Share

4. Bukti Gairah

POV Logan

Aku hanya berniat menggoda Amanda, tetapi ketakutannya pada kepribadianku kembali terlukis jelas di wajahnya yang cantik sekarang. Ekspresi gugup itu membuatku ingin mengudarakan tawa dengan keras, membiarkan semburat pucat menghiasi bibirnya, dan menciumnya sampai dia mengerang tanpa ragu. Namun, aku harus menahan diri untuk adegan yang sempurna itu dan membuat penantianku bernilai sepadan nantinya.

“Itu lelucon pria-pria Inggris,” selorohku sambil menyunggingkan seringai tipis pada Amanda yang seketika mundur satu langkah lebih jauh dari posisinya semula.

“Benarkah? Maaf, selera humorku memang rendah,” komentarnya kemudian.

Aku melihat kedua pipi Amanda merona terang. Apa dia merasa malu karena sudah memikirkan sesuatu yang buruk mengenai seorang Logan Caldwell? Wanita itu seharusnya mengintip sejumlah imaji liar yang menyangkut tentang dirinya dalam kepalaku, rencana-rencana yang kusiapkan, dan pandangan pribadiku akan tubuhnya.

“Dia pelayanku. Seseorang yang mengurus rumah sehari-hari. Nyonya Vazquez,” ungkapku pada Amanda yang masih memperhatikan Nyonya Vazquez bekerja.

“Jadi, kau berasal dari mana? Aberdeen? Edinburgh?” tanya Amanda yang mulai mengalihkan pandangannya secara penuh padaku.

“Aku lahir di Stirling dan pindah ke Brooklyn semasa SMU. Menetap di Philadelphia sejak tiga tahun terakhir.”

Amanda menurunkan bulu matanya, menatap lantai yang dipenuhi pola rumit yang telah ada sejak aku membeli tempat ini, dan mengajukan pertanyaan lain seputar diriku. Aku memberinya jawaban yang pendek, menanggapi reaksinya dengan sikap hati-hati, membatasi diri pada kedekatan yang lebih dari sekadar satu malam. Aku memang terpikat pada pesona Amanda, tetapi bukan untuk merantaiku dengan komitmen baru.

“Bagaimana rasanya menjadi nomaden?”

“Cukup menyenangkan,” sahutku lagi-lagi singkat, lantas mengajak Amanda pergi menuju kamar paling atas.

Kami tiba di kamarku yang terletak di lantai tiga dengan pemandangan danau yang menjorok ke sisi barat. Langit sore langsung terpampang begitu memukau dari jendela. Cahaya matahari terakhir di sisa hari ini menyirami sebagian sudut, menciptakan kesan temaram yang redup, dan menawarkan suasana yang mendukung untuk memulai sesuatu yang akan kunikmati sebentar lagi.

Aku memperhatikan Amanda yang mengawasi keadaan di sekeliling kami. Dia terlihat dua kali lipat lebih panik sekarang. Tingkahnya sontak membuatku bertanya-tanya seberapa jauh interaksinya dengan lawan jenis sebelum dia bertemu denganku, dia masih muda, pengalamannya mungkin minim atau bisa jadi malah nol.

“Dekorasi yang hebat,” puji Amanda yang mengusap lehernya dan menghindari tatapan kami saling berpapasan ke arah cermin-cermin berukuran besar yang kupasang di beberapa titik.

“Terima kasih. Aku suka sesuatu yang bergaya vintage,” sahutku parau, mencegah sifat impulsifku mengacaukan segalanya.

“Mengapa kau menaruh begitu banyak cermin di sana?” tanyanya lagi, kedua alisnya bertaut, kemudian pandangannya mengamati kaca-kaca bening itu secara keseluruhan.

“Kau akan segera tahu alasannya,” gumamku sambil menghambur langkah pelan seperti seekor predator yang tengah mengincar targetnya agar tidak lolos dan lari dari cengkeraman.

Amanda mendadak menyadari perubahan atmosfer di sekitar kami. Dia menoleh ke belakang dan mendapati aku yang sedang berjalan meraih pinggang rampingnya. Sukses membawa tubuh itu ke dalam pelukan sebelum kesiap kagetnya meluncur, lantas menghirup puas aroma parfumnya yang refleks mengaktifkan libidoku.

Amanda sangat manis dan memabukkan seperti semarak festival pada musim panas. Ada sedikit bau jejak matahari yang terendus di ujung rambutnya yang halus. Aku kemudian memutar tubuhnya, membuat wajah kami saling menatap satu sama lain, merasakan ritme napasnya yang berat mengembuskan angin lembut di leherku.

“Kita akan bermain dengan aturanku sekarang,” desisku di hadapan Amanda yang menggigil.

“Tu-Tuan Caldwell, aku—uh, mak-maksudku, Logan, apa aku boleh mengakui sesuatu? Aku belum pernah melakukannya,” kata Amanda dengan terbata-bata.

Pengakuan itu spontan membuatku terkejut. Setelah pulih dan berhasil menguasai diri, aku menyapu tulang hidungnya dengan ibu jariku, menggesernya turun hingga ke garis bibirnya yang lembap oleh lip balm. Menenangkan sekaligus menonton respons tubuhnya yang masih gemetar terhadap sentuhanku.

Aku akan membuat Amanda terbiasa pada penjelajahan yang pria bajingan sepertiku buat di kulit pucatnya. Rasanya agak aneh menjadi yang pertama bagi seseorang sebab aku dan Brielle sama-sama petualang dahulu. Namun, aku justru menyukainya.

“It’s going to be hurt first time, but I will be gentle.”

Kening Amanda mengernyit. Aku tahu dia tengah membayangkan sensasinya, tetapi dorongan hasratku yang terlanjur meledak tidak sanggup untuk ditekan lebih lama lagi. Jadi, aku memutuskan untuk mengambil tindakan yang pertama.

“Let’s play and call me Daddy, Baby Girl.”

“Mengapa—”

“Sst, kau tidak boleh membantah atau kau akan dihukum.”

Aku mengganti ibu jariku dengan jari telunjuk, meletakkannya tepat di tengah-tengah bibir Amanda, dan menggeleng padanya. Menumpahkan segenap perhatianku di wajah wanita itu, lantas menyingkap blus miliknya secara bertahap ke atas. Napasku sontak tertahan selepas melihat bra yang dihiasi renda itu mengekspos sebagian lekuk menonjol yang ada di baliknya.

Jika pengendalian diri itu tidak pernah ada, maka aku akan langsung merobeknya sekarang. Namun, aksi yang terburu-buru hanya akan meninggalkan kesalahan. Aku ingin menciptakan detik-detik yang menyenangkan bagi Amanda, momen yang tidak akan membuat dunianya sama lagi, dan merindukanku setiap kali gairahnya hadir.

Aku merendahkan kepala, menelusuri dagu Amanda yang kecil dengan bibirku, menciuminya dengan gerakan yang berangsur turun ke leher. Mengeksplorasi seluruh cekungan di antara tulang selangkanya yang menjenjang setiap kali aku mencicipinya dengan lidah di sana. Itu menyulut gejolakku yang mustahil reda hanya dengan kecupan-kecupan ringan.

Aku tersihir dalam sensualitas yang Amanda punya, dalam erotisismenya yang murni dan polos, dalam api yang terasa membakar bukti hasrat di antara kedua pahaku. Aku akan meninggikan egoku demi permainan yang kudambakan. Mengajarinya mencapai pelepasan bersama dan mengulanginya satu atau dua babak lagi.

“Kau harus patuh, Amanda.”

Punggung Amanda kembali bergetar setelah mendengar perintahku. Apa yang ada dalam kepalanya sekarang? Betapa berengseknya seorang Logan kah? Dia mungkin sedang menyesali dirinya yang menerima perjanjian laknat yang kutawarkan atau bisa jadi justru meresapi semua perlakuan kurang ajar yang kulampiaskan di tubuhnya.

Jemariku kemudian merayap menggapai pengait bra Amanda dan membebaskan kain pelindung itu dari sana dengan mudah. Dadanya seketika menegang, posturnya setengah membusur kaku, menandakan bahwa dia terperanjat dan siap memprotes upayaku untuk menelanjanginya. Napasku mendadak tercekat selepas menyaksikan sesuatu yang mulai bereaksi di depanku, sisi yang terlihat rentan sekaligus permisif, salah satu bagian terbaik dari dirinya.

“My precious little fuck bunny,” bisikku sambil menarik tubuh Amanda ke dalam pangkuan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status