Share

Sabar

Setelah memberikan perintah, Fien Clark mengurung dirinya di kamar. Alice mulai mengenakan apron  berwarna hijau dengan motif floral di tubuhnya. Alice tak bisa berhenti mengagumi tatanan ruangan milik Fien Clark yang terkesan bebas dan bergaya anak muda, sedikit urakan tapi tetap rapi dan elegan.

Lalu ia melangkah menuju meja dimana beberapa makanan tersedia. "Dibuang? Apa dia sudah gila?" Alice menggerutu melihat makanan lezat yang harus dibuangnya. Dengan segera Alice mengambil makanan tersebut dan memasukkannya ke dalam kulkas.

Tidaklah sulit menyiapkan makanan untuk Fien, akan tetapi ia tak yakin apakah masakannya cocok untuk pria tersebut. 

Bertepatan dengan masakannya yang selesai, Fien keluar dari kamar dengan setelah jas berwarna merah maroon dengan dasi bercorak linier besar. Alice hampir saja tertawa melihatnya, tapi ia segera sadar kalau ia tak boleh membuat kekacauan dengan pria ini.

"Aku tau kau mencibir ke arahku," Fien duduk dan mengatakan sesuatu untuk Alice. "Kumaafkan kalau makanan yang kau masak sesuai dengan seleraku, jika tidak...," katanya.

"Jika tidak...," Alice memiringkan kepalanya.

Fien mulai mengunyah makanan di hadapannya. Sesekali matanya menatap tajam ke arah gadis itu. Dalam dua atau tiga menit carbonara buatannya telah ludes dari tempatnya dalam keadaan Alice menatapnya dengan cemas.

"Hari ini kau selamat, hentikan senyum mengejekmu atau aku akan menghukummu," ujarnya sambil melangkah pergi.

Alice bernapas lega. Ia jadi mengerucutkan bibirnya saat Fien pergi. Sorot mata tajam yang selalu mengintimidasi membuatnya tak nyaman. Ia bersyukur hanya sebentar saja Fien menghabiskan makanannya.

"Arogan, kasar dan bertingkah seolah segalanya berada di bawah kendalinya. Memangnya siapa dia selalu mengancamku? Menghukum? Apa dia polisi?" Alice terus mengomel saat mencuci piring. Alice mengira Fien telah keluar dari ruangan tersebut, padahal Fien kembali untuk mengambil sesuatu yang tertinggal.

"Wanita mana yang akan bertahan dengannya? Bahkan dia bisa mengusir wanitanya dengan menyeretnya seperti karung pasir, astaga."

"Aku tak pernah melihat seorang gadis yang bisa berbicara sendiri sepertimu, Nona Alice," suara bariton Fien membuat Alice terloncat membalikkan tubuhnya. Bahkan busa sabun di tangannya terlempar ke wajahnya sendiri sehingga gelembung sabun menempel di pipinya. 

Alice tak menyangka omelannya tertangkap basah oleh Fien Clark dan tentu saja itu membuatnya sangat malu. Sementara Fien tak melihatnya sama sekali sambil mengambil ponselnya yang tertinggal.

"Sial!" Alice mengepalkan tangannya dan mengetuk pelan kepalanya sendiri.

Alice membersihkan kamar mandi dan menata semua peralatan pada tempatnya, lalu menuju kamar Fien Clark untuk merapikan tempat tidur. Alice mulai teringat ruangan kantor Erick, ia merasa sedikit aneh sejak datang ke ruangan Fien Clark, rasanya seperti tempat yang tak asing baginya.

"Bukankah dulu ini adalah ruangan Erick?" gumamnya dan melihat ke sekeliling yang telah berubah total. Dahulu Alice selalu mengantar kopi untuk Erick Davis di kantornya.

Alice mulai berlari di sebuah sudut ruangan dimana ciuman pertamanya dengan Erick terjadi. Ada sebuah stempel dari sisa kopi. Saat itu Erick mencelupkan jempolnya pada cairan kopi dan menempelkan pada dinding, lalu Erick meminta Alice melakukan hal yang sama sehingga terbentuk simbol hati di sana. Itu adalah simbol yang selalu mereka kenang bersama.

Alice menemukan sudut tersebut yang sudah dipenuhi dengan pigura foto yang menggantung di dinding. Dengan susah payah Alice mencarinya, dan ia sangat bersyukur stempel itu masih ada.

"Jadi ini benar-benar ruangan Erick yang diubah secara menyeluruh, tapi kenapa? Kenapa Fien berusaha keras untuk itu?" lirihnya.

Alice mulai mencari sesuatu di gudang penyimpanan, seakan ia harus menemukan sesuatu di sana.

Gudang itu sudah dipenuhi barang-barang Erick. Alice menggelengkan kepalanya saat menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan.

Foto, atau apapun tentang Erick dibuang tak berharga. 'Sebenci inikah Fien Clark pada saudara tirinya?' batin Alice. Ia semakin meyakinkan asumsinya bahwa banyak hal yang mengarah kepada Fien sebagai tersangka utama.

"Baiklah, Erick. Aku tak boleh takut atau gentar menghadapi Fien Clark bukan? Tapi darimana aku memulainya?" Alice bingung. Semangatnya yang berkobar tiba-tiba luluh lantak melihat siapa yang di hadapinya sekarang. Terlebih ia tak pernah bisa berkomunikasi secara baik dengan Fien. 

"Oh Erick, pasti butuh kesabaran untukmu bersaudara dengan Fien Clark ini," ujarnya dengan mengelus foto Erick di hadapannya.

*

Fien mengetuk-ngetuk sebuah pena di atas meja, beberapa kali ia meremas kepalanya karena kacau.

"Kenapa bisa begini?!" pekik Fien menghardik Eddie, salah seorang asisten kepercayaannya. Dulu Eddie juga seorang kepercayaan Erick, hanya Eddie asisten yang masih dipertahankan Fien Clark karena Eddie yang tahu seluruh seluk-beluk perusahaan. Adapun beberapa yang lainnya, Fien tak segan-segan memecatnya.

"Tuan Fien, itu karena Tuan Fernandez ayah anda telah membekukan akunnya di perusahaan ini yang meliputi dua puluh persen saham perusahaan ini. Adapun inventaris alat berat masih dioperasikan disebuah proyek kita. Saya tidak tahu apa ayah anda akan menariknya juga," terang Eddie khawatir.

"Kau lihat, Fernandez tidak pernah bersikap adil kepada putranya. Atas dasar apa ayah melakukannya?"

Eddie tertunduk diam. Ada sesuatu yang Fien Clark tidak ketahui.

"Tuan, benarkah anda mengusir Nona Grace dari kantor Anda? Sepertinya Tuan Fernandez ingin kalian menikah dan kembali seperti dulu," ujar Eddie dengan tetap menunduk dalam.

BRAKK!! Gebrakan tangan Fien Clark membuat Eddie berjingkat.

"Bukankah tak ada kaitannya dengan saham ayah? Perjodohan itu sudah lama usang, aku tak akan kembali dengan Grace pengkhianat itu. Apa ayah lupa bagaimana kedua istrinya yang berkhianat telah membuat kami menderita? Aku tak mau menikahi Grace karena Grace memiliki sifat seperti ibuku, mengerti?!"

Eddie hanya bisa mengangguk. Akan tetapi masalah itu tak sederhana seperti yang Fien kira.

"Tuan, Grace juga memiliki saham sekitar lima belas persen di perusahaan ini. Jika Grace melakukan hal yang sama dengan ayah anda, maka pemegang saham yang lain juga akan melakukan hal yang sama, dan kita terancam bangkrut," terang Eddie lagi. 

Fien Clark mencengkeram berkas yang ada di hadapannya. Ia bahkan tak mengira mendapatkan ayahnya tak punya dukungan sedikitpun atas dirinya kecuali ia menurut menikahi Grace. "Ini tak mungkin!!" teriaknya.

"Baik, kemarilah," Fien meminta Eddie mendekat dan Fien membisikkan sesuatu. Eddie mengangguk mengerti, bahkan ia tersenyum dengan apa yang dibisikkan Fien kepadanya.

"Baiklah Tuan, aku akan melakukannya dengan baik. Percayalah, ini adalah yang terbaik untuk Anda," katanya lalu mohon diri pada Fien Clark.

Alice  mendengar semua percakapan Eddie dengan Fien Clark karena ia berdiri di depan pintu, ia memegang nampan berisi secangkir kopi untuk Fien Clark.

Saat pintu terbuka dan Eddie keluar, Alice segera masuk ke ruangan. Saat Alice meletakkan kopi di mejanya, Fien Clark bangkit untuk mengunci pintu sehingga Alice merasa takut. Bagaimana tidak, setelah selesai mengunci pintu, Fien mendekati dengan intimidasi dan mendesaknya di tepi meja kerja Fien.

"Kau selalu diluar ekspektasi, apa kau menguping seluruh pembicaraan kami?" tanya Fien di telinga Alice, hembusan napas Fien menyapu sisi wajahnya.

Alice yang gugup mencoba mengatur konsentrasi agar bisa bersikap tenang.

"Aku hanya menunggu kalian selesai bicara, aku tak mau mengganggu pembicaraan penting," ujarnya.

"Tapi aku membencinya, aku benci kopi ini menjadi dingin. Kau tahu?"

Alice menelan ludah, lalu ia segera mendorong dada bidang Fien.

"Tuan Fien yang terhormat, aku akan membuatnya lagi jika anda mau bahkan sepuluh cangkir sekaligus," ujar Alice geram. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status