Share

MENCARI NIA

MENCARI NIA

“Wah, tingginya!” Ava menatap gedung Bio Group yang berdiri gagah di tengah kota Jakarta. “Perusahaan elit emang beda.” Ava menghenal napasnya cukup panjang.

Tepat jam sembilan lewat tiga puluh menit, Ava sudah tiba di loby gedung perkantoran Bio Group. Dia sengaja datang lebih awal dari janji temu di jam sepuluh pagi. Ava tidak pernah membiarkan dirinya datang terlambat di janji temu dengan klien-kliennya. Untuknya, ketepatan waktu adalah hal yang utama.

“Silahkan. Pak Nico sudah menunggu di lantai lima belas,” pegawai resepsionis di gedung Bio Group memberikan kartu akses agak Ava bisa memasuki gedung dan menaiki lift.

Sejujurnya, Ava tidak ingin menemui Nico lagi. Tapi Ava tidak punya alasan untuk menolak permintaan Nico. Lagipula, Nico adalah kliennya. Lebih tepatnya, klien besar di kantornya. Klien yang membuat Ava bisa menduduki jabatan asisten manajer seperti saat ini.

“Selamat pagi…” sapa Ava sambil membuka pintu ruang kerja Nico.

“Come!” suruh Nico dari meja kerjanya. “Duduk dulu. Sebentar ya.”

“Ok.” Ava menjawab singkat.

Mata Ava menyapu hampir sekeliling ruang kerja Nico yang cukup luas. Matanya juga sudah penuh dengan tatapan takjub sejak melangkahkan kaki di lantai lima belas. Meja kerja yang besar, ruang kerja yang nyaman, bahkan pria-pria tampan dengan pakaian elegan terlihat mempesona untuknya.

“Lantai ini diisi manajemen. Jadi, beberapa ruangan ditempati manajer dan direktur.” Ava ingat perkataan Fathan tadi.

Pria berahang tegas itu yang menunjukkan ruang kerja Nico saat Ava tiba di lantai lima belas.

“Sorry. Ada kerjaan dikit.” Nico mendatangi Ava yang sedang duduk di sofa tamu.

“Oh, gak pa-pa. Saya yang datang terlalu cepat.”

“Gimana?”

“Bagus. Ruang kerjanya bagus…” jawab Ava dengan cepat.

Nico tersenyum kecil. Padahal maksud pertanyaannya bukan itu. Dia ingin bertanya, bagaimana rencana Ava untuk membuat iklan dari produknya. Tetapi gadis ini, sepertinya masih terpana pada ruang kerja Nico.

“Jendelanya besar banget.” Ava menunjuk jendela yang berada tepat di samping meja kerja Nico.

“Jendela itu…”

“Pasti seru banget bisa liat langit cerah dari jendela itu.” Mata Ava menatap jendela. “Kalau malam, pasti keliatan lampu-lampu kota. Menyenangkan.” Ava tersenyum bahagia, seolah dia tengah membayangkan melihat semua yang di katakannya.

Nico jadi ikutan menatap jendela besar yang selama ini dia keluhkan. Mendengar ucapan Ava, Nico jadi merasa jika jendela besar di ruangannya tidak terlalu mengganggu. Padahal selama ini, Nico merasa jendela ini sengaja di buat untuk membuatnya tidak nyaman. Tapi jendela yang terlihat tidak menarik untuk Nico, ternyata mampu membuat orang lain tersenyum bahagia.

“So … apa yang sudah kamu persiapkan?”

“Ah!” Ava langsung mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Nico seakan menarik Ava dari lamunan indah. “Setelah pembicaraan kita kemarin, saya pikir kita memang harus melakukan riset pasar untuk mencari tahu dimana kelemahan produk-produk ini…” Ava menjelaskan rencana-rencana barunya pada Nico dengan gamblang.

Nico terdiam. Mendengarkan ucapan Ava dengan seksama. Terpana pada bibir Ava yang terus berbicara dengan nada yang santun. Bibir yang pernah Nico kecup bahkan kecap dengan penuh nafsu.

“Huft!” Nico menghela napas. Pikirannya berfantasi kesana kemari. Terhanyut pada liukan bibir Ava yang serasa menari. Adegan-adegan panas di malam itu berpendar lagi di ingatan Nico layaknya film hitam putih yang ditayangkan di layar tancap tengah kampung.

“Hm, apa cara bicara saya terlalu cepat?” tanya Ava. Dia mendengar suara helaan napas Nico yang dipikirnya sebagai keluhan atau mungkin kelelahan. “Atau mungkin terlalu lambat?”

“Oh, nggak-nggak. Nggak ada masalah dengan cara bicara kamu. Cuma…” Nico yang bingung sendiri. Dia tidak mungkin bilang ke Ava bahwa dirinya tiba-tiba jadi terangsang karena melihat bibir Ava yang sexy. “Sepertinya kita perlu kopi.” Nico mencoba mencari alasan.

“Kopi. Kedengerannya enak.” Ava tidak menolak. Dia memang suka kopi. Dan kopi, sepertinya cocok di jam ini.

“Kalau gitu…” Nico bangun dari kursinya. “Kita bikin kopi.” Nico berjalan santai menuju pintu ruang kerjanya.

Nico benar-benar harus mengalihkan pikirannya. Jika terus menatap bibir Ava, bisa-bisa Nico mengecup bibir itu tanpa permisi. Sial! Gadis ini benar-benar membuat Nico jadi salah tingkah.

“Mau kopi apa?” tanya Nico setelah mereka berdua tiba di ruang istirahat.

“Hm, capucino.” Ava asal menjawab saja. Dia tidak cukup paham jika mesin kopi yang ada di ruangan itu memang bisa membuat kopi dengan aneka rasa.

“Ok,” jawab Nico dengan santai.

Sekali lagi, Ava mengedarkan matanya untuk menatap ruang istirahat tersebut. Di tempat kerjanya tidak ada ruangan seperti ini. Dapur pun hanya berada di pojok ruangan yang kecil. Cukup diisi dengan lemari pendingin dan wastafel yang airnya terkadang mengalir kecil.

“Bagus banget ruang istirahatnya,” puji Ava. Tangannya menyentuh sofa berwarna warni yang sengaja disediakan di ruangan itu untuk tempat bersantai. “Ada kamar tidur segala.” Ava tidak sengaja melihat kamar tidur di sudut ruangan.

“Untuk tempat istirahat. Kalau-kalau ada yang butuh tidur.”

“Wah, enaknya.”

“Kamu mau tidur?” tanya Nico sambil berjalan mendekati Ava.

“Hah?!” Entah kenapa Ava langsung terkejut mendengar ucapan Nico yang terdengar seperti ajakan.

“Mau … tidur?” Nico mengulang. Tapi dengan penekanan nada di kalimatnya.

“Eh?! Ah. Nggak-nggak.” Ava melangkah mundur agar bisa menjauh dari Nico.

“Aku pernah tidur … dengan cewek yang mirip sama kamu.”

“Hah?!” Mata Ava terbeliak. Dia sama sekali tidak menyangka jika Nico akan berbicara seperti ini.

“Namanya Nia.” Nico melanjutkan ceritanya, seakan ingin memamerkan pengalamannya pada Ava. “Rambutnya, matanya, bibirnya, bahkan parfumnya, sama.”

“Oh!” Ava mengalihkan pandangannya dari tatapan Nico yang menjurus padanya.

“Kamu mau liat?” tanya Nico sembari memberikan segelas capucino panas pada Ava.

“Liat apa?”

“Liat video saya sama dia.”

“Hah!” Ava hampir menumpahkan kopi di tangannya karena kaget dengan ucapan Nico.

“Are you ok?” Nico bergegas mengambil gelas kopi itu dari tangan Ava agar gadis itu tidak terkena cipratan ataupun tumpahan air panas.

“Gak pa-pa.” Ava berusaha tersenyum.

“Sorry ya. Saya gak seharusnya menawarkan kamu … video pribadi.”

Ava menggigit bibirnya sendiri. Apa yang Nico maksud dengan video? Video pribadi?

Sial! Ava jadi penasaran. Tapi juga deg-degan.

“Saya cuma penasaran aja sama cewek ini.”

“Penasaran kenapa?”

“Saya bahkan gak tau nomor handphone nya.”

“Oh…”

“Apa mungkin, saya upload aja video kami ke medsos. Dengan begitu, dia pasti lihat dan mungkin mencari saya.”

“Hah?!” Ava setengah menjerit. “Memangnya … video apa?” Akhirnya Ava tanyakan juga pertanyaan yang sejak tadi berkutat di otaknya.

“Video kami sedang bercinta,” jawab Nico dibubuhi dengan senyum nakal.

“Hah!” Mata Ava semakin terbeliak. Bagaimana Nico bisa punya video mereka sedang bercinta. Ava memang minum alcohol, tapi dia yakin jika dirinya tidak mabuk. Jadi tidak mungkin Ava tidak sadar jika Nico merekam mereka.

“Sepertinya, itu jalan satu-satunya untuk menemukan Nia.” Nico merogoh kantongnya dan mengeluarkan ponsel miliknya.

“Jangan!” Ava berusaha mengambil ponsel Nico.

Bersambung…

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mira Sauqi
lanjut Thor,seru nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status