Home / Romansa / Holiday to Wedding Day / Membahagiakan Mama

Share

Membahagiakan Mama

last update Last Updated: 2021-10-24 17:31:12

Akhirnya, demi kebahagiaan Mama aku merelakan diri memenuhi undangan Tante Ariane untuk berlibur di Eropa tiga bulan ini. Aku tidak tahu, apakah ini model lain dari pemaksaan agar terkesan manis dan lembut atau bagaimana, terpenting Mama bahagia. Oh Tuhan, sesederhana itu kah, kebahagiaan Mama? Melihatku menikmati liburan bersama Tante Ariane. 

Aku tak tahu, bagaimana dengan mama-mama yang lain di dunia ini. Apakah juga akan sebahagia Mama jika anaknya diajak berlibur sahabat dekatnya atau justeru sebaliknya. Merasa insecure dan tidak mudah untuk melepaskan. Jujur, sampai detik masih tak percaya dengan jalan pemikiran Mama. Apa karena rasa percaya pada Tante Ariane yang begitu besar, sehingga bisa dengan tenang melepaskanku bersamanya? Mungkin. 

Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, bukan? Eropa juga tidak sedekat Yogyakarta - Magelang, tentu saja. Tapi sepertinya Mama sudah siap, sudah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan baik. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kalau aku tidak betah tinggal di sana? 

"Hill, jangan berpikir buruk begitu, Hill." Mama berujar sambil terus menyisir rambut keriwilku yang panjang sepinggang setelah mendengar curahan hatiku yang lebih panjang dari pada selokan Mataram. Dua kali atau tiga kali lipat lah kira-kura, kalau diukur dengan pengukur jalan.

"Nggak mungkin kamu nggak betah di sana, Hill." Mama mulai mentransfer keyakinannya padaku, "Eropa, Eropa … Bayangkan!" 

Apanya yang harus kubayangkan? Aku kan, belum pernah ke sana? Jangankan ke Eropa. Ke Jakarta saja baru beberapa kali. Tiga atau empat kali, ya? Waktu kecil dulu, diajak Papa jalan-jalan ke Monas dan Taman Impian Jaya Ancol. Hiks, aku mabuk waktu kami naik kapal boat di pantai Marina. Muntah-muntah hebat aku, di pangkuan Papa. Terus, waktu SMP. Itu juga karena acara wisata siswa dari sekolah. Kami mengunjungi pasar Senen, Taman Ismail Marzuki, Monumen Pancasila Sakti dan Taman Mini Indonesia Indah. Sisanya, diajak Mama ke rumah Om dan Tante di Cibubur. 

Waktu kuliah, kami study tour ke Bali. Wah, rasanya amazing tralala. Seru luar biasa. Kami mengunjungi banyak tempat wisata di sana. Di antaranya  Pantai Sanur, pasar Sukowati dan Besakih. Wah, jangan tanyakan lagi bagaimana perasaanku saat itu. Lebih dari berbunga-bunga. Tiada terkira lah, pokoknya. 

Tapi Eropa lebih tepatnya Den Haag, Netherlands?

Sejujur-jujurnya kukatakan, selama ini aku hanya pernah melihatnya di internet. Pernah punya impian ke sana? Pernah. Mimpiku, sekolah atau kuliah di sana. Terus kalau sudah lulus, langsung dapat pekerjaan. Jadi orang sukses dulu, baru pulang ke Yogyakarta. Kenapa harus pulang? Karena ada Mama yang pasti merindukanku, anak semata wayangnya yang super istimewa. Selain itu, juga ada makam Papa. Satu-satunya tempat yang setiap menziarahinya, rasa rindu seberat apapun langsung terobati. Ya, walaupun ketika sampai di rumah rasa rindu itu sudah mulai bertumbuh lagi. 

Ugh!

Aku aneh, ya? Sekarang, walaupun tidak dalam rangka sekolah, kuliah atau bekerja Tante Ariane mengajakku ke sana. Eh, bukannya bergegas menerima tapi malah berbelit-belit. Percayalah, aku memang bukan pribadi yang kuat. Mungkin malah lebih rapuh dari pada kaca.

"Ya deh, Ma." akhirnya aku bergumam untuk memberikan  jawaban, "Aku mau kok, menemani Tante Ariane berlibur ke Eropa."

"Oh Hill, benarkah itu?" Mama bertanya dengan menurunkan logat bicara Tante Ariane, "Ya udah Hill, kalau gitu kamu harus siap-siap sekarang. Sebentar lagi Tante Ariane jem---"

"Tapi Mama beneran bahagia, kan?"

"Ya, Hill. Jangan khawatir."

"Syukurlah, Mama."

"Ya, Hill."

"Oh ya, Mama nggak perlu gantiin aku di MMB, kok. Uta dan aku sudah buat kesepakatan bersama. Mama jangan khawatir lagi, ya?"

"Siap, Hill. Wah, Mama seneng banget ini, Hill. Ya udah sana, kamu siap-siap. Sebentar lagi Tante Ariane dateng, lho. Masa kamu malah belum siap?"

Sumpah, melihat Mama segembira itu, hatiku benar-benar seperti tanaman yang ditumbuhkan oleh musim semi. Selain memang ada kebahagiaan tersendiri sih, di sudut hati. Ya, siapa tahu saja---sama seperti yang dikatakan  Mama---liburan ini bisa memberikan  banyak pelajaran dan pengalaman untukku. Iya, kan? Bukankah pengalaman adalah guru yang paling berharga? Semoga. 

See you, Guys! Aku mau ke kantor IMIGRASI dulu, ya? Harus sudah foto hari ini. Harus menandatangani berkas-berkas juga. Nah, kalau urusan di kantor IMIGRASI sudah selesai, besok pagi atau lusa tinggal berangkat ke kantor Kedutaan Belanda untuk Indonesia di Jakarta. Tidak sendiri sih Guys,  tapi rasanya tetap deg-degan. Hehe. Doakan aku selalu, ya?

***

Wow, fantastis! Ternyata Tante Ariane tidak hanya mengajakku ke kantor IMIGRASI tapi juga shopping di mall. Dia membelikan aku lima stel baju, dua pasang sepatu, dua pasang kaos kaki, sweater dan jaket untuk dipakai di pesawat. Underware juga, yang walaupun awalnya malu-malu tapi akhirnya riang gembira. Nanti, begitu sampai di Netherlands---kata Tante Ariane dengan semangat membara di wajahnya---kami akan shopping lagi. Tidak mungkin kan,  memakai pakaian yang dari Indonesia selama di sana? Walaupun musim panas tapi tetap tak boleh menyepelekan masalah warna, model dan terutama bahan pakaian. 

Bukan hanya itu,  Tante Ariane juga membelikanku arloji alias jam tangan tadi. Untuk apa? Katanya sih, supaya aku belajar lebih on time lagi dalam setiap kegiatan. Hitung-hitung latihan lah, karena kan di Netherlands nanti tidak berlaku lagi jam karet atau sejenisnya. Walaupun sedikit tersindir dengan istilah jam karet tapi aku termotivasi juga pada akhirnya. 

On time. On time. On time, Hill! 

Please, don't be late!

"Hill, kamu butuh tas punggung atau koper juga, kan?" tanya Tante Ariane dengan senyum lebarnya yang khas, "Habis ini kita ke toko tas, ya? Tante juga mau beli koper lagi, nih. Koper yang di rumah terlalu besar."

Aku hanya mengangguk lalu mengikutinya berjalan ceria menuju meja kasir. Wow, fantastis. Uang puluhan juta melayang dalam waktu kurang dari tiga jam! Hemmmhhh, jadi teringat Papa. Dulu, sebelum Papa meninggal dunia, dia juga sering mengajak Mama dan aku shopping seperti ini. Jalan-jalan, makan malam atau pergi ke toko buku dan membolehkanku membeli banyak buku bacaan. Wah, tentu saja aku langsung memborong teenlit, dong. Kapan lagi, coba? 

"Lho Hill, kok kamu malah nangis?" teguran penuh perhatian dari Tante Ariane membuatku terkesiap, "Hill … Kamu kenapa, Sayang? Oh, Tante salah ya sama kamu? Tante buat kamu sedih, ya?" 

Secepat mungkin aku menggeleng-gelengkan kepala, menyeka air mata. Malu juga rasanya, menangis di depan umum seperti ini. Tapi bagaimana lagi? Siapa yang bisa menahan besarnya rasa sedih karena kehilangan seseorang yang paling berharga? Aku, jelas bukan orang yang pandai bersandiwara.

"Hill?"

"Ya, Tante … Maaf Tante, tadi Hill teringat Papa. Hill rindu sama Papa, Tante."

"Oh, Hill. Sini, peluk Tante?"

Itulah Guys,  untuk pertama kalinya aku menumpahkan air mata di depan umum. Tapi aku tidak menyesal atau merasa bersalah dalam hal ini, karena menangisku tadi bukan karena cengeng. Bukan juga karena ada masalah atau bagaimana. Oh Guys, hati ini hanya rindu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Holiday to Wedding Day   No, I Can't Marry You!

    "Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.

  • Holiday to Wedding Day   Hormon Kehamilan dan Kemistri

    Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.

  • Holiday to Wedding Day   The Best Lawyer

    Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."

  • Holiday to Wedding Day   Keep Fighting, Hill!

    "Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me

  • Holiday to Wedding Day   Don't Try to Lie Me!

    Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan

  • Holiday to Wedding Day   Datang dan Terusir

    "Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n

  • Holiday to Wedding Day   Mencari si Bastard Arnold

    "Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat

  • Holiday to Wedding Day   Netherlands Episode Genting

    Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng

  • Holiday to Wedding Day   Ada Sakit Ada Obat

    "Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status