Share

Penyelidikan

Masih terbesit harapan, jika kelak dinding antara aku dan Sultan akan hilang. Kabut gelap dalam rumah tangga kami musnah diterpa badai kasih sayang. Kenyataan tidak semudah yang kubayangkan. Kabut itu muncul dan menghilang semaunya. Membuat harapanku terombang-ambing tiada arah. Bahkan pelabuhan sakinah, mawaddah, warohmah itu tak jua nampak.

Setelah kurang lebih dua bulan aku melihatnya berjibaku dengan ayat-ayat-Nya, kini ia kembali lagi seperti dulu. Lupa pada-Nya. Al qur’an ia tinggalkan, tak pernah lagi shalat jama’ah dan kembali mesra dengan ponselnya. Yang membuatku makin merana, benda berwarna hitam itu pun ia kunci lagi.  Aku menghela nafas.

Duhai Sang Penjaga Hati, sudikah kiranya Kau mendengarkan keluh kesahku. Aku tahu Engkau punya banyak urusan. Tapi, aku hanya punya Engkau. Siapakah yang bisa membantuku kecuali Engkau. Aku memang hanya berbelit pada prasangkaku. Tapi aku tahu ini datang dari-Mu.

Setiap detik yang kulalui terselip rasa curiga, aku lelah Tuhan. Berilah petunjuk yang terang benderang. Apakah yang sedang menimpa rumah tanggaku ini. Makhluk apakah yang tengah merasuki suamiku hingga ia tak ingat pada-Mu. Aku sudah siap jika harus menelan kegetiran takdir. Tampakkanlah segala yang harus aku tahu. Agar aku tak lagi gamang.

Andai aku memiliki cermin ajaib aku tak ingin bertanya siapakah wanita yang paling cantik di dunia. Itu pertanyaan konyol. Cukup beritahu aku siapa yang ada di hati suamiku. Akukah? Atau orang lain? Atau malah tiada siapa pun di hatinya kecuali dirinya sendiri? Hingga kini aku tidak merasa ada di dalam sanubarinya. Segala kebaikan yang ia lakukan adalah karena ia suamiku, bukan karena ia mencintaiku. Hambar. Kutatap wajah putraku Adnan, dia seperti Sultan. Semakin lama semakin seperti ayahnya. Orang bilang bayi akan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Tapi, semoga Adnan tidak merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Dia adalah pelitaku. Dalam gelapnya masa yang kini aku alami. Wajahnya meneduhkan lara, mengangkat segala kegundahan yang menerpa.

***

Apa kau tau rasanya hidup dengan setengah napas? Yaitu ketika belahan jiwamu sedang melayang bersama awan hitam. Hubungan yang terjalin hanya seperti rutinitas. Tiada ikatan batin. Itu yang kurasakan, entah bagaimana dengan Sultan. Yang pasti aku sudah bertekad untuk menyelidiki keanehan ini. Yakin untuk siap menghadapi apa pun yang kan kutemui nanti. Bismillahirrohmaanirrohiim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Sebuah kalimat yang mengawali ummul kitab. Dibaca setiap kali akan membaca ayat-ayat Al Qur’an mana pun kecuali Surat At Taubah. Maknanya dalam. Mengharap keberkahan dari setiap yang kita lakukan. Terlebih lagi menunjukkan bahwa kita tidak akan menyebut nama siapa pun selain Allah untuk memperoleh kebaikan dan meminta pertolongan hanya dari-Nya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berujar, kasih dan sayang-Nya sebenarnya terlihat dalam diri manusia, yaitu antar sesama. Selain itu juga tampak dari cara Allah memberi kemudahan pada diri kita. Misalnya dengan menurunkan hujan setelah panas, panen setelah paceklik, dan lainnya. Kasih sayang Allahlah yang paling sempurna sebab takarannya utuh bagi siapa pun.

Doaku kali ini memiliki satu tujuan agar Allah menghilangkan gundah yang ada di relung hati. Membuka tabir yang menutupi pandangan mata selama ini.

Tiada yang bisa membantu selain Yang Maha Bisa.

Kumandang suara azan menggema di langit. Sultan masih mendengkur di balik selimut. Kubangunkan perlahan dengan menyentuh kakinya. Ia hanya menggeliat. Kugoyangkan lebih kencang, ia pun membuka mata lalu membalikkan tubuhnya. Kali ini kucubit jemari kakinya. Seperti biasa wajahnya penuh murka. Aku tidak peduli, yang penting dia segera bangun. Aku menunggunya untuk shalat.

Harapanku sudah turun drastis, tak lagi ingin ia shalat berjamaah di masjid. Melihatnya shalat saja sudah menjadi anugerah yang sulit.

“Duluan aja, aku mau buang air.” 

Sudah kuhapal kalimat itu. Selama setahun ini ia selalu seperti itu. Shalat subuhnya pun akan semakin lambat, pukul 5.45. Aku tak mungkin menunggunya selama itu bukan? Seorang wanita yang sudah menjadi istri selalu sibuk dengan urusan dapur. Setelah salat subuh yang hari ini justru baru terlaksana pukul 6.30, ia mulai menyiapkan kepeluannya sendiri. Membuat minuman pagi, biasanya teh atau kopi. Dia tak suka minuman buatanku, terlalu manis. Lebih suka buatannya sendiri.

***

Hari ini libur, ia tidak bekerja. Tapi sibuk dengan usaha yang sedang ia kembangkan. Sultan membuat bisnis otlet makanan ringan khas Kota Batu di taman Panderman Hill. Hasilnya memang belum banyak, tapi dilihat dari peluangnya akan menjanjikan. Setiap hari, ia pergi pagi-pagi untuk membuka otlet. Setelah itu, pulang untuk mandi dan bermain dengan Adnan sebentar lalu pergi lagi ke otlet. Ia yakin akan mampu membuka resto suatu hari nanti.

Ponselnya ditinggal di rumah. Benda keramat itu sedang diisi daya. Baiklah, ini saatnya untuk penyelidikan. Aku menghirup nafas. Kurasakan suhu tubuh menjadi dingin. Jemari pun gemetar menyentuh layar kaca. Tadi, aku sempat mengintip passwordnya ketika memijat punggung Sultan.

“Kode anda salah, coba lagi.”

Rupanya Sultan tahu aku melihat dia membuka kode ponselnya. Kucoba lagi. Sultan pelupa, kodenya tidak akan jauh berbeda dengan yang sudah ia pasang sebelumnya.

“Tap.”

Berhasil. “Alhamdulillah,” ucapku lirih.

Adnan mendekat, ia merangkak memegangi pakaianku. Bayi laki-laki berusia satu tahun lebih itu memanggil seperti ingin meminta bantuan. Mainannya yang terjepit di bawah kolong meja. Aku tidak menghiraukan panggilannya. Sibuk dengan benda rahasia milik Sultan. Kubuka pesannya, catatan panggilan, WA, BBM, hingga F******k. Peluh mengalir saat menelusuri perlahan satu persatu.

Innalillahiwainnilahirojiuun.”

Mataku berkaca-kaca. Hatiku seperti dihujam besi panas. Benarkah apa yang kulihat ini? Galerinya berisi penuh dengan gambar-gambar tanpa busana. Foto-foto dirinya sendiri dengan bagian pribadi yang jelas terpampang. Tak hanya puluhan, ada ratusan foto tanpa benang sehelai pun. Kuberanikan diri terus menyelami benda persegi panjang itu. Lebih jauh pada percapakan yang ada di Messenger, layanan pesan singkat dari F******k.

“Astaghfirullah, laa hawlawalaa quwaata illa billah.”

Tak kupedulikan sesak yang menghimpit ulu hati. Tanganku tak berhenti berguncang. Suhu tubuh turun nyaris belasan derajat. Kisah apa yang ada di hadapanku ini Allah? Percakapan vulgar tanpa batas, tak hanya dengan satu orang. Bahkan mungkin lebih dari sepuluh orang yang bercakap-cakap tentang hal intim. Grup gay! Dunia macam apa ini?

Mataku panas, tapi basah karena tetesan air yang sebenarnya berusaha kutahan. Tulang-tulang menghilang, tubuhku terduduk tanpa penopang. Tertera nama Arjuna. Seperti yang sebelumnya, ini akun jelmaan. Pesan Arjuna kubaca satu persatu. Aku tahu pasti itu siapa. Gambar tanpa pakaian yang ia kirim kebeberapa orang akun adalah foto Sultan.

Perutku mual, seakan ada yang mengaduk-aduk isi di dalamnya. Kepala berkunang-kunang yang membuat gambarnya menjadi kabur. Foto di ponsel mulai berbayang. Kupejamkan mata sekejap lalu membukanya lagi. Meski penglihatanku sudah kembali, kepala terasa berat sekali seperti ditimpa ribuan ton batu. Aku menyesal membuka ponsel ini. Tak ingin melihat kenyataan getir nan pilu yang tak terbayangkan sebelumnya.

“Lelaki binal, murahan sekali pria ini,” desisku geram.

“Buuuuuu.”

Terdengar teriakan Adnan diselingi dengan tangisan melengking. Rupanya ia tak mampu meraih mainannya dan malah terjepit kaki meja. Aku berusaha mengelurakannya dari bawah meja. Mainan yang ingin ia raih, kuambil dengan mudah. Ia masih terisak, mungkin karena kaget. Kupeluk dengan haru. Bukan hanya karena melihatnya yang tengah menangis, tapi juga karena membayangkan betapa menyedihkan nasib anak ini.

***

Adnan tertidur dalam timangan. Sultan masih belum kembali. Aku telah mengetahui apa yang ia sembunyikan dariku selama ini. Dinding kokoh yang menghalangi hubungan kami terlihat. Itulah kenapa ponselnya selalu disembunyikan, diberi password, atau sengaja dibuat mati sebelum tidur. Bukan demi menjaga radiasi yang berbahaya, tapi agar kelakuan busuknya tak terungkap.

Yah, aku yang minta lebih tepatnya lagi memaksa pada Allah untuk mengetahui rahasia ini. Merasa begitu kuat hingga mengatakan kesanggupanku. Tak pernah kusangka dinding penghalang ini begitu kokoh, berlapis semen kelas wahid. Ditambah dengan besi berkualitas tinggi dan baja terbaik sedunia. Pantas aku tak pernah bisa menembusnya. Sayang dinding ini begitu gelap, kelam, berkerak, menjijikkan.

Kulihat wajah Adnan yang serupa dengan Sultan membuatku kesal. Kenapa bayi ini harus mirip dengan pria pendusta itu? Kutinggalkan anak laki-laki berusia lebih dari setahun itu sendiri dalam kamar.

Bulir dari mataku tak berhenti menetes. Impian untuk menjadi keluarga sakinah luluh lantak. Hidup dengan nakhoda yang tidak memiliki peta sama saja dengan membiarkan perahu tersesat di lautan. Tanganku meremat jantung, berharap agar namanya enyah dari sana. Aih, haruskah aku mengeluarkan daging merah itu agar tak lagi merasakan denyut yang sesak. Tapi aku pasti mati.

Tidak! Harusnya dia saja yang mati. Aku meremat kepala. Seakan itu bisa menghilangkan penat yang mendera.

Aku menjerit. Lalu menggigit jari-jari tangan hingga membekas. Penglihatanku mulai buram. Terbesit keinginan memuntahkan cacian ke wajahnya. Atau meludahkan umpatan hingga membuat kulitnya membusuk.

Detik tiba-tiba melambat, padahal biasanya sangat cepat. Setahun seperti sebulan, sebulan serasa seminggu, seminggu bak sehari, sehari bagai satu jam, dan satu jam hanya sekejap mata. Tapi ini. Menunggu ia pulang satu jam lagi saja terasa bagai setahun. Sultan tak jua kembali. Aku ingin membicarakan temuanku kepadanya. Akan kulihat bagaimana reaksinya.

****

Kifa Ansu

Terimakasih yang sudah mampir. Baca kelanjutan kisah Kay selanjutnya ya....

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status