"Oh Hill?" Tante Ariane membelalak, bahunya terangkat dengan sempurna menyatukan dagu dengan lehernya, "Kita belum mandi. Oh, menurut Hill lebih baik mandi atau sarapan dulu? Ah Hill … Maafkan Tante sudah melupakan hal yang sepenting itu?"
Sampai di sini mata Tanta Ariane masih membelalak tapi bahunya sudah turun dan terlihat normal kembali. Senyum geregetannya terlihat lucu, membuatku tertawa lirih. Sumpah demi apa, Tante Ariane justru ikut tertawa sampai cekikikan.
"Ah sudahlah, Hill. Mandilah segera biar segar. Baru setelah itu sarapan dan istirahat." Tante Ariane berujar bijak setelah tawanya terhenti dan meninggal semburat merah di kulit wajahnya, "Nanti Tante bantu membongkar kopermu, ya?"
Ha, what?
"Jauh lebih baik, Om!" aku menyahut dengan jujur apa adanya ketika Om Frank menanyakan bagaimana keadaanku malam ini. Kami bertemu di bawah tangga, dia baru saja pulang dari kantor sedangkan aku mau ke dapur, mengambil camilan. Sebenarnya masih sedikit sungkan sih tapi Keluarga Frank sudah menerimaku sebagai keluarga mereka sendiri. Jadi, berusaha untuk menyesuaikan diri nih, Guys."Oh really, Hill?" tanya Om Frank penuh perhatian, "Tapi saya melihat wajah kamu masih pucat. Oh Hill, kamu harus cukup istirahat malam ini, oke?"Sebenarnya memang masih pusing sih, sedikit. Tapi menurut Uta itu hal yang biasa terjadi pasca seseorang melakukan perjalanan lintas benua. Kami sudah menggelar obrolan di chat room tadi, melepaskan rasa rindu. Wah, Uta bercerita banyak tentang MMB yang punya beberapa pelanggan baru di daerah Pingit.
"Jauh lebih baik, Om!" aku menyahut dengan jujur apa adanya ketika Om Frank menanyakan bagaimana keadaanku malam ini. Kami bertemu di bawah tangga, dia baru saja pulang dari kantor sedangkan aku mau ke dapur, mengambil camilan. Sebenarnya masih sedikit sungkan sih tapi Keluarga Frank sudah menerimaku sebagai keluarga mereka sendiri. Jadi, berusaha untuk menyesuaikan diri nih, Guys."Oh really, Hill?" tanya Om Frank penuh perhatian, "Tapi saya melihat wajah kamu masih pucat. Oh Hill, kamu harus cukup istirahat malam ini, oke?"Sebenarnya memang masih pusing sih, sedikit. Tapi menurut Uta itu hal yang biasa terjadi pasca seseorang melakukan perjalanan lintas benua. Kami sudah menggelar obrolan di chat room tadi, melepaskan rasa rindu. Wah, Uta bercerita banyak tentang MMB yang punya beberapa pelanggan baru di daerah Pingit.
"Hill, bisa bantu Tante?" seru Tante Ariane dari bawah rumah pohon, menyeret tubuhku untuk segera turun melalui tangga. Sampai sejauh ini belum berani turun dengan cara yang dilakukan Om Frank dan Aldert, berpegangan pada tali yang terikat kuat pada pohon lalu meluncur. Masih ngeri rasanya. Lagi pula, kalau ada jalan yang lebih mudah kenapa harus mempersulit diri. Iya, kan?"Ya, Tante?""Bisa bantu Tante membawa makan siang kita ke sini, Hill?""Bisa Tante, tolong tunggu sebentar.""Ya Hill, hati-hati. Tante ke dalam dulu, ya?"Aku mengangguk kecil lalu menuruni anak tangga dengan super duper hati-hati. Samar, aku mendengar Tante Ariane menerima telepon dari seseorang di dalam rumah, en
"Apa, aku …?" bodohnya dua penggal kata itu terlontar begitu saja dari mulutku sehingga Aldert semakin menjadi. Kasar, dia menunjuk ke pintu rumah pohon yang berarti mengusirku. Memang, Om Frank sigap bertindak begitu juga dengan Tante Ariane. Mereka menegur Aldert atas sikapnya, tentu saja tetapi bagiku itu tidak berarti apa-apa. Semuanya sudah terlambat. "OK, aku turun ya Aldert? Mari Om, Tante? Selamat makan siang untuk kalian!"Gontai namun tak berusaha sedikit pun untuk menahan rintik air mata, aku menuruni tangga. Rasanya terlalu sakit. Terlalu pedih. OK, fine Batik memang kasar, emosional, menekan tapi belum pernah memperlakukan aku dengan seburuk ini. Pernah sih, di pertemuan terakhir kami---dia memarahi, membentak-bentak aku di pinggir jalan waktu keliling bersama Uta di kawasan Malioboro---
"Oh, My God!" Om Frank bergumam dan berlari cepat ke toilet tamu. "Oh Boy, apa yang terjadi?" samar-samar aku mendengar Om Frank bertanya dengan super panik di antara suara air keran wastafel yang mengalir deras.Tante Ariane berlari ke dapur untuk memeriksa, jadi aku mengikutinya. Tidak ada api, kompor dalam keadaan mati. Mungkin Aldert mau memasak pasta tadi, karena aku melihat ada kira-kira dua genggam pasta yang masih mentah di dalam panci. Lalu bagaimana dia bisa terbakar? Hanya Tuhan dia dia sendiri yang tahu, tentu saja. Ya ampun! Dia kan, bukan anak TK atau sepantarannya lagi? Benar-benar aneh!"Oh Hill, boleh Tante minta tolong?" kata Tante Ariane setelah memastikan semua aman. Berulang kali dia menyalakan dan mematikan kompor, memeriksa kabel-kabel dan seluruh penjuru dapur. "Tolong rebuskan pasta untuk Aldert y
"Oh, Aldert … Kembalikan kucingku!" aku setengah berteriak, "Oh, bandanaku!" rasanya seperti anak ayam dikejar-kejar musang.Bayangkanlah!Aldert beranggapan itu anak kucing sungguhan. Tanpa perasaan berdosa sedikit pun dia melepas bandana lucu dan imut itu dari kepalaku, membawanya ke dapur. Suara miaw, miaw, miaw-nya cukup membuat marah. Terlebih saat Tante Ariane mengingatkan kalau itu boneka, tak bisa makan ikan tuna kaleng tapi Aldert malah mengamuk. Oh aku merasa terdampar di rumah sakit jiwa!"Aldert?" antara takut dan harus aku memanggil. Berusaha merebut kembali bandanaku dari tangannya, tentu saja. Itu pemberian Mama, mana mungkin aku membiarkannya musnah di tangan Aldert? "Please, tolong kembaliin bandana aku?"
"See you soon!" aku memberikan senyum simpul pada Tante Ariane. Melambaikan tangan ke arahnya. Memandang Om Frank dan Aldert yang sudah berada di dalam mobil. Mereka terlihat sedang serius membicarakan sesuatu. Terakhir, membalas kiss bye Tante Ariane.Setelah mobil mereka bergerak meninggalkan halaman rumah dan perlahan-lahan menjauh, menghilang di belokan jalan aku segera kembali ke dalam dan menutup pintu. Menguncinya rapat-rapat, seusai dengan pesan Tante Ariane. Sungguh, pagi ini aku akan berusaha mencari dan menemukan Batik di media sosial. Kenapa di media sosial? Karena aku sudah menghapus kontaknya dari ponsel. Entahlah, kadang-kadang aku memang seceroboh itu.Oh bukan, bukan
"Be happy, the Hill!" segembira mungkin aku berseru pada diri sendiri. "This is your holiday!" seruku lagi sambil mengeluarkan sepeda dari garasi, menuntunnya ke luar halaman belakang. Tante Ariane sudah berbaik hati meminjamkan sepedanya untukku hari ini. Well, dalam segala hal Tante Ariane selalu berbaik hati padaku. Mungkin karena hal itulah Mama tak keberatan sama sekali dia mengajakku ke sini. Benar kan, Guys?"Oke, jangan lupa kunci pintu pagarnya, Hill!" aku bergumam lirih, "Jangan biarkan seseorang menyelinap masuk dan mencuri benda-benda berharga milik orang-orang baik seperti Tante Ariane dan Om Frank!"