Share

Keanehan Yang Mengental

What, menyumbangkan buku untuk MMB dari hasil traktiran Aldert? Oh, lebih baik tidak sama sekali. Untuk saat ini, maksudku. Aku bisa menyumbang banyak buku lain waktu dari hasil keringatku sendiri. One day, setelah aku mendapatkan pekerjaan eksklusif sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar, tentu saja.

"Hill, kok masih bengong saja, sih?" Mama menegur dengan cara mencolek pipiku, "Itu Aldert nungguin kamu, lho. Sudah sana, ganti baju. Sisiran yang rapi, Hill."

Oh Guys, tahukah kalian apa yang terjadi padaku? Bergeming. Mematung kayu. Sejujur-jujurnya kukatakan, tidak mengerti dengan maksud hati Mama. Mengapa jadi begini? Tidakkah Mama tahu, ini mulai merambah ke istilah keterlaluan. Mama sadar tidak sih, sudah melakukan pemaksaan besar-besaran? Ya, walaupun akhirnya anak semata wayangnya ini rela hati tapi intinya karena merasa  terpaksa lebih dulu, kan? 

"Sorry Ma, aku nggak bisa pergi ke toko buku sama Aldert." gumamku lirih namun super duper tegas, "Aku sudah ada janjian sama Uta sore ini. Kami sudah membuat janji mau keliling sampai nanti malam. Mumpung aku belum berangkat ke undangan 3 Months Hol---"

"Tapi Hill, gimana dengan Aldert?" Mama memangkas kata-kataku. Darinya berkerut padat. Sebenarnya Mama---bisa dikatakan---sangat jarang melakukannya. Ah, mungkin baginya segala sesuatu yang berkaitan dengan Tante Ariane selalu berarti besar dan bermakna. Iya kan, Guys? Makanya dia selalu begini. Doing everything for their friendship. Rela melakukan apa saja demi persahabatan mereka. "Kasihan kan, dia?"

Ha, jadi Mama lebih memikirkan bagaimana perasaan Aldert? Wow, amazing tralala!

Tapi aku harus bisa menyelamatkan diri sendiri kan, Guys? Jadi, inilah yang kukatakan pada Mama, "Sorry banget, Ma tapi aku harus berangkat sekarang. Uta pasti sudah nungguin aku dari tadi. Nggak enak kalau telat-telat banget." 

Sebenarnya Mama berusaha untuk mencegah. Dia menggapai-gapai pergelangan tanganku tapi aku tak memperdulikan itu. Untuk apa? Untuk memasukkan diri ke dalam perangkap keusilan dan arogansi Aldert? Oh, no. Big no! 

"Oh Hill, akhirnya … Kamu sudah siap, kan?" Aldert berdiri dari tempat duduknya, "What a pretty girl!"

Tanpa bersusah payah menjelaskan sesuatu pun pada Aldert, aku berjalan melintasinya ke arah garasi sepeda. Bukan sedang ingin melanggar sopan santun atau sejenisnya. Hanya tidak ingin berurusan panjang kali lebar dengannya. Kalian tahu sendiri kan Guys, bagaimana usianya Aldert? Ugh! Berani-beraninya dia memuji seperti itu tadi? Haha. Haha. Dia pasti bermimpi, berhalusinasi. Iya, kan?

"Oh Hill, kenapa ambil sepeda?" 

Aku benar-benar tak menyangka kalau Aldert bisa senekat itu. Bayangkanlah, Guys! Ternyata dia menyusulku ke garasi sepeda dan dengan penuh kekeranan berdiri di depan pintu. Wah, wah, wah! Sepertinya Aldert perlu mendapatkan pelajaran tambahan dalam hidupnya, sopan santun.

"Permisi, Aldert." sebisa mungkin aku bersikap sopan sambil menuntun sepeda ke luar garasi. Aldert semakin terheran-heran, tentu saja. Ah, dia pasti berpikir kalau aku mau ikut ke toko buku. "Sorry, aku nggak bisa ikut sama kamu. Aku sudah ada janji sama teman."

Seketika wajah Aldert terisi kekecewaan tapi dia diam, menggedikkan bahu. Melihat peluang yang tidak kecil itu, aku segera naik ke atas sepeda dan mengayuhnya ke rumah Uta. Halo, MMB sayang! Tunggu Hill, ya? Kita akan bergembira ria sore ini. So, see you soon!

***

Batik. Siapa sangka kami akan bertemu dengan Batik di jalan? Dia sedang bersama teman-temannya sepertinya, hang out di area Tugu Jogja. Tak seperti yang selama ini kuduga, dia langsung berdiri sumringah, melambai-lambaikan tangan begitu sepedaku melewati mereka. Tapi Uta memasang wajah galak yang tak biasa, jadi aku terus mengayuh meskipun sebenarnya ingin berhenti. Ah! Kadang-kadang aku memang sebodoh ini. Takut untuk menentukan sikap walaupun menginginkan sesuatu ampai setengah mati. 

"Hill, itu tadi Batik, kan?" Uta berseru bertanya, "Ngapain dia, sama siapa?"

Jengkel. Itu yang kurasakan saat mendengar pertanyaan Uta yang terkesan basa-basi biasa. Ya ampun, dia belum pikun, kan?

"Hill, kamu marah?" seru Uta lagi lebih keras dari yang tadi, "Sorry Hill, aku cuma nggak mau kamu jadi bulan-bulanan si Batik Pekalongan itu!" 

Di sini, tepat di lampu merah perempatan stasiun Tugu, aku menggambar senyum manis untuk Uta. Senyum persahabatan. Lagi pula, aku sudah mengerti sekarang, kenapa dia segala itu tadi saat Batik mencoba menghentikanku. Dia pasti teringat akan cerita terbaru kemarin tentang Batik, kan? Itu, yang marah-marah sekaligus mengamuk gara-gara aku minta pendapat tantang 3 Months Holiday. Bukan hanya itu, dia bahkan menghilangkan diri begitu saja. Sialnya, kami malah bertemu---lebih tepatnya berpapasan---dan dia dalam keadaan yang sesumringah itu. Wow, perasaan Uta pasti langsung berbadai. Karena sangat menyayangi sahabatnya ini, tentu saja.

"Kamu nggak marah kan, Hill?" Uta bertanya setelah lampu hijau menyala dan kami sudah meluncur di jalanan yang menurun ke arah Kota Baru, "Aku nggak mau Kamu jadi korban kebrengsekan Batik. Itu saja, Hill!"

"Iya, aku tahu kok, Ta." sekarang aku yang berseru menjawab, "Makasih ya, Ta?"

Uta mengangguk dengan senyum lebar tergambar jelas di wajahnya. Senyum yang kuterjemahkan sebagai perasaan lega. 

"Sama-sama, Hill." Uta berhenti dan turun dari sepeda, aku mengikuti. 

"Kita mangkal di sini, Ta?"

"Iya, di sini ramai. Sebentar lagi mereka datang."

"Oh, syukurlah, Ta."

"Nah, kamu mau ambil tugas apa sore ini, Hill? Jadi Kakak Pencatat atau Kakak Pencari Buku?" 

"Kakak Pencari Buku."

Haha. Haha. Refleks, kami tertawa lepas untuk beberapa saat lamanya. Kalau aku secara pribadi, tertawa karena teringat bagaimana kami mencari kata-kata yang menarik untuk pekerjaan  kami di tempat mangkal MMB. Akhirnya setelah sama-sama sepeda selama hampir satu minggu, dapatlah istilah itu, Kakak Pencatat dan Kakak Pencari Buku. Haha. Haha. Terdengar lucu, ya? Tapi kami suka. Anak-anak pelanggan MMB pun suka.

"Hill, di sini rupanya?" 

Oh, sungguh aku tak pernah membayangkan kalau Batik akan mengikuti kami seperti ini. Sapaannya sungguh merontokkan jantungku dari tempatnya tadi. Untung Uta masih sibuk melayani beberapa pelanggan yang mengembalikan buku. Kalau tidak?  Ya, walaupun akhirnya menyadari kedatangan Batik juga, sih. Wajahnya auto galak tapi aku bisa apa? Tak mungkin membuat keributan di sini dengan jalan menghindar atau bahkan menolak. Aduh, Batik memang pendiam tapi kalau sudah marah, bisa meledak-ledak seperti bom nuklir.

"Batik?" sebisa mungkin aku menyetel suara dan mimik wajah agar tak terlihat excited atau sejenisnya, "Kamu …?"

"Sorry … Aku ganggu, ya?" sedikit tersinggung, Batik bertanya, "Gimana, kapan kamu berangkat liburan ke Eropa?"

Refleks, aku memberikan  jawaban atas pertanyaan  Batik, "Sepuluh hari la---" 

"Wah, seneng banget ya kamu, pastinya?" Batik memotong kata-kataku, membuang muka ke  depan yang berarti berpaling dariku, "Sama siapa saja liburannya?" 

Aku diam. Tak ada artinya apa-apa memberikan jawaban jika Batik sudah mulai dikuasai amarah seperti itu. Iya kan, Guys? Tentu saja aku tak mau mempermalukan diri sendiri di depan umum seperti ini. Itu pantangan nomor dua setelah menangis di depan umum. 

"Woi Hill, aku tanya sama kamu ini, lho!" bentak Batik tanpa perasaan membuatku menyusut dengan sempurna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status