Siapa yang ingin jatuh sakit, Guys?
Pasti tidak ada, termasuk aku tapi inilah yang terjadi bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Brussel. Diare itu mulai menyerang setelah makan siang yang cukup sadis di hotel. Maksudku, restoran yang ada di hotel. Bagaimana bisa aku menyebutnya dengan makan siang yang cukup sadis?
Karena selera makan masih switched off, aku tidak terlalu memperhatikan menu apa yang kupilih. Semacam spaghetti chilli sauce, udang krispi dan kerupuk super pedas. Minumnya orange juice dingin. Selama proses makan semua masih baik-baik saja tapi begitu kembali ke kamar, perut mulai sakit. Mulas, panas dan melilit-lilit.
Tante Ariane dan Om Frank langsung be
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n