Tik tok tik tok.
Jam dinding bergerak sama seperti kemarin. Detik, menit, jam terasa lebih lama. Ah, bencinya menunggu. Rasa kesemutan menjalar di kaki. Air mata mengering menyisakan pedih mengikis jiwa. Gemetaran pun mulai mereda. Batinku menguat seperti palu baja guna menghantam pendusta. Sejak tadi pikiranku sibuk menyiapkan kata-kata terpedas untuk Sultan. Semoga dia tersayat, seperti aku.
Aliran udara berderu cepat, naik turun tak beraturan. Sumpah serapah bergema di telinga, entah siapa yang membisikkannya. Sultan jadi buruk sekali. Lebih mengerikan daripada babi hutan yang berkubang dengan kotorannya sendiri. Otakku mendidih. Tanganku menggengam menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Tak tahu bagaimana rupaku kini. Aku bagai iblis yang siap memanah Adam dengan api neraka.
Setan pandai sekali menyusup ke dalam hati. Ia tampakkan segala keburukan Sultan, bahkan yang sudah lama terlupakan. Dirangkainya menjadi kisah yang membuatku seakan sebagai korban. Keji. Pintar sekali ia membuat hidupku seperti rol film yang sengaja menghilangkan adegan kebaikan-kebaikan Sultan.
Tak hanya itu. Makhluk yang dibuat dari api ini pun membuatku seolah menjadi malaikat tak bersayap. Yang paling menderita. Yang teraniaya. Tanpa ampun. Ia kerahkan energinya untuk menghasutku supaya mengeluarkan kata-kata ajian. Misinya untuk menyumpahi Sultan mati dalam keadaan berdosa. Jahat benar setan itu, bukan? Ia selalu ingin keturunan Adam mati dalam keadaan belum bertobat. Supaya masuk neraka bersamanya.
Hei, di mana para malaikat ini? Apa ia biarkan setan terus menerus melumatku begini. Hatiku mulai mencari nurani. Dari tadi bongkahan daging itu diam saja. Bagaimana kalau dia mati? Sebab setan dari tadi menyelimuti hatiku. Tapi, biar saja… persetan dengan nurani. Aku akan melangkah dengan pikiranku sendiri. Sudah cukup selama ini terus mengalah dan disalahkan. Kini kutemukan alasan untuk marah padanya.
Lalu terdengar suara motor Sultan. Ia pulang dengan wajah muram. Padahal, tadi dia pergi dengan semangat. Terdengar suara pintu dibuka. Tampak sepasang kaki masuk, tanpa memberi salam. Pria berambut lebat itu melihatku yang sedang duduk di kursi menatapnya bagai pedang tajam terhunus. Maju sedikit saja ia pasti mati. Sultan mengerutkan kening.
“Kenapa kamu Kay? Mukamu kaya orang kesambet,” dia berucap sambil tertawa kecil, maksudnya bercanda.
Aku tak sanggup menjawab. Kata-kata yang sudah kurangkai untuk memakinya sejak tadi tak sampai tertumpah. Berhenti ditenggorokan, beradu dengan udara yang masuk hingga membuatku jadi sulit bernafas. Hanya linangan air mata yang meluapkan rasa. Tak bisa dibendung, mengalir semaunya. Sultan duduk disampingku sembari menyentuh bahu. Menatap aku yang tertunduk sesenggukan. Lalu memeluk erat-erat.
“Ada apa Kay? Kenapa kamu nangis?” Suara Sultan sedikit terbata.
Tangisan ini membuatku tak mampu berujar apa. Sultan mengambilkan air minum. Setelah mengisi kerongkongan dengan air, nafas yang tersengal kini mulai ada jeda untuk menyampaikan kata.
“Ambil ponselmu!” pintaku singkat.
Sultan tersentak, ia beranjak seperti manusia tanpa tulang. Diambilnya benda kesayangannya itu. Gontai ia mendekat. Tatapannya sendu. Seolah bisa meramalkan bahwa bencana akan menimpanya.
“Buka!” kataku sambil melihat ke arahnya.
Sultan menggeleng, wajahnya pucat pasi. Persis seperti wajah Cak Boby setelah menjadi jenazah tempo dulu. Bedanya, Sultan masih hidup. Dia berlutut di depanku, menciumi tanganku berulang ulang.
“Maafin aku, Kay...Maaf...!”
Sultan menangis sambil terus menenggelamkan wajahnya di pangkuanku. Bahunya berguncang. Aku ingin menarik tangan lalu memukul kepalanya agar remuk, hingga keluar isi kebusukan dari dalam otaknya. Tapi, tak bisa. Tubuhku melemas. Kami menangis bersama. Dia berusaha memeluk, tapi aku menolaknya. Kudorong tubuhnya hingga terpental mengenai meja. Punggungnya terbentur. Ia meringis merasakan sakit. Aku tak peduli, yang kurasakan jauh lebih getir.
Selama berjam-jam tiada kata terucap. Aku masih duduk di kursi dan Sultan tetap di samping meja. Hening. Hanya ada sesekali suara angin meniup pepohonan.
“Aku beri waktu padamu untuk bicara, apa yang terjadi?” kata-kataku memecah sunyi.
“Kamu udah tahu semuanya, kan? Kamu pasti udah liat pesan-pesanku. Apa lagi yang ingin kamu dengar, Kay?”
“Penipu!” kataku dengan amat lirih nyaris tak terdengar. Ditambah dengan air mata yang tiba-tiba jatuh lagi.
“Kamu anggap aku ini? Bisa-bisanya kamu umbar auratmu pada orang-orang begitu saja. Apa kamu gak punya malu? Menjijikkan! Hubungan macam apa yang ingin kamu jalin bersamaku? Kamu jadikan aku tameng untuk menutupi segala kemaksiatanmu!”
Sultan diam saja. Ia menangis lagi. Air mata buaya. Terlambat kau menangis sekarang. Api menguasai hati hingga menjalar ke seluruh tubuh. Terasa membakar ubun-ubun. Aku berusaha sekuat tenaga mengerem umpatan kasar yang mengantri di lidah. Bagaimana pun setan tak boleh mengambil alih. Meski nyatanya emosiku nyaris mencapai puncak.
“Aku mati aja ya Kay. Supaya kamu gak menderita gara-gara aku. Bunuhlah. Aku ikhlas mati di tangan kamu.”
“Bullshit! Kamu ingat darah dagingmu. Mau bikin anak itu jadi yatim yang ibunya dipenjara karena membunuh Bapaknya? Jahat banget ya? Kamu yang salah kenapa kami yang harus menerima akibatnya?”
Kalimat itu meluncur tanpa kendali, memberondong Sultan dengan pertanyaan yang tak mampu ia jawab. Sultan mulai muntah-muntah. Karena tertekan asam lambungnya naik. Tubuhnya bergetar. Ia menangis ingin memelukku lagi. Tentu saja aku tolak. Tidak ada perdamaian saat ini. Dia bersujud di kakiku dan menangis, segera kutepis hingga kepalanya terbentur lantai. Suaranya cukup keras. Aku tidak peduli. Rasa kasihan di hati tergilas pengkhianatannya.
Sultan menuju dapur lalu kembali dengan pisau di tangannya. Dia mengancam akan bunuh diri.
“Semoga kematianku bisa menenangkanmu.”
Aku merebut pisau itu sampai melukai tanganku, darahnya menetes di lantai. Mati rasa, aku bahkan tidak keperihan sama sekali. Jika para ratu terpesona ketampanan Yusuf hingga tak terasa mengiris tangan mereka sendiri. Maka rasa sesak itu pun begitu, hingga sayatan itu tak berarti.
“Kematianmu tidak sebanding dengan rasa sakit yang kau timpakan padaku, pendusta!”
“Aku mohon Kay letakkan pisaunya, jangan melukai dirimu karena aku!” Sultan mulai melangkah.
“Jangan dekat-dekat!” kataku sembari mengarahkan ujung pisau padanya.
“Pergi dariku pria jalang. Pergi!”
Mataku menatap penuh murka. Pisau itu kulemparkan ke arahnya. Sultan menghindar, benda tajam itu melayang mengenai keramik hiasan berbentuk kura-kura, membuat benda itu terpelanting lalu hancur. Sudah kuduga, dia takut mati. Pria ini pengecut tak mungkin ia berani melukai dirinya sendiri. Mungkin yang dia bisa hanya menyakiti orang lain.
Adnan terbangun, ia menangis keras. Bayi kecil itu kaget mendengar suara bising. Kata orang, anak selalu tahu jika orang tuanya sedang dalam masalah. Tanpa aba-aba Adnan turun dari tempat tidur menangis berjalan perlahan menuju Sultan. Pria itu semakin terisak.
Aku tidak bisa meraba pikiran atau hatinya sama sekali. Yang kurasakan jarak antara kami semakin membentang. Dia begitu jauh sampai aku tidak bisa menyentuh bayangannya sekalipun. Kami bersama dalam satu ruangan, tapi hati tidak menyatu.
Dia. Pria yang selama ini bersamaku serupa iblis berwajah malaikat. Bahkan iblis dan malaikat seperti bergantian merasukinya. Aku tidak ingin marah, tapi api neraka seperti menyala-nyala di atas kepalaku. Bahkan terdengar suara tawa raja setan yang menggema di telinga.
Tanganku meremat dada, memukulnya sembari jatuh terduduk. Dunia. Bolehkah aku pergi atau menghilang beberapa saat. Jadikan ini alam mimpi. Lalu biarkan aku terbangun di dunia lain. Tuhan, di manakah Engkau?
Tuhan, terimakasih telah membuka tabir dusta yang tersembunyi. Sebuah neraka dunia. Mudah-mudahan ini akan meringankan rasa sakitku kelak di akhirat. Hari ini telah Kau tampakkan gua hitam dari kisah Sultan. Sebuah lubang pekat yang menyeretku tanpa ampun. Akankah cahaya mampu menyinari?
****
Siapa sebenarnnya dia? Makhluk apa yang aku nikahi ini? Sudut kanan kepalaku berdenyut. Terdengar suara denging yang amat kencang. Sultan duduk di lantai. Ia menundukkan kepala. Perlahan dengan suara parau laki-laki yang kuanggap penipu itu bercerita.Kisah ini, entah bagaimana bisa terjadi. Begitu mengerikan. Kau perlu mendengarnya. Lalu katakan aku harus apa?***Gadis polos nan cantik,tubuhnya mungil tapi tetap mempesona dengan mata yang berbinar. Orang-orang memanggilnya Ema,padahal nama lengkapnya Erma Yunita. Dia baru saja menikah dengan seorang pria yang tak lain anak dari pembantu di rumah ayahnya dulu. Pernikahan yang ditentang oleh ibunya sendiri. Ia bahkan harus menikmati tendangan, tamparan hingga kehilangan sebagian rambutnya akibat ditarik oleh sang ibu.“Ngopo koe malah nikah karo preman loh Em, opo ora ono lelanang kang luwih apik?”Si ibu kesal. Anaknya menikah dengan seorang man
“Wangine...nganggo minyak wangi tho Le?Suara Gareng makin menakutkan. Sultan gemetaran setengah mati. Lelaki ini bau sekali, entah berapa lama ia tak mandi. Kalau dari aroma tubuhnya sepertinya sudah lebih dari satu bulan. Dekil benar penampilannya. Ema segera menarik anaknya yang nampak tak nyaman dipangkuan Gareng. Pria itutersenyum sambil terus memandangi Sultan yang sedang sibuk membantu ibunya.SeminggukemudianGareng datang lagi. Kali ini dia sudah bercukur. Badannya juga wangi, bajunya rapi. Ema terheran-heran melihat rupa Gareng yang baru. Sedang mengincar jandakah pria cungkring ini?Sepertinya tak ada janda atau perawan cantik di sini. Tidak mungkin kalau sudah menikah. Dia pasti sudah berkicau kemana-mana kalauada perempuan dungu yang mau saja dinikahinya.“Rupamu kok lain Mas Gareng? Punya pacar baru?”“Ah, mboten mbak Ema
Hutang keluarga menumpuk. Bisnis jual beli senjata rakitan ayahSultannyaris terbongkar aparat. Beruntung sudah ditutup. Pak Nanang kini membuka jasa memperbaiki alat elektronikapa sajadi pasar. Penghasilannya tentu jauh dari yang diharapkan. Mobil satu-satunya harus dijual. Warung ibunya juga sudah lama tak beroperasi. Maklum,banyak tetangga yang tidak suka ada penjual minuman keras di daerah mereka.Siapa lagi yang harus membantu perekonomian keluarga,jika bukan Sultan. Widya sudah menikah dan sibuk dengan kembang kempis keuangan keluarganya sendiri yang juga masih seumur jagung. Sedangkan Rara, dia bahkan belum lulus kuliah. Jadilah Sultan yang pontang-panting mencari uang untuk membayar hutang. Pekerjaannya sebagai guru tataboga SMK tentu tidak banyak membantu.Berani sekali Ema,mencari hutangan kepada rentenir untuk membayar hutang cicilan yang lain. Akibatnya, bukan mempermudah keadaan
“Sekarang kamu sudah tahu semuanya Kay,” ucapSultan sambil menatap kosong ke arah langit-langit kamar.Adnan sudah tidur. Aku diam. Mencoba menerka apa yang tengah kualami. Mimpi burukkah? Pernahkan kau merasa seperti berada di dunia lain lalu mencoba tidur dan ingin kembali bangun di duniamu? Tidak! Ternyata inilah duniaku sekarang. Sebuah fase kelam yang entah kapan kan bercahaya. Bahkan untuk berharap pun aku tidak berani.Suara azan memecah suasana. Mengalun lembut menembus kehati. Baru kali ini suara itubegitu membuatku terenyuh. Panggilan Tuhan itu, kenapa baru kusadari sekarang?Air wudu membasuh wajah,dinginnya meresap hingga kedalam pori-pori. Ketika wudu,dosa-dosa kita akan luntur bersama air. Baik sekali Allah bukan? Sesungguhnya bukan air yang membersihkan dosa,tapi ketaatan kita terhadap Allah .Aku harus kuat seperti air,entah apa yang ada dihadapannya
Terdengar suara printerbekerja dipagi hari.“Pagi-pagi udah sibuk sama printer.”“Aku mau mengundurkan diri dari kantor. Ingin punya lebih banyak waktu bersamamu.”Entah kenapa jawaban Sultan membuatku tersenyum. Mudah-mudahan dia benar-benar berubah. Ia tampak sibuk dengan pekerjaannya. Aku melangkah ke dapur bermaksud memasak. Ternyata,dimeja sudah tersedia sarapan. Aromanya menggoda.Aku memang lapar, seharian kemarin nafsu makan hilang.“Aku sudah masak, kamu makan duluan aja. Aku mau ke kantor dulu pagi ini sambil belanja keperluan resto. Aku udah kenyang minum teh sama sedikit roti tadi.”“Kamu gak mau sarapan bareng sama aku?”“Aku buru-buru Sayang, Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Sayang? Sudah lama sekali aku tidak mendengar panggilan itu. Hari ini Sultan begitumani
Lebih dari setahun berlalu. Usia Adnan juga sudah menyentuhtiga tahun. Ia lucu dan manis. Sultan seperti yang kukira, kebiasaan baiknya beribadah hanya ritual semata. Tak ada ruh di dalamnya. Aku muak melihatnya yang selalu kesiangan salatsubuh.Jika dibangunkan,dia akan bilang “nanti sebentar lagi.” Ia juga sering melambatkan salat isya atau mungkin tidak shalat. Padahal, salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat subuh.Kupilih untuk menyibukkan diri dibutik. Akhir-akhir ini pesanan gaun muslimah semakin meningkat. Aku dan Nirmala sampai kewalahan melayani pesanan yang datang. Mereka tak hanya membeli baju yang sudah tersedia, tapi juga minta dibuatkan gaun pesta yangtidak terkesan glamour.Yah, sebaik-baik pakaian tentu pakaian takwa, yang menutup aurat, tidak ketat, tidak transparan, dan tidak mencolok. Intinya tidak menarik perhatian.Nirmala sampai berkali-kali pulang
Hari ini pesanan Angela,tunangan Mr. Lucas,seharusnya sudah selesai. Terakhir kemarin tinggal memasang payet. Dua gaun selesai dalam waktu kurang dari dua bulan. Untunglah. Kukira akan meleset dari waktu yang ditentukan. Sampai dibutik,Ayana menatapku dengan wajah yang cemas. Ayana,pegawai baru yang menemani Nirmala, menggigit bibir,matanya memerah.“Kenapa Wajahmu begitu,Na?”“Mbak Kay maaf banget ya. Gaun Bu Angela agak tersayat,tadi jatuh terus kesangkut sama tanaman hias yang disampingnya”“Hah? Astaghfirullah. Rusaknya parah gak? Apa kita harus ngulang bikin lagi. Aduh,aku dah bilang besok bisa diambil lagi.”Gaun berwarna merah itu rusaknya cukup mengerikan. Bisa diperbaiki sebenarnya,hanya saja akan merubah modelnya. Dan kalau diambil besok berarti aku harus menyelesaikannya malam ini. Segera kuhubungi Bude Larsih supaya menjemput Adnan dan mengant
“Bagaimana perkembangan suamimu, Kay?”tanya Umi Ratna melalui telepon.“Aku tidak tahu Umi. Sampai sekarang belum ada bukti kalau dia memang bermain api lagi. Tapi aku merasa ada yang tidak beres. Hari ini dia pulangdari pelatihan. Selama ini sikapnya biasa saja, kami juga akrab, seperti pasangan normal lainnya. Dia kan pandai menyembunyikan sesuatu.”“Ya sudah kamu lihat saja dulu perkembangannya. Tidak gampang mengajak orang kembali kejalan Allah. Apalagi kalau dia sendiri belum berniat. Kamu harus mengetuk hatinya berulang kali,” papar Umi Ratna.Aku tahu beliau berniat menguatkan. Meski sebenarnya Umi Ratna telah lama menyarankan perpisahan. Sebab,analisanya secara hitung-hitungan psikologis menyatakan Sultan memang tidak akan berubah, kemungkinannya kecil sekali. Jika bukan karena Allah sendiri yang menyentuhnya, maka ia akan tetap seperti itu.Yah, Sultan hatinya keras.Bagaimana