Kegiatan pertama yang selalu dilakukan Anna ketika terbangun dari tidur panjangnya adalah mengambil buku pengeluaran yang terletak di atas nakas dan berkutat dalam waktu cukup lama. Anna menghela napasnya ketika melihat angka pengeluaran yang telah dia atur untuk satu bulan ke depan, ternyata tidak sebanding dengan pemasukan selama ini.
Jemari Anna kembali bermain lincah di atas kalkulator, menghitung ulang angka yang dia tahu jelas adalah sia-sia. Helaan napas Anna pun kembali terdengar. Anna tampaknya harus kembali memutar otak secepat mungkin untuk mencari jalan keluar dari permasalahannya itu.
Pintu bercat putih itu lalu terbuka. Menampilkan sosok wanita yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah tidak muda lagi dibalik pintu. Dia adalah Pamela, ibu biologis Anna.
“Jika kau sudah bangun sejak tadi, kenapa kau tidak lekas turun ke bawah lalu sarapan denganku, Sayang?” Pamela menyuarakan aksi protesnya pagi itu karena sang putri tercinta tak kunjung keluar dari kamarnya.
“Kau sudah membuatku kesepian semalam, Anna. Ayolah, temani aku sarapan pagi ini.”
Senyuman milik Anna merekah lalu menghentikan kegiatan menghitungnya dengan segera.
“Kau membuatku bahkan tidak bisa membantah satu kata pun, Mom,” tukasnya lalu beranjak dari atas ranjang dan bersiap mengganti gaun tidurnya dengan kaos lengan pendek yang lebih santai dan nyaman.
Pamela menatap Anna dalam diam. Wanita itu kemudian duduk di bibir ranjang melirik buku yang tergeletak di atas ranjang dengan posisi masih terbuka. Pamela saja tahu arti angka yang diberi tanda khusus oleh putrinya itu.
“Apa defisit lagi?” Pamela tiba-tiba bertanya. Tangannya sudah lebih dulu membuka lembar demi lembar segala perhitungan yang dilakukan putrinya. Pamela mungkin tidak pintar, tapi bukan berarti dia mudah merasa puas dengan gelengan kepala singkat Anna saat menjawab pertanyaan yang dia lontarkan barusan.
“Kau tidak perlu ikut memikirkannya, Mom. Aku akan mencari cara mengatasi masalah ini. Aku bisa menambah satu pekerjaan lagi di akhir pekan sebelum musim dingin tiba.”
“Izinkan aku membantumu, Sayang. Kalau kau bisa menambah satu pekerjaan, kenapa aku tidak? Kita hidup hanya berdua dan sudah sepantasnya kita harus saling mendukung satu sama lain.”
“Mom, aku tidak ingin merepotkanmu. Lagi pula kau—”
Pamela menggeleng. “Jangan pernah menyebutku tua! Usiaku bahkan belum setua itu.”
Anna mengerjap. Pamela paling tidak suka jika seseorang mempermasalahkan usianya.
“Aku tidak bisa hanya duduk tenang sementara putriku bekerja keras memikirkan semuanya sendiri. Aku pun tahu jika kau berusaha mengumpulkan uang untuk melunasi seluruh utang Richie semasa hidupnya. Apa menurutmu dia akan bahagia melihat putri kecilnya sengsara di alam sana? Tentu saja tidak. Dia pasti sangat sedih,” timpal Pamela yang langsung membungkam mulut Anna seketika.
Wanita itu lalu menarik kedua tangan Anna dan memintanya untuk duduk di dekatnya.
“Aku tahu kau menyayangiku, tapi kau juga harus tahu kalau aku jauh lebih menyayangimu daripada nyawaku sendiri. Jadi, hentikan bersikap seolah-olah aku adalah wanita tua tidak berguna yang harus dikasihani. Mengerti?”
Anna terpaksa mengangguk untuk menghindari perdebatan mereka yang bisa saja melebar ke mana-mana. Karena faktanya dia dan Pamela sama-sama dua wanita yang keras kepala.
“Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti, Mom. Aku harus pergi ke kedai sekarang.”
***
“Kau tahu tidak, apa yang pelanggan pria katakan tentangmu?” Samantha alias Sam, teman sekaligus partner Anna pagi ini tiba-tiba menyuarakan pendapatnya. Wanita itu menutup laci mesin kasir lalu berbalik arah padanya.
“Ice Princess,” lanjut Samantha.
Dahi Anna berkerut. “Enak saja. Apa menurut mereka aku sedingin itu?” tanya Anna tanpa sedikit pun menghentikan gerakan tangannya mengeringkan gelas.
“Ya. Karena kau tampak sulit sekali untuk didekati. Kau terlalu dingin untuk urusan seperti ini. Isi otakmu selalu saja uang dan uang. Uang tidak akan bisa membeli kebahagiaan Anna.”
“Tapi, tanpa uang kau tidak akan bisa merasakan artinya kebahagiaan, Sam. Jangan bersikap terlalu idealis. Karena tolak ukur kebahagiaan untuk orang rendah seperti kita, selalu berasal dari urusan perut,” balas Anna kemudian.
Samantha tertawa. “Isi otakku tidaklah secemerlang dirimu, Anna. Kau bahkan terlalu pintar untuk sekadar menjadi seorang barista di kedai kecil seperti ini. Masih banyak pekerjaan yang layak di luar sana yang mampu membayar mahal isi otakmu itu.”
Semua berawal sejak pemutusan kontrak kerja yang dilakukan oleh perusahaan tempat Anna bekerja enam bulan lalu. Bagaimana marahnya Anna ketika itu, masih melekat di memori otak Anna tentang gosip yang beredar mengenai dirinya di sana. Pelacur murahan, begitulah yang mereka katakan.
Anna tahu siapa dalang yang menyebarkan gosip murahan itu. Seorang wanita menjijikkan yang dengan sukarela memberikan tubuhnya secara gratis hanya untuk kedudukan semata. Mengingatnya saja membuat Anna mual, apalagi ketika dia memergoki wanita itu mendesah di ruang kerja bersama atasannya. Mencoreng nama baik seseorang adalah tindakan paling kejam yang ada di dunia ini dan Anna merasakan imbasnya akibat kekejaman itu. Dia harus kehilangan pekerjaan yang dicintainya.
“Bicara soal uang, aku ada sedikit saran untukmu jika kau tidak keberatan.” Samantha kembali melanjutkan celotehnya. Wanita itu kemudian memosisikan diri dihadapan Anna.
“Aku sangat yakin pekerjaan ini cocok untukmu.”
“Katakan saja.” Anna mempersilahkan. Baginya untuk saat ini yang terpenting adalah caranya mendapatkan uang secepat yang dia bisa.
“Ada sebuah platform menulis untuk cerita on-going. Kebetulan aku memiliki teman yang juga menjadi penulis, dan yang kudengar darinya kalau bayaran yang didapat hampir setara dengan bayaran menjadi seorang barista di sini.”
“Really? Apa kau yakin kalau ini bukanlah modus penipuan?” tanya Anna lagi.
Samantha mengangguk mantap. Wanita itu menyandarkan punggungnya pada meja counter tepat di belakangnya.
“Aku mengenalnya cukup baik, Anna. Sayangnya, dia menawarkan pekerjaan yang tidak bisa kulakukan. Jika kau berminat, kau bisa mencobanya. Aku tahu diam-diam kau suka menulis sesuatu di ponsel bahkan buku catatan lusuh yang selalu kau bawa di dalam tas.”
Anna melebarkan matanya. “Bagaimana kau tahu? Aku bahkan tidak pernah mengatakan pada siapa pun, termasuk pada ibuku sendiri. Tampaknya menjadi agen mata-mata FBI jauh lebih cocok daripada menjadi penjaga mesin kasir.”
“Well, sejujurnya menjadi agen FBI adalah cita-citaku sejak kecil namun sayangnya isi otakku tidaklah secerdas itu.” Samantha lalu tertawa geli dengan kedua tangannya yang sengaja dimasukkan ke dalam saku apron. Wanita berkulit pucat itu berusaha sekali meyakinkan Anna agar mau mengikuti jejak temannya.
“At least, kau lihat saja dulu bagaimana cara kerjanya. Kupikir sangat disayangkan sekali jika hobi yang kau miliki itu tidak bisa dijadikan lembaran dolar. Bukankah kau sangat menyukai uang?”
Samantha benar. Tidak pernah terpikirkan oleh Anna kalau hobi yang dia miliki sejak masih sekolah bisa menghasilkan. Sudah tidak ada waktu untuk Anna berpikir terlalu rumit. Isi perut adalah prioritas dan kerikil masalah yang menyumbat otaknya sejak pagi harus segara dimusnahkan. Mungkin saja beginilah cara Tuhan memberikan jalan penyelesaian untuknya.
Dalam diam Anna mengecek platform melalui ponsel miliknya. Seketika mata Anna melebar. Bukan karena masalah sampul buku yang terlihat vulgar, tapi … ah, Anna berubah merona sendiri saat membaca bagaimana isi ceritanya.
“Ini mustahil untukku, Sam. Aku tidak bisa,” cetus Anna kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya. “Aku menghargai niat baikmu, tapi I’m sorry I can’t.” Anna mencoba menegaskan.
“Tapi, kenapa? Ini hanya sekadar tulisan, Anna. Aku yakin kau sanggup.”
Anna menggeleng kuat. Menjadi seorang penulis mungkin pernah terbesit dalam pikirannya ketika kecil, tapi menjadi penulis erotis sungguh tidak pernah masuk di dalam kamus miliknya.
Seharusnya, Anna menaruh curiga sejak awal. Kalau ajakan menulis bisa jatuh pada Samantha yang suka dengan hal-hal berbau erotis, maka sudah pasti dapat diprediksi bagaimana isi dari platform itu. Oh Anna, kenapa kau begitu polos?
Samantha kembali membujuk Anna. “Demi isi dompet sekaligus isi perut, Anna.”
“No,” tolak Anna singkat.
“Demi membayar bill apartemen.”
“I said no, Sam.”
“Kalau begitu cukup lakukan demi bibi Pamela.” Samantha menyentuh pundak Anna. Wanita itu benar-benar tahu di mana kelemahannya.
“Kau sudah bekerja di dua tempat sekaligus dan aku yakin bibi Pamela pasti akan melarangmu menambah pekerjaan lagi. Tidak ada waktu untuk berpikir; itu mustahil. Ambil atau kau akan menyesal. Cukup ingat apa yang menjadi prioritasmu sekarang.”
Siàlan. Samantha benar. Anna bahkan tidak bisa membantahnya lagi.
Kerutan di dahi wanita berwajah cantik itu semakin terlihat. Jemari lentiknya tidak sekalipun berhenti menarik tulisan yang tengah dibacanya. Saat ini Anna sedang melakukan observasi singkat seperti apa isi cerita yang disukai di dalam beranda cerita terpopuler. Adegan demi adegan tertulis secara mendetail di sana sampai membuatnya merona seketika. Tidak pernah terbayangkan menulis cerita erotis akan terlahir dari jemari Anna. Mendalami karakter saja sudah sulitnya bukan main, apalagi dengan adegan erotis? Ditambah lagi Anna tidak ingat kapan terakhir kalinya dia menjalin hubungan dengan seorang pria. Siapa yang menyangka kalau ingatan akan sentuhan pria akan sangat dibutuhkan dalam tulisannya. Mendadak Anna meragukan dirinya. Anna tidak yakin jika tokoh imajinasinya kelak bisa sampai ke hati para pembaca. Anna mematikan ponselnya dengan segera dan menyibukkan diri dengan buku stok di depan mesin pembuat kopi. Anna menghela napas sesaat ketika melihat stok biji robusta sudah mulai me
Chris Rowell benar-benar menagih janjinya. Pria itu sengaja datang ke kedai serta menjemput Anna tepat setelah pertukaran jam kerja berakhir. Samantha bertanya dengan dagunya. Wanita ini tampaknya tidak bisa melihat pria tampan menganggur barang sedetik pun. “Kau berkencan dengannya?” celetuk Samantha di tengah-tengah melepas apron. Kebetulan dua hari berturut-turut Anna kembali dipasangkan dengan Samantha. Untuk itulah keduanya jadi lebih sering berinteraksi. “He is too hot, Anna. Kau terlalu bodoh mengabaikan pria setampan itu terus menunggu tanpa kepastian,” lanjutnya kemudian. “Jangan gila, Sam. Chris sudah kuanggap seperti keluarga sendiri.” “Ah, jadi namanya Chris. Nama yang cocok dengan orangnya.” Tatapan Samantha mendadak berubah. Satu alisnya tiba-tiba terangkat. “Aku pikir hanya kau saja yang beranggapan seperti itu, Anna. Jelas sekali kalau pria itu melihatmu sebagai wanita.” Giliran Anna yang mengangkat satu alisnya. “Bicaramu selalu tidak masuk akal, Sam.” Anna menin
Andrew Lewis melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalam mobil. Pertemuan singkatnya dengan wanita di Sydney Opera House memancing segudang pertanyaan dalam benaknya. Andrew Lewis merasakan sensasi berbeda ketika berada di dekat wanita itu. Sensasinya sulit untuk dia ungkapkan dengan kata selain rasa nyaman, nyaman, dan nyaman. Andrew Lewis memandang sepinya malam melalui pantulan kaca mobil. Mengetatkan long coat yang selalu melekat ditubuhnya tanpa peduli waktu. Pikiran Andrew Lewis berjalan tanpa arah. Andrew Lewis memang terlahir berbeda dari saudara kembarnya. Tubuhnya lemah dan bahkan nyaris mati. Kuasa Tuhan yang masih mengizinkannya hidup. Kemudian hal aneh pun terjadi. Suhu dan tekanan darahnya menurun. Tubuh mungilnya menggigil tidak terkendali. Di saat itulah Andrew Lewis harus menerima kenyataan jika dia kehilangan kemampuan merasakan panas tubuhnya sendiri. Andrew Lewis tidak akan bisa hidup seperti manusia normal. Tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mengalami pergan
Email yang berisi kalau naskah yang dikirimkan Anna beberapa hari lalu akhirnya datang juga. Anna tentu merasa senang sekaligus khawatir. Senang karena recehan dolar akan mengalir sebentar lagi, khawatir karena Anna sendiri masih belum sepenuhnya yakin apakah dirinya sanggup atau tidak menulis adegan erotis nantinya. Referensi saja masih belum Anna dapatkan, bagaimana dia menulisnya? Biar bagaimanapun Anna sungguh berterima kasih sekali karena telah diberikan kesempatan mencoba, mengasah kemampuan yang telah sejak lama dia tekuni. Oh Anna, sudah saatnya kau keluar dari zona ternyamanmu. Anna menyimpan kembali ponsel ke dalam saku apron yang dikenakannya. Sore itu suasana kedai tidak terlalu ramai. Pelanggan yang berdatangan hanya bergantian silih berganti tidak seperti biasanya. Samantha mematung menatap tayangan yang ditampilkan layar televisi. Dia mengerjap sesaat diikuti dengan satu tangannya yang menopang dagu. Mendadak Samantha berdecak—membuat Anna penasaran sekaligus terkejut
Anna tahu seluas apa koneksi pria di depannya. Anna juga tahu sebesar apa kekuasaannya di jagat perekonomian. Namun, yang paling tidak Anna ketahui adalah alasan dibalik perbuatan yang pria itu lakukan untuk keluarganya. Anna hanyalah wanita asing bagi pria itu dan begitu pula sebaliknya. Anna masih berusaha mencerna serta memahami situasi yang terjadi saat ini. Dia berdiri membelakangi dua manusia tepat di belakangnya dengan tangan berpegang erat pada ujung meja sambil berpikir. Anna memaksa otaknya berpikir cepat, secepat yang dirinya bisa. “Bisa Anda jelaskan alasannya, Tuan Lewis?” Anna memutar tubuhnya. “Saya paham niat baik Anda, tapi saya juga perlu tahu kenapa Anda berbuat sejauh ini untuk keluarga saya. Saya ….” Anna bahkan tidak bisa meneruskan kata-katanya. Karena dipikir bagaimanapun semua yang dilakukan pria itu tidak akan pernah masuk akal. Mendadak Anna teringat akan pemberitaan mengenai pria itu di layar televisi tadi siang. Andrew Lewis—keturunan generasi ketiga se
“Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya? Holy shit! Kau sungguh beruntung, Anna.” Belum selesai Anna menguap, pertanyaan paling ingin dia hindari mendadak muncul. Apalagi diikuti dengan umpatan. “Bagaimana mungkin, Anna? Bagaimana caramu bertemu dengan pria setenar dia?” Anna menghela napas beratnya. Dia melepaskan topi yang menutupi kepalanya dengan kasar kemudian berusaha menceritakan satu per satu kejadian yang dia alami saat di Sydney Opera House. Gelengan kepala Samantha mengundang pertanyaan tambahan untuknya. “Kenapa? Kau tidak memercayaiku?” Anna terlihat tersinggung. Tidak ada keuntungan untuk Anna melebih-lebihkan sesuatu hanya karena kedudukan pria itu. “Oh c’mon, Anna. Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa kalau kau cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan Andrew Lewis. Kau tahu banyak wanita yang rela antri hanya demi berbicara dengannya, sedangkan kau hanya berdiri saja dan pria itu yang menghampirimu.” Anna memutar bola matanya. Sebetulnya, Anna tahu k
“Kau baru bangun?” Anna tersentak ketika dia melihat Pamela yang masih terjaga di dapur. Anna menghampirinya dengan tatapan setengah mengantuk, tapi juga setengah menahan rasa pusing di kepala. “Kau belum tidur, Mom?” Anna melirik jam di nakas yang telah menunjukkan angka satu. “Aku akan tidur sebentar lagi setelah menyelesaikan ini. Kau tahu mereka menyukai roti lapis buatanku dan memesannya lagi untuk dua hari mendatang,” kata Pamela senang. “Aku ikut senang mendengarnya, Mom. Katakan padaku jika kau memerlukan bantuan.” Pamela mengangguk, lalu ikut bergabung dengan Anna merebahkan dirinya di sofabed. “Kau pulang dalam keadaan mabuk, Anna,” kata Pamela memulai obrolan, lalu menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi mata Anna sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku tidak pernah melihatmu pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, Sayang. Ada apa sebenarnya?” “Tidak ada, Mom. Aku hanya salah menegak whiskey yang berkadar alkohol tinggi. Setelah itu aku tidak ing
Tidak tahu seluas apa kekuasaan yang dimiliki seorang Andrew Lewis. Pasalnya bahkan hanya untuk masuk ke bioskop pun mereka tidak melakukan seperti yang biasanya orang lakukan. Selimut ditiap kursi telah tersedia berikut dengan popcorn serta minuman. Anna mengunyah popcorn dengan perasaan kesal yang belum hilang. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh pria disampingnya. “Kau tidak suka filmnya?” bisik Andrew Lewis lirih di telinga Anna yang membuat wanita itu kaget setengah mati. Mata mereka saling beradu. Senyum pria itu kembali membuat Anna tidak bisa berkata-kata. Sepertinya seperti inilah cara pria itu menaklukkan hati wanita-wanita di sekitarnya. “Kalau kau merasa film ini membosankan, kita bisa tinggalkan tempat ini sekarang,” lanjutnya kemudian. Anna menelan ludahnya. “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Lewis?” Senyum Andrew Lewis kembali menghampiri. “Kau boleh memanggilku Andrew, Anna.” “Tidak bisa. Saya tidak memiliki wewenang memanggil nama Anda.” “W