barunya, aku tersenyum masam saja sambil melanjutkan pekerjaan."Dari dulu penampilanmu ga berubah ya, Mbak, masih kaya babu, mana ada lelaki yang mau." Mulut lemes Kirana masih belum juga puas mengejekku.Sedangkan Mas Hanif nampak salah tingkah, mungkin tak enak dengan kelakuan istri barunya."Mas Hanif, kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil maju dua langkah, kebetulan pintu gerbang sedang terbuka lebar.Dengan jumawa Kirana alias pelakor perebut Mas Hanif itu maju satu langkah. "Ya mau pulang ke rumah dong, itu rumah kita."Perempuan mur*h*n itu menunjuk rumah dua tingkat bergaya Eropa modern di hadapanku dengan congkaknya.Aku tersenyum sinis. Entah kenapa kami harus bertemu lagi di kehidupan yang baru ini setelah sekian lama menjauhkan diri.Melihat Kirana sama saja dengan membuka luka lama."Kamu apa k
"Hah istri," ucap Kirana sambil memandang wajah Mas Hanif.Keduanya masih keheranan dan tak percaya kalau aku adalah istri pemilik rumah megah di salah satu komplek ini, bahkan rumah mereka saja masih belum seberapa megahnya dengan rumahku ini."Mas, Anda jangan bercanda deh, masa iya seorang nyonya rumah ini nyapu-nyapu halaman, penampilannya kucel lagi." Mas Hanif bersuara.Kurang ajar sekali memang mulutnya itu, ia tak tahu saja jika di depan suami aku bisa lebih cantik dan sexy dari istri barunya, asalkan dimodali wanita mana pun bisa cantik.Di luar saja penampilanku tertutup dan polosan, kalau di dalam kamar artis Hollywood pun kalah saing."Saya ga bercanda, dia ini istri saya apa perlu perlihatkan buku nikah kita," sahut Mas Lutfi sambil mengeratkan rangkulannya, kami tersenyum bersama.Mas Hanif masih tak percaya, ia geleng-geleng kepala sambil meremas dagunya yang klemis."Terus kenapa tadi dia nyapu-nyapu di depan? Anda pasti bohong 'kan? Atau sebenarnya dia ini memang pemb
"E-eh, jangan dong, Mbak. Kita ... euh ... kita minta maaf." Kirana terbata ketakutan."Minta maaf sama kakakku!" pinta Laila dengan ketus.Kirana menyeringai paksa lalu menatapku."Maaf ya, Mbak, tolong maafin aku," ujarnya seperti ketakutan, sementara suaminya nampak gelisah."Ya sudah saya maafkan, tapi jangan diulangi ya dan jangan pernah lihat orang dari penampilannya, karena penampilan itu bisa menipu."Kirana mangut-mangut tanda setuju."Jangan lapor polisi ya, Mbak," pintanya dengan wajah memelas pada Laila.Adik iparku yang terkenal jutek itu mengerlingkan matanya. "Ya ya, pergi sana.""Ayo ayo, Mas," gumam Kirana sambil menggandeng lengan suaminya.Kirana dan Mas Hanif akhirnya pulang juga dengan wajah pias, aku yakin malu yang mereka rasakan pasti sudah sampai ke ubun-ubun."Mereka itu siapa Mbak sih? Kok kurang ajar banget?" tanya Laila ketika kami duduk bertiga di sofa."tetangga baru, udahlah mereka ga penting." Aku mengalihkan pembicaraan.Tak enak jika Mas Lutfi tahu k