Share

Keganjilan

Hampir setiap ada kesempatan Sultan selalu menyempatkan diri berlibur. Pria itu pekerja keras, wawasannya luas, dan suka bercanda. Ia selalu mudah diterima di mana saja. Setiap kali ada Sultan, selalu ada tawa. Kepiawaian dalam mengolah kata menjadi kalimat yang lucu menjadikannya sebagai sosok yang humoris, renyah, dan dekat dengan siapa saja.

 

“Sayang. Aku karokean ya?”

 

“Karoke lagi? Kemarin kan udah,” aku protes.

 

“Bentar kok. Satu jam aja ya. Kamu mau aku bawain apa?”

 

Aku menggeleng malas.

 

Berbeda dengan Sultan, aku tidak suka musik atau  hal-hal berisik lainnya. Pria muda berambut sedikit  ikal itu lebih sering bepergian sendiri atau dengan teman-temannya. Jika ke bioskop aku tidak keberatan ikut. Itupun kalau filmnya kartun anak-anak, drama keluarga, atau film Islami. Selain itu, lebih baik di rumah saja. Yah, aku dan Sultan memang berbeda. Meski kami juga memiliki beberapa kesamaan. 

 

Sultan orang yang teliti dan rajin. Setiap malam selalu mencuci wajahnya, tak lupa mengoleskan krim malam setelah terlebih menggunakan penyegar. Setiap akan pergi ke kantor pria berhidung mancung itu menggunakan pelembab wajah dan bedak, menyisir rambutnya dengan rapi. Tak lupa minyak wangi aroma maskulin. 

 

Diawal menikah aku sempat heran melihat kebiasaan Sultan. Ia lebih rajin merawat kulitnya dari pada aku. Saat membeli lulur mandi, ia memintaku memakaikan lulur padanya. Dia juga mengajak ke salon untuk facial wajah atau sekedar creambath, sejenis perawatan rambut. Aku terpaku.

 

Mungkin dia sempat membaca raut wajahku yang penuh tanda tanya. Tapi dengan santai ia menjelaskan kalau dirinya mendapat tunjangan penampilan. 

 

“Sayang uangnya Kay, kalau gak dipakai. Aku punya banyak voucher perawatan mahal di tas. Ambil aja kalau kamu mau. Eh iya kalau aku suntik vitamin C gimana? Biar kulitku kinclong.”

 

Aku meringis.

 

Pekerjaannya sebagai marketer memang membuatnya harus menjaga penampilan. Tapi... Haruskah sampai sedetail itu? Aku saja yang asli perempuan malah tidak mahir dalam perawatan. Kulitku memang sudah asli berwarna cerah, jadi cukup menggunakan produk pasaran saja tanpa harus sering-sering ke salon.

 

Klimis. Aku menyebutnya begitu. Yah, dia memang licin dengan rambutnya yang selalu diolesi minyak rambut merek ternama. Setiap kali hendak ke kantor selalu bingung gaya rambut apa yang akan ia terapkan hari ini. Seperti boneka Ken, pasangan Barbie. Belum lagi dengan parfum yang wanginya tercium hingga jarak tiga meter. Bahkan di tasnya ada bedak mahal keluaran terbaru. Duh, metroseksual sekali! Risih melihatnya, hanya aku tak pernah menyampaikan hal itu. 

 

“Udah ganteng belum?”

Itulah kalimat wajib yang selalu keluar dari bibirnya sebelum keluar dari rumah.

 

Setahuku lelaki adalah sosok yang cenderung diam dan banyak berpikir. Sementara wanita cenderung lebih banyak bicara dari pada berpikir. Selain itu, pria suka hal-hal yang berbau mekanik serta menantang, sedangkan wanita lebih suka pada hal-hal yang lembut dan drama. Yah, pria itu seperti mars dan wanita seperti venus. Tapi yang ada di hadapanku ini adalah lelaki yang seperti venus. 

 

Suatu hari ia meneteskan air mata kala duduk sendiri.

 

“Kenapa kamu Mas?”

 

“Sedih. Kasian artis itu. Suaminya mati, rumahnya kebakar lagi.” Ia menjawab sembari menunjuk sosok pada layar kaca di depan kami.

 

Aku memiringkan kepala sambil mengerutkan alis. Acara gosip? Kemarin dia ikut marah-marah ketika nonton sinetron. Anehnya, ia tidak suka menonton siaran sepak bola atau Moto GP. Di sinilah titik yang membuatku bingung. Biasanya pria akan berjuang untuk bangun dini hari demi menonton siaran sepak bola langsung. Menonton sambil emosi ketika jagoannya tidak bisa mencetak gol. Begitulah pria Mars. Tapi Sultan, venus sekali bukan?

 

Lelaki ketika membeli pakaian maka akan langsung menuju toko langganannya, lalu pulang dengan satu produk yang ia inginkan. Sedangkan wanita akan keliling mall hanya untuk membeli sebuah gantungan tas yang ia incar. Lebih dari itu, kaum hawa ini malah berselancar siapa tahu ada bentuk lain yang lebih bagus. Bahkan ada yang bisa jadi seharian sudah berkeliling mall ia bukannya membeli gantungan kunci saja tapi juga baju, sepatu, tas, dan lainnya.

 

Sultan berbeda. Aku pernah menemaninya membeli sandal. Hari itu kami memasuki berbagai toko dan mencoba bermacam-macam merek sandal. Tapi, tak satupun yang sesuai dengan keinginannya. 

 

“Ini bagus sih, tapi gak nyaman. Kita cari lagi yuk!”

 

“Hah? Mau berapa toko lagi?”

 

Bayangkan! Aku yang masih mual-mual karena hamil, harus pula menemaninya belanja. Sampai pada membeli pakaian atau parfum pun membutuhkan waktu berjam-jam untuk bisa menemukan produk yang ia inginkan. Jika banyak bapak-bapak yang menunggu istrinya belanja di ruang tunggu, maka kasusku terbalik. Aku yang menunggu Sultan belanja sambil memijit kakiku yang sudah mati rasa. 

 

Meski hatinya lembut, tapi ia mudah sekali tersinggung. Jika marah, maka ia akan diam tanpa mau bicara apapun. Atau yanglebih mengerikan membanting pintu atau apa saja yang ada di dekatnya. Kalau sudah begitu, aku juga akan diam. Wajahnya mengerikan persis seperti ikan hiu yang kehilangan mangsa. Perlu menunggu hingga beberapa jam untuk bisa mengajaknya bicara lagi. 

 

Kalau kami sedang bertengkar aku lebih memilih menulis surat atau mengiriminya pesan. Sebab, ia akan menghindar jika diajak bicara. Sebenarnya cara berkomunikasi ini kurang baik, tapi ini satu-satunya pilihan yang bisa kulakukan dari pada terus bungkam tanpa penyelesaian. Mendiamkan masalah hanya akan membuatnya menjadi bom waktu yang kelak akan menjadi ledakan maha dahsyat yang menghancurkan bukan?

 

***

 

Dilain hal Sultan selalu berhasil membuatku tertawa. Burung-burung bernyanyi pun tak bisa membuatku melupakan hal-hal buruk yang terjadi. Sedangkan Sultan, hanya dengan satu atau dua kalimat saja aku bisa melupakan masalah yang menimpaku. Setidaknya menenangkan pikiranku sejenak. 

 

“Eh, bulu matamu jatuh Mas?” Aku mengambil sehelai bulu mata yang menempel di pipinya.

 

“Jangan dibuang! Coba kamu tarok di salah satu jariku.” Ia membuka jari manis, tengah, dan telunjuk. Aku meletakkan bulu mata tadi pada jari manisnya. Pria muda itu tersenyum.

 

“Apa?”

 

“Aku memberi nama di masing-masing jari. Yang jari manis… ehm seseorang, yang jari tengah ehm…. Yang jari telunjuk si…”ucapnya sambil mengarahkan pandangan ke langit-langit.

 

“Jadi?” tanyaku lagi.

 

“Bulu mata jatuh itu tandanya ada yang kangen. Jadi yang kangen sama aku itu…”

 

“Siapa?”

 

Sultan tertawa. Aku terus mendesaknya untuk mengatakan siapa yang merindukannya sampai pipinya merah merona begitu. Tapi, dia justru tidak mau menjawabnya. Menyebalkan.

Suamiku itu selalu mengatakan kalau dia bukan pria romantis, memang benar.

 

Dia orang yang peduli. Perhatian pada keluargaku. Bahkan, pada hal-hal yang terkadang justru tidak terperhatikan olehku sama sekali. Sedikit lucu, seharusnya lelaki luput dari hal-hal kecil, tapi ia tidak. Ia ingat merek  shampo, sabun, bedak, pasta gigi, parfum, dan segala hal yang biasa kupakai.

 

Setiap bulan ia selalu membelikanku baju baru. Katanya supaya rejekinya bertambah. Sedekah yang paling baik adalah sedekah terhadap kerabat sendiri kan? Apalagi terhadap istri. Kalau yang ini aku setuju tanpa perdebatan.

 

Sebenarnya ia tidak perlu melakukan itu. Aku punya butik sendiri yang sudah kubuka sejak menikah dengan Sultan. Tapi, tetap saja rasa bahagia muncul saat menerima hadiah darinya.

Ia sering menemaniku di butik jika sedang libur atau cuti. Sudah kutebak ia pasti akan banyak berkomentar tentang design maupun jahitanku, seperti berkomentar ketika aku sedang memasak.Sultan memang mengerti fashion, pria metroseksual pasti tahu produk-produk terbaru.

 

Pulang dari butik ia akan memasak juga mencuci baju, jika tidak sempat mengantarnya ke tempat pencucian baju dekat perumahan kami. Aku membantunya sedikit demi sedikit, tapi tak pernah sampai selesai. Wanita hamil tidak boleh terlalu banyak bekerja. Sultan nyaris tidak pernah mengeluh melakukan semua ini. Tentu saja. Pria itu yang sangat menginginkan anak. 

 

***

 

“Selamat ulang tahun Kay bidadariku,” senyum merekah di wajahnya.

 

Bibirku menyungging senyum, bukan main senangnya. Siapa yang tidak melayang mendapat kejutan ulang tahun dari suaminya sendiri. Rumahku mendadak lebih indah dari pada Menara Eifel atau Taman Bunga Dubai. Bunga-bunga di pekarangan rumah pun ikut tersenyum melihat adegan romantis ini. Tak lupa ia mengecup keningku. 

 

“Terimakasih.” Jawabku membalas kejutan dengan kecupan hangat dibibirnya. 

 

Orang-orang melihat kami sebagai pasangan yang serasi dan bahagia. Banyak yang merasa ingin seberuntung kami. Menikah diusia muda, punya rumah bahkan sebelum anak kami lahir, dan memiliki usaha sendiri meski masih hitungan usaha kecil. Yah, itulah yang tampak dari luar. Orang selalu melihat dan menilai apa yang mereka ketahui dengan panca inderanya, tapi tidak dengan pikiran dan pemahamannya.

 

Selama aku hamil pun Sultan tak pernah membiarkanku membawa motor seorang diri ke butik, walaupun jarak antara butik dan rumahku tidak terlalu jauh. Ia mengantar pagi hari dan menjemputku saat sore sepulang dari kantor. Jika harus lembur, maka ia akan berusaha minta izin pada bosnya agar bisa mengantarku pulang lebih dulu. 

 

“Ingat jangan bawa kendaraan sendiri. Tunggu aku! Jangan naik kendaraan umum juga.”

 

Hidup terasa indah, nyaris sempurna. Terlepas dari Sultan yang selalu ribut memintaku berdandan cantik setiap hari. Sejauh ini bisa, tapi nanti kalau sudah sibuk mengurus bayi aku kurang yakin. Bukankah ibu dengan bayi kecil lebih repot daripada ibu dengan empat anak yang sudah dewasa. Seorang ibu bahkan banyak kehilangan waktu untuk dirinya sendiri.

 

“Walaupun hamil harus tetap cantik dong Kay. Kaya artis-artis itu loh. Krisdayanti aja abis melahirkan mukanya cantik banget,” begitu komentarnya.

 

Ah, Sultan. Andai kau tahu kegelisahan menghimpit sukmaku. Aku memang tak mengatakan apapun. Kenapa dirimu tidak bisa membaca keretakan hati ini melalui mataku? Tidakkah kau merasa bahwa aku sedikit menjaga jarak denganmu?

 

Sungguh. Tak pernah kutemukan suami sehebat dirimu, bahkan bapakku sendiri. Pria idaman, nampak sekali kriteria itu padamu. Tentang hal-hal yang menjadi kekuranganmu itu manusiawi. Tapi, ada hal yang tak bisa kujelaskan tentang keraguan yang menyerang sanubariku ini. Serangan apa? Bagaimana bentuknya? Oleh siapa? Aku juga tidak tahu.

 

Cintamu memberiku kebahagiaan terindah yang tak pernah terbayangkan. Hanya saja, seperti ada bongkahan batu raksasa yang siap menghujam kapan saja. Aku merasa takut terhadap sesuatu yang belum jelas. Bisikan cintamu yang lembut tak sepenuhnya merasuk ke dalam jiwa. Hambar. Nyaris tanpa makna. Entah aku yang tidak mengerti cinta atau memang cinta dalam pernikahan ini yang hanya ilusi belaka.

 

Maafkan aku Sultan. Kebaikanmu, rasanya seperti buih saja di lautan. Hilang ditelan gelombang atau lenyap disapu angin. Aku ingin mengerahkan hati untukmu, tapi ada sekat yang tak mampu kutembus. Lalu takdir mengatarkanku pada sebuah serpihan cerita yang membuka tabir setapak demi setapak.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status