Share

6. Adegan Panas

POV Logan

Terbangun dengan melihat wajah feminin yang masih terlelap di sampingku memang bukan situasi baru. Namun, untuk enam tahun terakhir sejak Brielle tewas dalam tragedi kecelakaan transportasi udara itu hidupku tidak lagi sama. Kekosongan yang tercipta di hari-hari yang kulalui sangat menyiksa dan kini aku telah terbiasa pada rutinitas membosankan yang selalu kulakukan.

Aku melelang lukisan dan patung yang kubuat, memamerkan sekitar delapan belas ribu karya dari para seniman lain di museum seni yang kudirikan sejak sepuluh tahun lalu, dan menghasilkan pundi-pundi dolar yang luar biasa lewat itu. Semuanya sempurna hingga Brielle kemudian pergi secara tiba-tiba. Logan Caldwell yang pernah dikenal sebagai pria murah senyum di masa lalu pun juga ikut terkubur bersamanya.

Aku mencintai Brielle. Dia adalah napasku, tetapi segala sesuatunya mendadak berbeda dari yang pernah kuimpikan tentang masa depan kami. Kehilangan menempaku sebagai sosok dingin yang jarang menampilkan ekspresi untuk emosi, hatiku dilapisi es, dan membeku seiring bergulirnya waktu.

Sampai akhirnya aku menemukan Amanda yang sedang memesan secangkir kopi kemarin sore. Duduk sendiri di kursinya, menyesap minuman panas itu dengan santai, dan menikmati seluruh aktivitas yang dilakukannya sambil membaca sebuah novel fiksi karangan Sarah Green. Setelah telepon selulernya berdering, dia langsung digulung rasa panik hebat dan berkutat dalam keputusasaan yang menjelma di sepasang iris abu-abunya.

Aku sama sekali tidak menyesali keputusanku untuk mencampuri urusan Amanda kala itu. Aku baru saja mengalami malam paling menakjubkan dari malam-malam paling memuakkan yang selalu kujalani. Sensasinya terlalu fantastis dan membuatku lupa diri, tetapi sinar matahari yang menerobos masuk dari celah tirai roman yang tersingkap tersebut sukses menggulingkanku pada realitas.

Kenyataannya aku ingin mengulanginya lagi bersama Amanda. Biasanya aku sanggup mengendalikan diri, biasanya aku berpikir rasional, biasanya aku tidak demikian menggebu seperti seekor serigala alpha lapar yang belum berburu selama berminggu-minggu. Namun, wajah cantik dengan kulit halus yang sepucat bunga kapas tersebut menguji benteng pertahanan yang sengaja kubangun di antara kami.

“Amanda?” panggilku parau, mencoba membangunkan Amanda dari tidurnya, mencoba meruntuhkan hasrat yang merebak di setiap pembuluh darahku.

Kepala Amanda bergerak menjauhi jejak cahaya, lantas mengarahkan posisi tubuhnya merapat ke dadaku. Menyembunyikan wajahnya dari silau yang menerpa kami di sisi seberang. Dia sempat menggumamkan sesuatu dan mendekap pinggangku sebelum menyadari bahwa aku merupakan objek terlarang untuk disentuh bila dalam kondisi terjaga.

“Ma-maaf, Logan. Aku tidak—astaga, apa yang kulakukan?” ucap Amanda yang seketika beringsut mundur sambil memegangi ujung selimut miliknya, seolah-olah aku belum pernah melihat setiap lekuk menggiurkan yang terlindung di balik sana.

“Aku sama sekali tidak keberatan dipeluk seperti tadi, tetapi sayangnya aku harus menghadiri pameran hari ini. Jadi, aku harus bersiap sebelum pukul sembilan.”

Amanda menyugar rambut yang menutupi sebagian wajahnya ke belakang. Jemarinya diselipkan dari sisi depan, memfungsikannya seperti sisir, menyingkirkan helai demi helainya di kedua daun telinga. Mengusap keningnya sebentar, kemudian turun dari ranjang dan menyambar pakaiannya yang bertebaran di atas sofa.

“Maaf, Logan. Itu memalukan. Maksudku, aku tidak sadar kita... berbagi ranjang yang sama,” katanya dengan nada hati-hati, melirikku melalui ekor matanya, dan meremas erat blusnya.

“Tidak masalah,” sahutku sambil berdeham-deham membersihkan tenggorokan, meluruhkan gelenyar hormon yang mulai bereaksi pada punggung telanjang Amanda, dan beruntungnya metode itu cukup berhasil.

“Permisi, aku harus pergi ke kamar mandi.”

Aku hanya mengangguk, lantas menonton tubuh ramping tersebut berganti menjadi siluet selepas menjauh dari jarak pandangku. Aku sontak melepaskan desah frustrasi, menegakkan punggung yang menegang oleh serbuan stimulus di bawah sana, dan itu membuatku kembali membayangkan sejumlah adegan panas kami tadi malam. Tekanan udara mendadak berubah membentuk sesuatu yang berbahaya karenanya.

“Kontrol dirimu, Logan. Kau bukan remaja tanggung yang berusia enam belas lagi. Kau pria tua yang sudah berumur dan punya perhitungan untuk setiap langkah yang kau ambil,” geramku sambil mengibaskan selimut dengan gusar.

Aku berdiri dan meraup kaos baru dari balik lemari dengan perasaan penuh simpati bagi jiwa kekanak-kanakanku yang labil. Memakai baju warna hitam itu dengan terburu-buru. Diam-diam mengasihani diri sendiri, mengutuk gairah yang bermanuver di setiap ruang kosong dalam benakku, mengisinya dengan kebangkitan libido yang begitu menyakitkan pada titik tertentu di tubuhku.

“Aku harus mengguyur kepalaku dengan air dingin,” desisku lirih dan lagi-lagi memaki pikiran kotorku dalam hati.

“Apa kau punya informasi mengenai korban pengeroyokan yang dipukuli Andrew?” tanya Amanda yang serta-merta muncul di dekat nakas, penampilannya sama sederhananya seperti kemarin, jauh lebih rapi dengan model rambut yang digulung ke atas.

Aku membaca ekspresi Amanda yang masih cenderung datar sejenak sebelum kekhawatiran kemudian mengambil alih lapisan emosinya. Dia pasti akan terkejut saat mengetahui fakta baru tentang orang yang dipukuli oleh kakaknya. Harold Duff—keponakan wali kota, calon anggota senat yang juga kenalanku.

“Apa aku harus menyematkan gelar nekat pada Andrew atau justru menyumpahi sikap sembrononya itu, Amanda? Maksudku, dia sangat bodoh dan salah memilih lawan. Harold Duff. Dia membuat dua gigi depan pria flamboyan itu patah,” balasku merendahkan suara, berusaha menahan diri agar tidak mengata-ngatai kakaknya, dan membuat dia tersinggung.

“Harold Duff? Harold Duff yang itu? Apa kau serius?”

Aku mampu menangkap getar histeria yang merambati respons Amanda sekarang. Namun, aku mengabaikannya dan memutuskan untuk mengenakan celana pendekku sebelum kembali berbalik memusatkan segenap perhatianku padanya. Apa dia juga mampu melihat emosi yang mengintip lewat sorot mataku?

“Jika Harold Duff yang kau maksud calon anggota senat tahun ini, maka kau benar.”

Bibir Amanda yang tidak diolesi pelembab setengah terbuka. Ada kesiap tipis yang mengisyaratkan bahwa dia tidak pernah menduga bahwa Andrew akan membuat masalah sebesar itu dalam hidup mereka. Berita yang luar biasa untuk mengacaukan hari, bukan?

“Harold sempat mengajukan tuntutan pada Andrew, tetapi pengacaraku melakukan negosiasi dan sudah mengatasinya dengan membayar kompensasi sebagai ganti rugi. Harold setuju untuk mencabut gugatan,” jelasku lagi.

Amanda menjilat bibirnya yang terlihat kering dan segera menghamburkan napas lega yang bisa kuperhatikan lewat pergerakan kedua bahunya. Pandangannya menatapku dengan penuh selidik, dia mencium sesuatu yang ganjil, dan aku harus mengakui bahwa para wanita memang jeli dalam mengendus beberapa rahasia yang coba kaum adam tutupi dari mereka.

“Begitu saja? Itu aneh,” komentarnya, kepalanya tampak terteleng miring, sementara satu tangannya terangkat naik menyentuh kening.

“Tidak aneh bila kau punya koneksi luas di jaringan masyarakat,” sesumbarku, lantas berpaling untuk menutup pintu lemari.

“Apa dia—si Harold itu temanmu?” korek Amanda yang masih berjuang menggali sisa informasi dariku.

“Kami cukup akrab. Harold teman kuliahku dahulu.”

“Benarkah? Syukurlah, Andrew tidak akan ditahan. Dia memang idiot dan tidak pernah belajar dari pengalaman,” bisiknya sambil menghela napas yang jauh lebih leluasa sekarang.

Aku kemudian memutar pinggang menghadapi wajah Amanda lagi, mengukur seberapa dalam ketenangan diri yang dia punya, dan akan menyerangnya dengan sebaris kalimat jahat. “Kau berutang dua puluh ribu dolar padaku, Amanda. Apa kau akan membayarnya dengan mencicil atau dilunasi secara penuh?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status