Share

Tentangnya

Pernikahanku dan Sultan sudah berjalan lebih dari satu tahun, saat ini kami tinggal di Kota Batu. Dulunya kota ini termasuk bagian dari kota Malang tapi sejak tahun 2001 Kota Batu berdiri sendiri sebagai kota yang otonom. Sebuah kota kecil dengan pesona yang unik, orang sering menyebutnya sebagai kota wisata. Karena kota ini ada di daerah yang tinggi, dekat dengan pegunungan yang indah. Suhu daerah ini antara 12 sampai 19 derajat Celsius. Cukup dingin untuk ukuran negara tropis kan?

Setiap bagian kota Batu begitu berarti. Ada banyak tempat wisata murah. Meski baru satu tahun, aku merasa inilah kota yang kuimpikan. Tidak seperti Jakarta atau kota lain yang bising dan terlalu padat, di sini tenang. Hanya ada tiga kecamatan yaitu Kecamatan Batu, Bumiaji, dan Junrejo. Selain itu ada lima kelurahan dan sembilan belas desa. 

Aku dan suami memilih untuk tinggal di daerah Oro Oro Ombo. Sebuah rumah Cluster Emerald di Perumahan Villa Exotic Panderman Hill menjadi pilihaku dan Sultan. Rumah ini sebenarnya cocok untuk dijadikan vila. Sultan membelinya sebagai hadiah untukku. Dari sini aku bisa melihat Gunung Panderman, Gunung Arjuno, dan melihat pemandangan kota Batu sampai kota Malang.

Ada 26 kavling di perumahan ini semuanya rumah tipe 62 dengan dua lantai dan taman depan rumah. Aku menanam bunga matahari, anggrek, dan mawar. Sultan menambahnya dengan pohon mangga agar kami punya buah-buahan yang bisa dipetik langsung dari pohonnya. Meski jumlah tetangga bisa dihitung dengan jari, tapi keamanan di sini terjamin.

Rumahku nomor 26 yang bersebelahan dengan rumah no 25. Hanya ada dua rumah yang sebaris di sini, jalanannya hampir berbentuk huruf Y. Tetanggaku sepasang kakek dan nenek, yang laki-laki pensiunan dari sebuah perusahan multinasional di Malang. Akung Indra dan Uti Teti, begitulah orang-orang di sini memanggil mereka. Sepasang orang tua itu tinggal sambil merawat cucunya yang masih kecil namun sudah yatim. Ibunya bekerja di Malang di sebuah rumah sakit swasta dan hanya pulang sesekali.

“Monggo Mas Sultan, mau ikut ke masjid?” sapa Akung Indra lalu meninggalkan pekerjaannya memangkas rumput di halaman karena mendengar suara azan.

Sultan diam saja. Hanya tersenyum lalu kembali menatap ponselnya. Dahiku mengerut. Kata bapak Sultan ini ikut ikut kelompok kajian, tapi kenapa dia jarang salat berjamaah?

“Kamu gak ke masjid Mas? Sayang loh pahalanya 27derajat.”

“Aku tuh udah janjian mau prospek. Yang ini dia bakal ikut gede asuransinya.”

Aku menghela nafas. 

Posisi rumah kami memang berada di lingkungan kurang ramai. Sesekali hanya berkumpul di masjid dekat perumahan untuk mengikuti kajian rutin abgi ibu-ibu. Untukpara lelaki biasanya ada kajian setiap minggu malam. Sultan tidak pernah mau ikut. Menurutnya kajian itu membosankan. Sekumpulan kakek-kakek yang belajar mengaji atau membahas kitab dengan mengundang seorang ahli.

Suamiku itu jarang berkumpul dengan tetangga. Ia sibuk dengan pekerjaannya mencari prospek, orang yang mau ikut asuransi. Terkadang ia pulang malam hari atau bahkan menginap di Malang untuk pelatihan. Sabtu dan Minggu, dia lebih suka karoke atau fitnes. Jika tidak ada kegiatan apapu dia lebih memilih tidur di rumah. Memang banyak orang yang mengenalnya lantaran sebagian orang di perumahan ini sudah menjadi nasabah asuransinya.

***

Seharian ini aku hanya berkutat dengan ponsel pintar di tangan. Membolak-balik foto pernikahanku dengan Sultan. Sudah setahun kami menikah, ia baik padaku terutama karena saat ini aku sedang mengandung. Lelaki itu tak pernah membiarkanku mengerjakan pekerjaan rumah. Memasak, mencuci baju, dan membersihkan kolam dia yang melakukannya. Aku hanya menyapu dan mengepel lantai saja. Hebatnya lagi, Sultan yaris tak pernah mengeluh. Belum lagi setiap pulang kerja ia selalu membawa makanan untukku. Istri mana yang tidak senang dengan suami seperti ini?

Suatu hari aku pernah melihatnya sibuk dengan gawai yang tak pernah lepas dari tangan. Ternyata dia sedang chattingan dengan mantan pacarnya saat kuliah dulu.

“Masih kepo aja sama mantan,” kataku ketus.

“Ya udah sih biasa aja. Cuma tanya kabar doang. Katanya dia udah lahiran. Anaknya perempuan.”

“Terus…emang penting ya?”

“Gak usah berlebihanlah. Biasa aja,” katanya sembari berlalu sambil menutup pintu hingga terdengar suara berdentum. 

Apa dia marah? Harusnya kan aku yang marah. Wanita mana yang tidak kesal melihat suaminya terlalu ingin tahu keadaan perempuan lain? 

Sejak saat itu tampak jelas bahwa Sultan orang yang keras. Aku masih kurang mengerti bagaimana sifatnya. Waktu perkenalan sebelum menikah kurang lebih tiga bulan. Itupun hanya sebatas membahas pernikahan. Wajar kan jika aku belum memahaminya? Memang, ia menuliskan karakternya secara lengkap dalam biodata perkenalan saat proses ta’aruf. Segala keburukan dan kebaikannya. Namun, menghadapinya secara langsung membuatku membulatkan mata. Ada yang aneh dengan pria ini. 

Kutatap wajahnya dalam foto pernikahan kami lekat-lekat, seraya mencoba membaca tatapan mata dan senyumannya. Teringat kata-kata sahabatku dulu, “tatapannya itu, mata yang ingin menguasai.” Sepasang netra yang menyiratkan keegoisan dan keinginan untuk dianggap lebih tinggi.

Aku memang tidak terlalu mengindahkan kata-kata temanku itu. Kupikir seorang lelaki pastilah egois dan ingin menguasai. Sebab begitulah adanya mereka dibentuk oleh Sang Pencipta. Bagiku tidak masalah, lama-kelamaan pasti bisa menyesuaikan diri dengan sikap seperti itu. Terbukti kan? Hingga kini, aku bisa terus menahan keinginan dan mengalah untuknya. Bukankah itu konsep berumah tangga? Saling mengalah dan mendahulukan sebagai bukti kasih sayang. 

***

Terdengar suara motor mendekat. 

Ah itu dia, Sultan sudah pulang. Aku akan bertanya padanya, siapa yang ia hubungi secara diam-diam selama ini. Apapun jawaban yang akan dia lontarkan nanti akan kuterima. Hatiku sudah bersiap-siap untuk mendengar hal buruk.

Dengan langkah gontai kubuka pintu. Terlihat wajah Sultan tersenyum manis. Tubuhnya basah, wajahnya nampak pucat karena kedinginan. Aku menyalami seraya mencium punggung tangannya. Ia membalas mencium perutku yang nampak semakin runcing.

Melihat keadaannya, kuurungkan niatku. Kasihan, ia berjuang keras mencari nafkah demi aku dan calon bayi kami. Sultan menuju kamar mengambil handuk. Ia segera berganti baju agar tak terasa dingin. Lalu  berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan menyedu teh. Aku terpaku di tengah ruangan melihatnya berjalan bolak-balik. 

Sultan menuju meja makan lalu duduk menyeruput teh dari gelas. Tangannya membuka tudung saji di meja lalu menutupnya lagi. Ia selalu begitu, jika suka dengan makanan yang kumasak ia akan mulai makan, kalau tidak suka ia akan memasak telur dadar sendiri atau apa saja yang bisa dimasak. Dulu pernah ia meledek masakanku. Katanya tidak enak dan rasanya aneh. Lalu aku marah dan tidak bicara sepatah kata pun padanya hingga seharian penuh. Sejak saat itu ia tak pernah berkomentar nyelekit lagi.

Alisnya berkerut, “Kamu belum makan Kay? Kok nasinya utuh begini?” katanya sembari mengaduk-aduk nasi lalu menuangkannya ke dalam piring. 

“Aku belum lapar, ngantuk nih mau tidur,” jawabku tanpa menatapnya. 

“Ya udah tidur aja,” katanya sambil mengangguk perlahan.

Biasanya saat aku tidur lebih dulu, ia akan menonton televisi hingga larut malam sambil menelpon seseorang. Awalnya aku mengira itu saudara atau teman kerjanya. Tapi, lama-lama jadi mencurigakan. Mungkinkah teman kerja setiap hari menelpon hingga tengah malam?

Prasangkaku kian menjadi-jadi. Tak terlihat ia melaksanakan kewajiban beribadah. Jika aku tidak mengingatkannya, maka ia tidak shalat. Itu pengamatanku. Jika seorang tidak melaksanakannya, maka sudah dipastikan ia melakukan perbuatan keji dan munkar. Baik salah satu atau keduanya. Sebab tiada yang mencegahnya. Sudah jelas dalam Al Qur’an ibadaha lima waktulah yang utama. Tiangnya Islam, tanpa itu maka bukan Islam. 

Rasa sesak menghimpit sanubari, meremat-remat hingga aku sulit bernafas. Kabut gelap mulai menyelimuti rumah tanggaku. Terasa, ia nampak berbeda. Entah ia yang berubah atau aku yang memang sejak awal tidak pernah mengenalnya. 

Hal itu makin tersirat saat aku mengalami pendarahan ketika usia kandungan lima bulan. Dokter melarang kami melakukan hubungan intim hingga usia sembilan bulan, karena takut akan terjadi masalah. Aku bahkan sampai dirawat inap hingga satu minggu. Kini usia kandungan bertambah tua. Tubuh menjadi mudah lelah membuatku selalu tidur lebih dulu. Dan petaka pun berjalan menggantikan segala mimpi.

Hujan seakan bernyanyi. Senandung nestapa mengiris hati. Suara petir menjelma bagai musik derita. Duh Allah, inikah masanya? Saat di mana aku harus berjuang dengan susah payah. Saat-saat sulit seperti ini pasti kan terjadi. Tapi tak pernah terbayangkan akan mencekik begini. Hati mendadak menjadi sempit. Aku seperti mendengar suara sumbang keluh kesah yang mengajak untuk menyalahkan-Mu. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status