Share

Aldert, Batik dan Uta

"Hai Hill, aku Aldert!" suara serak-serak basah itu menyapaku dengan  ramah dan hangat. 

Meskipun sudah sehancur hutan belantara yang kejatuhan bom nyasar, aku berusaha untuk tersenyum. "Hai juga, Al Aldert?"

Terus terang sorot mata elang Aldert mematahkan tatapan sopan santunku. Jadi, inilah yang kulakukan sekarang. Menunduk menahan rasa malu dan rikuh. Belum pernah aku ditatap seperti ini oleh laki-laki, sungguh. Batik? Oh, kenapa baru sekarang aku menyadarinya, ya? Batik sangat jarang menatapku. Dia selalu lekat dengan layar ponsel, buku catatan, buku bacaan, majalah atau komik yang ada di tangannya. Kalau sudah ada benda-benda itu di tangannya, jangan harap akan ada aku dalam perhatiannya. 

Oh ya, aku tahu walaupun sangat jarang terjadi, sorot mata Batik terasa tajam menusuk-nusuk. Iya, seperti itu. Ah, mungkin karena dia merasa sudah memiliki dan menguasai aku? Mungkin. Aku tak tahu dan baru sekarang memiliki rasa ingin tahu. Kenapa Batik bersikap seperti itu padaku? Posesifnya benar-benar menjajah kebahagian dan kemerdekaan hidupku. Padahal, tidak jelas hubungan seperti apa yang kami jalani? Teman tapi mesra? Entahlah, yang jelas kami tidak berpacaran. 

Dia tak pernah mengungkapkan tentang perasaannya, begitu juga aku. Ya, memang tidak ada perasaan yang untuk diungkapkan, sih. Rasanya terlanjur dekat saja. Nyaman. Sangat nyaman walaupun tertekan sampai pernah merasa takut untuk kehilangan. Sungguh, kadang-kadang membayangkan, bagaimana ya kalau sudah tidak ada Batik lagi dalam hidupku? Bisa tidak ya, melewati hari-hari seperti biasa? 

Tak pernah menyangka, kalau akhirnya kehilangan juga. Itu pun karena suatu hal yang tidak mendasar, menurutku. Memenuhi undangan sahabat dekat Mama. Menurutku Batik sungguh keterlaluan. Itu hal yang sangat wajar, bukan? Aku anak Mama satu-satunya. Iya kan, Guys? 

Sakit? Pasti, karena Aldert menghilang begitu saja tanpa kesan dan pesan barang sepotong kata pun. Pergi begitu saja, seolah-olah aku ini boneka yang tak memiliki perasaan. Walaupun kami bukan pacar tapi masa dia melupakan kedekatan kami begitu saja? Oh ya, kalau ada yang bertanya seperti apa perasaanku sekarang? Seperti seorang anak kecil yang tersesat di kota besar. Takjub saja, karena nyatanya masih bisa bernapas seperti biasa walaupun tanpa Batik lagi. 

"Jadi Hill, Aldert ini anak semata wayang Tante." terang Tante Ariane membuat jantungku nyaris terlepas dari tempatnya, entah mengapa.

"Oh …  Iya, Tante." sahutku lirih, malu-malu. Aku juga bingung, rasanya malu sekali berhadapan dengan Aldert. Apakah karena dia  terus-menerus menatapku dengan tatapan terpana seolah-olah aku ini pelangi yang turun seusai gerimis? Pasti. Tidak bisakah dia mengalihkan  pandangannya barang sejenak?

"Aldert, baik-baik ya, sama Hill?" pesan Tante Ariane tanpa basa-basi dalam bentuk apapun, "Jangan nakal ya, Aldert? Jadilah sahabat yang baik!"

Wow, amazing! 

Tante Ariane bahkan menasihati Aldert di depanku yang berarti di depan umum, karena kami masih berada di kantor Kedutaan Belanda untuk Indonesia di Jakarta. Itu, hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Mama, meskipun aku melakukan  sesuatu yang memalukan sekali pun. Paling-paling Mama akan memberikan sebuah isyarat untuk menegur atau mengingatkan. Tidak secara blak-blakan seperti itu. 

"Pasti, Mama!" sahut Aldert sambil sedikit mengerling kepadaku, menaikkan level ketidaknyamanan di hati, "Mama tak perlu khawatir soal itu. Oh ya Hill, senang berkenalan denganmu."

Guys, apakah ini mimpi? 

Mama sama sekali tidak memberi tahu kalau akan ada Aldert dalam holiday ini, sungguh. Tante Ariane, terutama. Halo, apakah ini sebuah jebakan kecil untuk seorang Hill? Lihatlah, Aldert sudah mulai gila. Tidak hanya mengaku senang sudah berkenalan denganku tapi juga mulai memindahkan tubuhnya tepat di samping kananku. Melirikku dengan mata elangnya yang sedikit digenangi air bening. 

Sumpah! 

Rasanya lebih baik diinjak-injak Batik di depan anak buahnya yang tak sedikit. Guys, bolehkah aku jujur mengenai situasi yang menakutkan ini? Aku ingin membatalkan liburan ini, andai masih bisa! 

"Hill, kamu tak perlu takut sama Aldert, ya?" pesan Tante Ariane sambil menyentuh bandara bunga mawar merahku, "Aldert anak yang baik, kok."

***

"Hill, Hill!" seru Aldert memanggil dari samping mobil, "Tunggu, Hill!"

Kupikir ada sesuatu yang tertinggal di mobil mereka, jadi aku membalikkan badan menghadap ke arahnya. "Ya, Aldert?" 

Di sana, sekitar lima meter dari tempatku berdiri, Aldert berseru riang, "Aku suka rambut panjang kamu. Dirawat terus, ya?"

Ha, apa? 

Aldert menyukai rambutku?

Maksudnya?

"Hill!"

"Ya?" 

"Sampai jumpa secepatnya!"

"Oh, iya!"

Aldert melambaikan tangan arahku tapi aku tidak. Diam mematung sambil menahan beratnya tas punggung karena terisi banyak oleh-oleh untuk Mama. Samar, aku mendengar Tante Ariane menegur Aldert, "Sudahlah Aldert, jangan ganggu Hill. Dia pasti kecapekan, baru pulang dari Jakarta." 

Oh, syukurlah!

Tanpa berkata-kata lagi, Aldert masuk ke dalam mobil. Sekarang tinggallah aku sendiri di depan teras, menggigit bibir bawah kuat-kuat supaya tidak menangis di sini. Benar, Mama tidak di rumah tapi bukan berarti aku harus menangis di depan rumah sperti ini, kan? Wah, bisa-bisa menanggung malu seumur hidup. Walaupun di depan sana jalan raya kecil tapi bukan berarti sedikit yang melintas. Cukup yang di mall tempo hari lah, jangan ada lagi.

"Hill, ya ampun!" seruan riang penuh rindu Uta mengejutkanku, "Kamu sudah pulang, Hill?" 

Uta melambai-lambaikan tangan dari luar pagar rumah. Tentu saja aku membalasnya. Meskipun pundak ini terasa mau lepas karena kecapekan tapi bersikap ramah dan hangat pada Uta adalah sebuah kemutlakan tersendiri. 

"Uta … Ya, ini baru saja pulang." aku menyahut, sambil memastikan tas punggung mendarat di kursi bambu dengan sempurna, "Sudah muter ke mana saja, Ta?" 

Uta memasukkan sepeda yang diboncengannya terikat etalase tempat buku bacaan ke halaman rumah dengan sangat hati-hati. Memarkir di bawah pohon  mangga dan menggambar senyum simpul yang manis. Wajahnya terlihat cerah sumringah seperti biasa. Tak ada yang berubah meskipun siang ini terik sekali.

"Baru mau berangkat Hill, soalnya tadi aku bantuin Bunda dulu, buat kue donat. Dapet pesanan untuk pengajian ibu-ibu nanti sore." Uta menerangkan dengan semangat membara di wajahnya. 

Bunda memang punya usaha kecil-kecilan di rumah. Toko kelontong, toko roti dan snack, ada juga usaha katering. Luar biasa menurutku karena selain bisa untuk menyambung hidup juga bisa untuk biaya sekolah Uta dan adik-adiknya. Maklum, ayah Uta meninggal sejak beberapa tahun yang lalu karena serangan jantung. Waktu itu adik Uta yang bungsu baru berumur enam bulan. Uta punya tiga orang adik termasuk si Bungsu. Sekarang dia sudah kelas lima SD.

"Oh, berarti asyik nih kalau aku ikut muter, Ta? Aku kan juga kangen, pingin ketemu sama MMB Lover yang semangatnya nggak pernah redup." penuh semangat aku melayangkan usulan, "Gimana? Tapi aku mandi dulu ya Ta, gerah banget ini?"

Uta setengah mendelik menatapku tapi aku tak peduli. Terpenting sore ini aku bisa menghabiskan waktu bersama Uta, my best friend. Titik.

"Kamu yakin, Hill?" tanya Uta memastikan, "Emang kamu nggak capek? Eh, gimana … Asyik nggak naik pesawat? Dapet gebetan baru nggak, nih? Hahahaha  …!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status