Share

Erma Yunita

Siapa sebenarnnya dia? Makhluk apa yang aku nikahi ini? Sudut kanan kepalaku berdenyut. Terdengar suara denging yang amat kencang. Sultan duduk di lantai. Ia menundukkan kepala. Perlahan dengan suara parau laki-laki yang kuanggap penipu itu bercerita.

Kisah ini, entah bagaimana bisa terjadi. Begitu mengerikan. Kau perlu  mendengarnya. Lalu katakan aku harus apa?

***

Gadis polos nan cantik, tubuhnya mungil tapi tetap mempesona dengan mata yang berbinar. Orang-orang memanggilnya Ema, padahal nama lengkapnya Erma Yunita. Dia baru saja menikah dengan seorang pria yang tak lain anak dari pembantu di rumah ayahnya dulu. Pernikahan yang ditentang oleh ibunya sendiri. Ia bahkan harus menikmati tendangan, tamparan hingga kehilangan sebagian rambutnya akibat ditarik oleh sang ibu.

“Ngopo koe malah nikah karo preman loh Em, opo ora ono lelanang kang luwih apik?”

Si ibu kesal. Anaknya menikah dengan seorang mantan preman pasar Oro Oro Ombo. Tapi apalah daya, cinta yang terjalin antar kedua insan ini begitu hebat. Jangankan ibunya, bahkan langit pun tak akan mampu membendung bara api asmara mereka. Lima tahun perjuangan cinta Ema dan Nanang menunggu restu. Berhubungan secara sembunyi-sembunyi membuat Erma merasa jenuh. Ia putuskan untuk menceritakan segalanya pada sang Emak. Bukan main marahnya Emak Gogon saat itu. Bukan karena ia tak ingin putrinya bahagia, tapi karena ia sudah pernah berada dalam posisi Erma. Mencintai lelaki durjana yang akhirnya meninggalkan dirinya dengan sembilan orang anak.

“Bapakmu Em, Dia itu minggat. Kelakuannya dulu sama persis seperti Nanang bakalanmu itu,” kata Emak Gogon setelah amarahnya mereda.

“Mas Nanang gak gitu Mak. Cintanya besar buat Ema”

Melihat putrinya begitu mencintai preman pasar itu, hati Emak Gogon luluh juga. Baginya sama saja. Mau mantan preman atau preman, tetaplah lantang luntung di jalanan. Ia cuma bisa berdo’a kepada Tuhan, semoga Ema tak bernasib seperti dirinya. Nanang pemuda yang gagah, tubuhnya tinggi tegap dan berkulit sawo matang, ditambah dengan kemampuan bela diri ala preman. Perempuan mana yang tidak luluh?

Pernikahan digelar secara sederhana, tanpa pesta. Tak lupa Sang Bapak yang minggat datang juga ke acara itu. Maklumlah, Ema anak kesayangan. Lagi pula Nanang sudah akrab sejak kecil dengan Bapak yang bernama Pak Imam itu. Entah kenapa namanya Imam, padahal kelakuannya jauh dari seorang imam yang artinya pemimpin. Imam duduk sambil ngudut, merokok dengan rokok yang dibuat sendiri, dibungkus dengan papir, sebuah kertas yang rasanya manis.

Emak Gogon yang pendiam tak pernah bersiul-siul tentang kisah pertengkarannya dengan Pak Imam. Ia sudah menerima takdir dengan bersahaja. Anak-anaknya tak pernah tau masalah apa yang menimpa pernikahan kedua orang tuanya. Hanya tahu Bapak mereka bejat, tukang kawin. Istrinya saja tiga. Dia sekarang tinggal dengan istri ketiganya.

Pernikahan Ema dan Nanang berbilang lima tahun. Anaknya sudah dua, ditambah satu lagi anak angkat. Anak pertamanya bernama Widya, wajahnya mirip dengan Ema, dengan hidung mancung, alis lebat dan mata berbinar. Anak kedua lahir setelah Widya berusia satu tahun. Untung laki-laki, kalau perempuan pasti sudah diserahkan ke orang lain. Ema memberinya nama Sultan. Kehidupan mereka nampak bahagia dan berkecukupan. Nanang pria yang hebat, ia berhasil membelalak mata-mata orang yang menghinanya dulu.

Bayangkan saja. Dari preman pasar saat bujangan, kini sudah berubah menjadi pebisnis. Rumahnya paling bagus, punya mobil. Bahkan Ema dibuatkan warung supaya tidak bosan di rumah. Orang-orang yang melihat kehidupan Ema akan berdecak kagum. Anak-anak hidup senang, bisa jalan-jalan ke mana saja dan membeli mainan apa pun yang diinginkan. Widya, Sultan, dan Rara hidup seperti putra putri raja. Mereka punya pembantu masing-masing.

Tidak ada yang tahu, Nanang bisnis senjata rakitan ilegal. Pembelinya beraneka ragam. Ada yang pemburu, polisi, tentara, bahkan mafia. Nanang tidak peduli. Baginya yang penting ia bisa membungkam mulut kotor keluarga Ema yang pernah menghinanya sebagai orang melarat. Setali dengan suaminya, Ema malah berjualan minuman keras bertajuk warung. Meski ada juga bakso, mie ayam, soto, dan gorengan.

Istidraj, saat orang-orang yang tampak munafik malah bahagia di dunia. Hingga Allah akan menghina dina mereka kelak di akhirat. Ah, tidak sejauh itu. Bahagia mereka tak bertahan lama. Harta yang tidak halal hanya akan menyebabkan petaka. Ke mana larinya harta haram jika bukan mengajak kepada penikmatnya melakukan hal-hal yang haram pula?

Bencana bermula saat Nanang ketahuan bermain perempuan. Bodoh sekali si Nanang itu, perempuan yang jadi selingkuhannya itu buruk rupa. Ema jauh lebih cantik. Selingkuhannya berkulit gelap dengan rambut keriting, giginya serinya pun tinggal satu. Ema geram bukan kepalang. Bukan hanya karena suaminya main perempuan, tapi ia merasa terhina kalah saing dengan perempuan buruk rupa itu.

Kisah pernikahan dua sejoli ini menemui jalan terjal. Keduanya nyaris bercerai. Ema sempat lari ke rumah Pak Imam. Mereka sudah sampai ke pengadilan. Nanang menyesal, bersujud di kaki Ema. Tak ia pedulikan pandangan mata anak-anaknya. Widya memeluk Sultan, sedangkan Rara masih dalam gendongan Ema. Nanang sesenggukan. Buaya memang mudah mengeluarkan air mata.

“Ampun, Bu. Aku janji akan memperbaiki keadaan. Akan setia.”

Perceraian tidak terjadi. Setelah mediasi kedua insan ini mengakhiri masalah demi anak-anak. Lalu, kembali ke rumah dengan damai. Nanang tidak sadar telah menorehkan luka yang dalam di hati Ema. Wanita lugu itu tidak ikhlas dengan perngkhianatan suaminya. Mereka memang berdamai, tapi justru ini awal dari mala petaka yang menyerang rumah tangga keduanya. Hati Ema penuh dendam yang tersembunyi, menyumpahi lelaki yang tidak bisa ia tinggalkan itu.

“Setan. Aku juga bisa jadi setan perempuan. Seenaknya main serong padahal wes tak ewangi nggolek duit. Titenono koe engko!.”

Tak butuh waktu lama, Ema membalas kelakuan Nanang. Ia bermain asmara dengan bujang yang lebih muda darinya. Menghabiskan harta Nanang untuk berkencan dengan laki-laki tak berharga bernama Budi. Budi tak merasa rugi, baginya Ema adalah sumber dana. Lagi pula Ema cantik, meski beranak dua kali, tapi tubuhnya tetap aduhai. Ema mengajak Budi menginap di rumah jika Nanang keluar kota. Widya dan Sultan pun kerap melihat ibunya bermesraan dengan lelaki yang bukan Bapak mereka, tapi bisa apa anak-anak itu.

Perselingkuhan Ema tercium juga oleh Nanang. Tersambar petir telinganya mendengar desas-desus dari tetangga. Ditambah pengakuan kedua anaknya yang masih polos. Tak mungkin anak itu berdusta bukan? Mereka masih sekolah dasar, lugu. Nanang menunggu Ema yang pulang larut malam. Matanya merah penuh amarah. Dilihatnya Ema, sang istri yang masih cantik itu.

“Dari mana kamu? Dandan menor koyo

lonthe,” kata Nanang dengan mata terbelalak.

“Bukan urusanmu. Aku senang-senanglah. Kamu pikir aku ini tahanan yang bisa kamu paksa tinggal di rumah saja mengurusi bocah-bocah bandel. Sedangkan kamu enak-enakan dengan perempuan yang tinggal di desa sebelah itu. Rumangsamu aku ora ngerti?”

Jawaban Ema membuat  Nanang bungkam. Bukan main pasangan ini. Mereka saling main serong satu sama lain. Perang pun terjadi. Kedua sejoli yang tadinya saling memuja kini malah salang mencaci, menghujat, menghina, dan menyerang. Tak terhitung berapa banyak piring melayang, kaca pecah, bahkan pintu yang jebol.  Rumah tangga itu bagai neraka bagi bocah-bocah kecil yang menangis di kamar mereka. Saling memeluk ketakutan. Kasihan jiwa-jiwa itu, mereka tumbuh di bawah tekanan. Setiap hari ketakutan, mendengar teriakan-teriakan saling bersahut dari kedua orang tuanya. Widya memeluk Sultan, mencoba menenangkan adiknya yang menggigil.

***

“Sultan. Ayo sini bantu Ibu cuci sayuran ini, terus potong-potong ya!”

Sultan mengangguk. Anak itu tumbuh tampan. Masih sekolah dasar, tapi pesonanya sudah menyedot perhatian seisi kampung. Sultan rajin membantu Ema menyiapkan dagangan. Di mana ada Ema, di sana pula ada Sultan. Bahkan hingga usia remaja tanggung pun Sultan masih tidur sekamar dengan Ibunya. Ema tak pernah membiarkan ia pergi jauh-jauh. Dijaganya erat-erat anak itu. Dalam pikirannya, pergaulan pemuda bisa menyesatkan.

Sultan jarang bermain dengan anak laki-laki seusianya. Ia malah lebih suka bermain masak-masakan, bongkar pasang, atau rumah-rumahan dengan teman perempuan. Belum lagi teman Widya dan Rara juga banyak yang perempuan. Akhirnya mereka sering main boneka bersama. Lagi pula Sultan juga lebih dekat dengan ibunya, Bapaknya pergi dari subuh dan pulang sudah larut malam.

Lambat laun Sultan mulai menyukai pekerjaan perempuan. Memasaklah favoritnya, dari semua hal yang ia lakukan bersama ibunya. Warung Ema selalu ramai. Sultan sering membantu ibunya melayani pembeli. Beruntung ia tak pernah tertarik pada rokok atau minuman keras. Ibunya mewanti-wanti agar Sultan menjauh dari dua benda itu.

“Ganteng temen putrane niki mba Ema, jan koyo londo,” kata salah seorang pria pengunjung warung.

Pria itu tidak diketahui nama aslinya, tapi orang biasa menyebutnya Gareng. Asap rokok adalah sahabat sejati Gareng. Ia bisa menghabiskan sepuluh bungkus rokok sehari. Tak heran kalau bininya memilih kabur. Tak pernah dapat uang belanja, semua habis untuk beli rokok. Hidup untuk rokok, begitulah falsafah pria setengah baya ini.

Gareng menarik tangan Sultan. Dimintanya bocah kecil itu duduk di pangkuannya. Dia berbicara ngalor-ngidul sambil terus mengisap cerutunya. Sesekali disemburkannya asap itu ke arah Sultan yang langsung terbatuk-batuk. Gareng tertawa, wajah Sultan yang merah dianggapnya lucu. Sultan memang tampak seperti amrad, pria muda berwajah tampan menggemaskan. Orang tua seharusnya waspada pada anak lelaki yang mulai remaja seperti ini. Karena ia mengandung daya tarik yang bisa menyesatkan orang-orang yang berhawa nafsu tinggi lagi menyimpang.

Dalam kitab Dzammul Hawa, seorang ulama bernama Abu Sa’ib mengatakan ia lebih merasa takut seorang ahli ibadah dari terkena fitnah seorang laki-laki berparas indah dibandingkan tujuh puluh gadis. Bahkan ada sebuah riwayat. Suatu ketika Isa Bin Maryam melihat seorang laki-laki yang dibakar api. Beliau mengambil air lalu memadamkan api itu. Namun, api itu kemudian berubah menjadi seorang anak laki-laki dan laki-laki tadi berubah menjadi api yang membakar. Isa pun berdo’a kepada Allah agar mengembalikan kedua orang di hadapannya seperti bagaimana mereka di dunia, supaya beliau bisa bertanya penyebabnya.

Laki-laki itu menjawab, “Wahai Ruh Allah, aku dulu terfitnah ketika di dunia oleh rasa cinta kepada anak laki-laki muda ini dan nafsuku timbul untuk melakukan sodomi terhadapnya. Maka tatkala aku mati, anak laki-laki ini juga mati. Ketika aku menjadi api aku membakarnya, begitupun sebaliknya. Inilah siksa yang akan kami terima sampai hari kiamat nanti.” Naudzubillah summa naudzubillah. Semoga Allah jauhkan hal buruk itu.

Dosa berhubungan intim dengan laki-laki amat berat hukumannya. Bahkan Rasulullah mengatakan dengan jelas bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka kedua pelakunya harus dibunuh. Sebab pelaku penyuka sesama jenis akan dengan mudah menularkan hasratnya kepada orang lain.

Bahkan orang yang tadinya seorang heteroseksual bisa berubah menjadi penyuka sesama jenis karena pernah disodomi. Meski tidak semuanya. Bergantung pada ketahanan jiwa individu. Namun, Allah Maha Pengampun bagi mereka yang mau bertaubat nasuha. Rasulullah pun paling takut jika kelak umatnya melakukan perbuatan kaum Luth.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status