Share

Sahabat Lama

Sultan mengajakku berlibur, kali ini kami mengunjungi Alun Alun Kota Batu. Kalau dari tempat tinggal kami sekitar 4,5 km. Bisa ditempuh selama kurang lebih 15 menit menggunakan mobil pribadi. Dengan kondisi jalan yang mulus, perjalanan terasa nyaman. Apalagi untukku yang sedang hamil sembilan bulan. Alun-alun ini selalu ramai, terutama saat akhir pekan.

 

“Akhir-akhir ini kan kamu sering murung. Itu gak bagus untuk ibu hamil. Makanya aku ajak kamu jalan-jalan biar seneng.” Sultan tersenyum merekah, membuat lesung pipinya tampak jelas. 

 

Aku menjawabnya dengan senyum datar. Dia menggandeng tanganku berjalan-jalan. Tidak ada pungutan biaya masuk. Ada tempat yang bersaing keindahannya dengan Alun Alun Kota Batu ini namanya Taman Selecta. Kami sudah pernah ke sana saat pertama kali ke Kota Batu. Di sini ada banyak spot unik untuk berfoto.

 

Ruang informasi alun-alun bentuknya menyerupai stoberi, gedung toiletnya saja berbentuk apel. Jika membawa anak-anak, ada tempat bermain untuk mereka juga. Nah, daya tarik utama alun-alun ini ada pada bianglalanya yang super besar. Untuk bisa menaikinya, kita hanya akan diminta membayar murah, seperti biaya parkir di Jakarta. Murah sekali bukan?Dari bianglala kita bisa melihat keramaian kota ketika sedang berada di puncak.

 

Saat berjalan mengelilingi taman, kami bertemu dengan sahabat lama Sultan Namanya Cak Boby. Orang yang dulu pernah satu tim dengan Sultan saat menjelajah lautan. Yah, Sultan pernah menjadi tim kapal pesiar atau Cruise. Cruise itu mengarungi samudra ke berbagai negara di dunia. Sultan juga pandai berbagai macam bahasa meski tidak mahir. Ia bisa mengerti bahasa percakapan dari negara-negara yang pernah ia kunjungi. 

 

Hampir sebagian besar Eropa, Amerika, dan Asia pernah ia nikmati keindahannya. Sultan sering bercerita tentang negara-negara itu kepadaku. Ada banyak kisah dari berbagai negara yang tidak diliput media. Dari dulu aku bermimpi bisa menjelajah bumi. Sayang, ternyata jodohku lebih dulu datang dari impian-impianku. Terkadang aku masih berharap bisa mengejarnya lagi, suatu hari nanti, entah kapan.

 

Cak Boby pria yang manis, kulitnya cokelat. Dari logatnya, nampak sekali dia berasal dari Serang. Ia menjadi Kepala sebuah Lembaga Zakat di Malang. Istrinya cantik sekali. Kulitnya putih bening, seperti model, tingginya kira-kira 175 cm. Ia bekerja sebagai marketing Asuransi Syari’ah. Masih satu manajemen dengan Sultan, bedanya Istri Cak Boby di Malang sedangakan Sultan di Kota Batu. Cak Boby lebih pendek dari istrinya kalau dikira-kira Cak Boby itu tingginya 165 cm terpaut 5 cm dengan Sultan. Aku, tentu saja yang paling mungil tinggiku hanya 153 cm. 

 

Saat berkenalan, wanita itu menyebutkan namanya yang juga cantik, Khumaira Ulya. Hijabnya panjang dan lebar berwarna hitam dengan motif bunga-bunga kecil. Ia mengenakan gamis polos berwarna ungu. Matanya sipit, hidungnya mancung, jika tersenyum tampak giginya yang panjang seperti kelinci. Duh, bagai bidadari surga yang turun dari langit. Siapa yang tidak menyukai wanita cantik ini?

 

“Sudah berapa bulan kandungannya?” tanyanya dengan suara lembut.

 

“Sembilan bulan lebih Mbak,”

 

“Udah mau lahiran ya bentar lagi?” Aku mengangguk.

 

Mbak Ulya tersenyum lalu beralih menatap pemandangan di depan mata kami. Aku menangkap aura kesedihan di matanya. Yah, mungkin karena ia belum dikaruniai anak. Sultan pernah bercerita Cak Boby dan Mbak Ulya sudah tiga tahun menikah, tapi mereka belum juga mendapat momongan. Aku tidak berani bertanya, takut menyinggung. Kabarnya mereka ke sini untuk liburan. Mereka sedang menginap di salah satu villa Omah Kayu. Mungkin sedang program kehamilan.

 

Kami duduk di sebuah bangku taman sambil menunggu makanan datang. Ada banyak penjual jajanan. Mereka menyediakan berbagai makanan khas Kota Batu. Sultan sedang antri di Pos Ketan Legenda, sedangkan Cak Boby membeli susu KUD Ganesha Batu. Kedua kulier ini legendaris. Beruntung tempat penjualnya berdekatan. 

 

Sebentar lagi maghrib tiba, semburat jingga mulai nampak di ufuk barat. Samar-samar gelap mengambil alih suasana. Aku dan Mbak Ulya memutuskan untuk ke masjid. Dari kejauhan Sultan dan Cak Boby berlari-lari kecil. Senyum merekah di wajahnya yang nampak lelah mengantri sejak tadi. Maklum saja, membeli jajanan khas ini tidak mudah. Kadang orang harus mengantri hingga seharian, tapi tidak ada hasilnya. Sudah habis.

 

“Dapat nih Kay. Kamu boleh makan tapi jangan banyak-banyak ya! Ini kan ketan.”

 

“Gila ngantrinya padet banget. Ada ibu-ibu tadi mau motong antrian. Aku marahin aja sekalian,” papar Sultan lagi.

 

“Kamu adu mulut sama ibu-ibu Mas? Ya ampun.”

 

“Biarin. Lagian mentang-mentang badannya bengkak dikira bisa menindas orang lain. Sampe dipisahin sama yang jualan,” tutur Sultan lalu tertawa renyah disambut gelak dari Cak Boby.

 

Aku menggelengkan kepala, lalu mencicipi sedikit. Jamaah di Masjid ini cukup ramai, tidak jarang sebagian lainnya tidak bisa ikut shalat jamaah yang pertama dan harus menunggu untuk bisa ikut shalat berjamaah yang kedua. Usai shalat kami tenggelam dalam do’a masing-masing. Do’a rahasia yang hanya Tuhan dan hamba saja yang tahu. Mbak Ulya tengah khusyuk, matanya tertunduk, air bening menetes berulang kali mengenai pipinya yang halus, tapi bibirnya terkatup. 

 

Suasana malam kota Alun-alun kota Batu begitu mempesona, pengunjung berduyun-duyun datang. Maklumlah ini akhir pekan, banyak orang yang berlibur, baik warga sekitar atau wisatawan. Sebenarnya akan menyenangkan melihat ramainya alun-alun di malam hari. Sayangnya, aku kurang suka keramaian. Kami memilih untuk makan malam di sebuah warung makan tak jauh dari alun-alun. Menu makanan khas Kota Batu menjadi pilihan kami.

 

Selama makan tidak banyak yang kami bicarakan. Sultan dan Cak Boby asyik berbincang tentang masa lalu mereka. 

“Gimana kabar Ilyas? Masih sering caliing-callingan gak?” tanya Cak Boby.

 

“Gak. Males gue. Dia kalo nelpon ujung-ujungnya ngutang. Utang dua tahun lalu aja belum dibayar.”

 

“Wuih. Tega. Gak lo datengin aja kos-kosannya. Kan deket sama rumah lo.”

 

“Kasihanlah. Dia kan tulang punggung. Lagian, gue kan dermawan. Iya kan Sayang?” ucapnya sambil melihatku lalu tertawa lepas.

 

Kedua peria itu terus berbincang-bincang. Sesekali tertawa mengingat kekonyolan masing-masing. Mereka juga saling berbagi informasi tentang kabar teman-teman sesama pelayar. Aku sering menyela karena Sultan yang terus berbicara dari tadi. Laki-laki kalau sudah bertemu teman lama ternyata doyan bergosip juga. 

 

Mbak Ulya dan Cak Boby pasangan yang serasi, menurutku. Hanya saja ada yang janggal dari sikap keduanya. Mereka tampak tidak akrab, bahkan ketika sedang duduk berdua pun hanya diam satu sama lain. Saat sedang bicara, Mbak Ulya malah mengalihkan pandangan ke arah lain, sementara Cak Boby kalau berbicara pada Mbak Ulya juga menunduk. Apa mereka malu-malu?

 

“Sultan masih sering karokean?” 

 

Aku mengangguk sambil terus menikmati sate ayam bumbu kacang kegemaranku. Mbak Ulya tertawa ringan saat mendengarkanku bercerita bagaimana Sultan terus bernyanyi di rumah hampir setiap waktu. 

 

“Sultan gak suka ngajak aku ke tempat karoke. Katanya, nanti dia bisa mati kebosanan karena aku cuma diam saja.” Mbak Ulya tertawa lagi. Aku memang tidak suka musik, juga kurang suka dunia luar. Bagiku, rumah adalah tempat yang paling nyaman untuk melakukan apapun.

 

Cak Boby dan Mbak Ulya kembali ke Malang besok. Meski keduanya nampak menyungging senyum, tapi aku merasa ada yang kurang pas. Mereka berpamitan untuk kembali ke villa. Tak seperti kebanyakan pasangan yang lalu lalang. Kedua insan itu berjalan tanpa bergandengan tangan. Mbak Ulya menengok kearahku dengan tatapan sendunya. Aku membalasnya dengan senyum. 

 

“Mas. Kok Mbak Ulya dan Cak Boby itu aneh ya? Seperti sepasang orang asing.” Tanyaku pada Sultan.

 

“Iya kah? Emang sih, Cak Boby itu pendiam. Kalo Mbak Ulya pada dasarnya ramah. Tapi kalo orang lain diam, dia juga diam. Dulu waktu masih sekantor orangnya asik kok.”

 

Ada yang hilang dalam lembaran kisah dua sejoli itu. Tidak terbaca olehku atau siapapun. Tatapan mata mereka mengandung kesedihan yang dalam. Ada cinta antara keduanya, tapi tertutup tabir. Bisa kusebut itu kabut. Sesuatu yang perlahan mulai kurasakan juga. 

Suasana makin dingin. Saat malam hari suhu di sini bisa mencapai 20 derajat celcius atau malah kadang sampai belasan derajat saja.

 

Kota Batu termasuk tempat terdingin di Indonesia. Karena udara malam kurang baik bagi ibu hamil, aku dan Sultan memutuskan untuk pulang ke rumah selepas Isya. Mobil kami menembus gelapnya malam yang dingin. Di sepanjang perjalanan masih banyak orang yang bercengkrama dengan semesta. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status