Share

HMT 2 - KEPULANGAN CHRIS ROWELL

Kerutan di dahi wanita berwajah cantik itu semakin terlihat. Jemari lentiknya tidak sekalipun berhenti menarik tulisan yang tengah dibacanya. Saat ini Anna sedang melakukan observasi singkat seperti apa isi cerita yang disukai di dalam beranda cerita terpopuler. Adegan demi adegan tertulis secara mendetail di sana sampai membuatnya merona seketika.

Tidak pernah terbayangkan menulis cerita erotis akan terlahir dari jemari Anna. Mendalami karakter saja sudah sulitnya bukan main, apalagi dengan adegan erotis? Ditambah lagi Anna tidak ingat kapan terakhir kalinya dia menjalin hubungan dengan seorang pria. Siapa yang menyangka kalau ingatan akan sentuhan pria akan sangat dibutuhkan dalam tulisannya. Mendadak Anna meragukan dirinya. Anna tidak yakin jika tokoh imajinasinya kelak bisa sampai ke hati para pembaca.

Anna mematikan ponselnya dengan segera dan menyibukkan diri dengan buku stok di depan mesin pembuat kopi. Anna menghela napas sesaat ketika melihat stok biji robusta sudah mulai menipis terhitung mulai hari ini. Tiba-tiba Anna merasa lelah sekali. Entah karena peperangan batin sejak percakapannya dengan Samantha kemarin ataukah hanya karena persoalan stok robusta, Anna sendiri tidak tahu.

“I’m coming …” teriak Anna ketika mendengar bel tanda kedatangan pelanggan dibunyikan. Dengan cepat Anna mengembalikan suku stok ke tempatnya semula.

“Apa kabar, Anna?” sapa pelanggan itu ramah. Anna tersenyum saat tahu siapa yang tengah menyapanya itu.

Steven Ford—remaja enam belas tahun yang hampir setiap siang akan selalu mampir ke kedai kopi tempat di mana Anna bekerja. Anna melirik ke remaja itu lekat-lekat. Kaos berwarna pastel yang dikenakan Steven Ford tidak mengurangi ketampanan remaja yang sedang beranjak dewasa itu. Seketika Anna tersenyum—mengagumi ketampanan makhluk di depan matanya.

“Apakah warna kaos ini terlihat aneh ditubuhku?” Steven Ford memang cukup peka atas tatapan Anna. Steven Ford mendongak, menatap ke arah Anna lalu memberikan penjelasan. “Semua kaos berwarna gelap yang kupunya belum selesai dicuci oleh mommy,” lanjutnya lagi.

Anna kembali tertawa. “Aku tidak bilang itu aneh. Kau cocok mengenakannya. Sungguh.”

Mendapat pujian dari Anna spontan membuat wajah Steven Ford tersipu. “K-Kalau begitu lain kali aku akan mengenakannya lagi.”

Anna mengangguk. “Di mana adikmu? Tumben sekali kalian tidak kemari bersama-sama.”

Steven Ford menggeleng. “Asma Lily kambuh, mommy melarangnya untuk ke sekolah hari ini.”

“Gadis yang malang. Sampaikan salamku untuknya, Steven. Aku doakan semoga Lily cepat baikan.”

“Terima kasih. Pasti akan kusampaikan. Sekarang tolong buatkan minuman yang biasanya Lily pesan. Aku ingin membawakannya sebagai hadiah.”

“Ok, serahkan semuanya padaku.”

Kedai tempat Anna bekerja adalah kedai kopi terenak disepanjang jalan lokasi perkantoran elit di Sydney selama satu dekade. Tidak ada menu selain kopi yang disajikan di kedai ini. Tapi, anehnya sejak tahun lalu kedai ini tiba-tiba berubah total. Konsep maskulinnya hilang seketika menjadi kedai dengan konsep lebih terkesan general. Menu baru pun bermunculan dan milkshake menjadi menu urutan teratas yang paling sering dipesan oleh pelanggan kecil seperti Lily. Anna sebetulnya menyukai perubahan ini. Kesannya tidak terlalu kaku.

Kabar burung yang beredar di antara kru karena pemilik lama menjual kedai ini pada pemilik baru. Juga katanya lagi pemilik baru paling suka milkshake apalagi milkshake stroberi. Sosok wanita paruh baya yang baik hati seketika terlintas di dalam benak Anna. Jika suatu saat Anna diberikan kesempatan bertemu, maka Anna dengan senang hati akan menjabat tangan sang pemilik kedai dan berterima kasih atas perubahan yang telah dia lakukan.

Jam kerja Anna hari ini berakhir lebih cepat dari biasanya. Setelah melepas apron bertuliskan namanya, dengan terburu-buru Anna melangkahkan kaki meninggalkan tempat kerjanya. Hari ini adalah hari pertama Anna mengirim naskah sesuai dengan permintaan editor yang dihubunginya kemarin. Diterima atau tidak sudah bukan jadi masalah utama Anna sekarang. Desakan kebutuhan sudah tidak bisa diajak kompromi. Suka tidak suka hanya uang yang dapat memberikan solusi atas permasalahannya. Sial sekali, kan! Semuanya demi recehan dolar.

***

Anna dikejutkan dengan kehadiran seorang pria setibanya di apartemen. Pemilik senyuman meneduhkan itu tidak pernah berubah. Masih sama seperti terakhir kali Anna mengantarnya ke bandara.

“Kapan kau pulang, Idiot?” tanya Anna pada pria jangkung yang tampaknya asyik menyeruput kopi berlogo ratu di tangannya.

Di seberang sana Chris Rowell terkekeh. Inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa pria itu ingin pulang ke Sydney dan bertemu dengan wanita cerewet namun membuatnya rindu.

“Surprise,” jawab pria itu singkat. “Aku juga membawakan sesuatu untukmu, Anna,” katanya lagi seraya memberikan kantong kertas berisi pernak-pernik khas Indonesia yang sengaja pria itu bawakan dari sana.

“Thank you, Chris. Kau memang paling tahu kalau aku suka yang namanya oleh-oleh.”

Chris Rowell tumbuh bersama dengan Anna semenjak mereka berusia tujuh tahun. Chris Rowell yang sejak awal adalah anak yatim piatu adalah pria kecil yang pendiam dan aneh. Selalu mengekori Anna ke mana saja wanita itu pergi dan hampir selalu tidak punya teman. Tidak ada yang bisa Chris Rowell banggakan waktu itu selain nilai akademisnya yang di atas rata-rata. Sekarang pria kecil itu telah berubah menjadi pria dewasa yang bijak juga gagah karena efek dari pubertas. Bisa dibayangkan ada berapa banyak wanita yang saat ini rela mengantri untuknya—menawarkan hati bahkan tubuh mereka demi mendapatkan perhatian dari seorang Chris Rowell.

Anna mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda. Tas selempang yang menempel di tubuhnya yang indah terhempas begitu saja di atas sofa yang mulai menunjukkan tanda-tanda sudah tidak layak pakai. Karet dan alas duduk sudah banyak terlepas dari posisi seharusnya. Helaan napas Anna terdengar berat. Anna harus segera menggantinya dengan yang baru sebelum dinginnya pergantian musim membekukan tubuh orang terkasihnya.

“Kalau kau tidak keberatan biarkan aku yang menggantinya,” kata Chris Rowell setelah tahu helaan napas berat itu Anna tujukan untuk benda di depannya—sofa tua yang hampir setiap musim selalu menemani wanita itu sejak lama.

“Tidak, tidak. Kau tidak perlu melakukannya lagi seperti musim-musim yang lalu.” Anna buru-buru menolak. “Pergunakan uang gajimu itu untuk keperluanmu sendiri. Bukankah bulan lalu kau bilang ingin membeli tablet keluaran terbaru?”

“Biaya perbaikan sofa kurasa tidak semahal itu sampai mengurangi jatahku membeli tablet, Anna.” Chris Rowell terkekeh lagi. Pria itu lalu berpindah posisi berdiri di sebelah Anna. “Aku harap kau tidak perlu hitung-hitungan denganku karena perkara ini.”

“Well ….” Anna memiringkan kepalanya dan bersandar di bahu pria itu. “Kalau begitu ingatkan aku untuk mengganti uangnya dan kau juga boleh mencatatnya mulai sekarang.”

“Anna—”

“Tidak, Chris.” Anna menyela perkataan Chris Rowell buru-buru. “Kau sudah terlalu banyak membantu kami. Bahkan saat aku dipecat enam bulan lalu, kau menjadi satu-satunya orang yang menopang kehidupan kami. Aku tidak bisa menerima bantuanmu lebih dari ini.”

“We’re family, Anna. Aku yang sekarang tidak akan pernah ada kalau bukan karena kebaikan hati paman Richie dan bibi Pamela. Setidaknya, aku ingin membantu sampai kau mendapat pekerjaan yang lebih layak.”

“Menjadi barista menurutku cukup menyenangkan.”

“Ya. Tapi, tidak sebanding dengan pendidikan yang kau tempuh selama ini. Ah, sayangnya tidak ada posisi kosong di tempatku bekerja.” Chris Rowell menghela napasnya. Pria itu kemudian merangkul pundak terjauh Anna dan berlama-lama di sana.

“Aku sedikit khawatir setiap kali mendengar bibi Pamela yang mengeluh tentangmu. Kau bekerja terlalu keras bahkan mengabaikan hari liburmu untuk mengambil pekerjaan baru di tempat lain. Kau membunuh dirimu pelan-pelan, Anna.”

“I’m ok, Chris.” Sebenarnya, Anna tidak tahu akan jadi seperti apa kehidupannya kelak kalau terus-menerus seperti ini. Anna pun juga tidak ingin membuat ibunya merasa khawatir.

Anna mengusap pelan punggung tangan Chris Rowell yang bertengger di bahunya. Sejak dulu Chris Rowell selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah. “Paling tidak untuk saat ini aku dan mom baik-baik saja.” Itulah jawaban yang bisa Anna berikan pada pria di sebelahnya.

“Astaga!!” Tiba-tiba Anna tersentak. “Aku harus mengerjakan sesuatu sekarang juga. Bisakah kau pulang saja sekarang?”

Spontan Chris Rowell menjauh dari tubuh Anna karena terkejut. “Apa kau baru saja mengusirku? Atau … astaga! Jangan bilang kau akan bekerja malam ini. Kau sungguh ingin cepat mati.”

Anna terbahak menimpali. “Aku hanya bekerja di depan notebook sambil menikmati makan cemilan dan segelas cokelat panas. Aku mencoba menyalurkan kecintaanku terhadap tulisan dan menghasilkan uang dari sana.”

“Kau menulis?!” Chris Rowell melebarkan matanya. “Aku bahkan tidak pernah tahu kalau kau punya bakat terpendam yang luar biasa.”

Jelas saja. Karena Anna tidak pernah bersikap terbuka dan menceritakannya pada siapapun.

“Ah, kau itu terlalu melebih-lebihkan.” Anna mendorong tubuh jangkung Chris Rowell ke arah bibir pintu dan menghadiahkan kecupan selamat malam di pipi seperti yang selalu dia lakukan saat mereka berdua masih kecil.

“Terima kasih untuk oleh-olehnya. Aku sangat menyukainya, Chris. Kau benar-benar tahu seleraku.”

“Aku belum selesai bicara dan kau menyuruhku pulang begitu saja? Well, aku tersinggung.”

Anna kembali tertawa. “Besok kau bebas memakai waktuku.”

“Promise? Akan kutagih janjimu,” sahut Chris Rowell.

Anna mengangguk. “Sekarang pulang dan beristirahatlah.”

                                                                                                                                  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status