TANDA TANYA YANG MENGANGA
Sepanjang mendengarkan penjelasan Ava, Nico terus berpikir keras. Nico sudah tahu permainan Alex selama menjabat menjadi Direktur Utama setelah ayah mereka memutuskan untuk pension di usia enam puluh lima tahun.
Alex bukanlah seorang pebisnis yang jujur. Meski tidak bisa dipungkiri jika Alex mampu menaikkan pendapatan Bio Group sepanjang dirinya mengepalai perusahaan besar tersebut.
Selama ini Nico memilih untuk menutup mata, telinga, bahkan suaranya oleh semua tindak tanduk Alex. Nico juga memilih untuk tidak pernah mau ikut campur terlalu dalam pada manajemen perusahaan. Mungkin karena itu, Nico dianggap tidak memperdulikan perusahaan keluarganya.
“Jadi, bagaimana menurut Bapak dengan konsep iklan yang kami tawarkan?” tanya Ava di ujung penjelasannya.
Nico menatap Ava untuk beberapa lama. Entah apa yang Alex inginkan dari Amazed Company. Nico tahu betul, jika Alex sudah memilih salah satu perusahaan untuk dijadikan mitra, pasti Alex sedang mengincar sesuatu dari perusahaan tersebut.
Tapi apa yang sedang Alex incar?
Benarkah hanya sekedar penalty yang tidak seberapa untuk perusahaan mereka.
“Kurang,” ucap Nico.
“Kurang?” Ava mengulang ucapan Nico. “Konsep kami kurang bagus?”
“Produk ini yang kurang!” Nico menunjuk pada produk dari perusahaannya.
“Pak…” Ava menarik napasnya. Ava tahu jika Nico sedang memikirkan hal lain, jadi tidak benar-benar fokus pada penjelasannya. “Kami bisa buatkan konsep lain kalau yang ini kurang sesuai dengan keinginan Bio Group.”
Nico mengambil pena yang ada di atas meja rapat. Dia mengetuk-ngetukan ujung pena ke atas meja kaca yang dijadikan meja meeting.
“Kapan kamu ada waktu?”
“Waktu buat apa ya, Pak?”
“Cek pasar.”
“Hah?!”
“Kita harus cari tau dulu, kenapa produk ini kurang laku. Kita harus turun ke lapangan untuk mendapatkan jawaban pastinya.”
“Saya akan coba cari tahu sendiri, Pak. Bapak gak perlu khawatir.”
“Kamu gak mau saya ikut?” tanya Nico, mendekatkan wajahnya ke hadapan Ava.
Iya! Kata itu yang sebenarnya ingin Ava katakan sebagai jawaban. Ava benar-benar tidak nyaman berada di dekat Nico setelah dia tahu jika Nico adalah pria pertama yang bercinta dengannya.
“Bukan gitu, Pak. Tapi rasanya, direktur seperti Bapak gak perlu sampai turun tangan ke lapangan.”
“Benar juga.”
“Jadi saya pikir…”
“Tapi kalau saya mau, bagaimana?”
Ava meremas tangannya sendiri. Sikap Nico yang berbelit-belit sungguh membuat Ava geram. Pria ini terang-terangan ingin mendekatinya. Menggunakan banyak alasan dan cara agar bisa menghabiskan waktu dengan Ava. Dan Ava, paling benci dengan pria yang suka menempel seperti ini. Memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
“Sebenarnya mau Bapak apa sih?” tanya Ava, nada suaranya meninggi. “Maaf ya, tapi sepertinya Bapak sedang mencoba untuk memperlambat pekerjaan kami.”
Nico menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Dia sengaja memilih tetap diam. Dia tahu jika Ava masih ingin berbicara.
“Saya tahu jika perusahaan kami akan mendapatkan penalty jika produknya tidak laku setelah kami iklankan. Tapi, kami juga punya deadline yang harus dikejar. Pak Alex minta kami menyelesaikan iklan ini di akhir bulan...”
Hm! Jadi Alex menetapkan banyak syarat ke perusahaan ini. Nico mulai mengumpulkan teori-teorinya.
“Dan kalau Bapak terus memutar-mutar pembicaraan, saya gak bisa jamin kalau iklannya bisa selesai di akhir bulan ini.”
Nico mengangguk-angguk mendengarkan ucapan Ava. “Maju kena, mundur kena.”
“Hah?!” Ava tidak paham lagi dengan ucapan Nico.
Jadi ini trik yang Alex gunakan. Apapun caranya, pada akhirnya Amazed Company tetap harus membayar penalty pada Bio Group. Penalty didapat, iklan pun tetap tayang. Nico lantas tersenyum sendiri. Rupanya Alex masih menggunakan trik-trik licik seperti ini untuk mengerjai perusahaan kecil.
“Fine!” Nico tiba-tiba bangun dari kursinya. “Kalau gitu, besok kamu bawa konsep iklan yang sudah kamu buat, ke kantor saya.”
“Tapi, Pak. Barusan saya sudah kasih contoh konsepnya.”
“Hm, I don’t think so. Yang tadi kamu perlihatkan, bukan original buatan kamu kan.”
“Ya, tapi…” Ava jadi terdiam. Bagaimana Nico tahu jika konsep yang tadi dia perlihatkan memang sudah hasil perubahan sesuai dengan keinginan manajernya.
“Aku mau yang original dari kamu sendiri,” balas Nico. “Aku yakin, buatan kamu lebih baik dari itu.”
“Kenapa?” tanya Ava sembari ikut bangun dari duduknya.
“Karena aku suka gaya kamu,” jawab Nico sambil tersenyum manis.
Jawaban Nico sulit untuk Ava artikan. Tapi Ava merasa jika Nico memang mengingatnya. Mengingat malam itu. Mengingat setiap menit, bahkan detik yang mereka lewati bersama di malam kramat itu.
“Nico, Nico, Nico…” suara Alex terdengar nyaring setelah dia melihat pintu ruang kerjanya terbuka dan muncul sosok Nico setelahnya. “Aku tahu kalau kita bersaudara. Tapi, biasakan mengentuk pintu ruanganku lebih dulu sebelum masuk.”
“Ah, sorry.” Nico langsung meminta maaf. Padahal, bisa saja dia mendebat. Karena Alex sendiri, sering bulak balik ke ruangannya tanpa permisi.
“What happened, Bro?” Alex bangun dari kursi kerjanya. Lalu mengambil duduk di sofa panjang yang dijadikan tempat menerima tamu yang datang ke ruang kerjanya.
“Soal Amazed Company…”
“Kenapa dengan perusahaan itu?”
“Apa sebenarnya rencana lu sama perusahaan itu?”
“Hm, well…” Alex mengalihkan pandangannya sejenak ke jendela ruang kerjanya yang sengaja dibuka setengah bagian. “As I said, kita akan bikin mereka membayar penalty. Anggap aja, kita dapat iklan murah tapi dapat juga penggantian dari mereka.”
“Karena itu, lu bikin kontrak yang menyudutkan mereka.”
“Heem.” Alex sama sekali tidak membantah. “Kenapa?” tanya Alex kemudian. “Lu keliatan terganggu sama rencana gue.”
“Gue…” Nico terlihat ragu untuk membalas. “Gue pikir penalty yang kita dapatkan dari mereka gak seberapa. Wasting time untuk ngurusin perusahaan kecil seperti itu.”
Alex lantas tertawa. “Lu kan ahlinya ngurusin urusan sepele kayak gini. Kenapa tiba-tiba lu jadi pakai hati nurani.”
Urat nadi di leher Nico menegang. Ucapan Alex yang seperti ini, yang kadang membuat Nico ingin marah. Alex benar-benar menganggap Nico seperti sampah yang bahkan tidak layak untuk ada di ruang tengah rumah.
“Come on! Apa yang lu temuin di Amazed Company, sampai lu tiba-tiba berani menemui gue dan … mencoba membantah perintah gue?” tanya Alex dengan wajah serius.
Nico mengatupkan bibirnya. Ucapan Alex benar. Ini bukan Nico yang seperti biasanya. Nico selalu mengikuti apapun yang Alex perintahkan. Entah membuat perusahaan lain membayar penalty tinggi, entah mempermainkan manajemennya, dan entah hingga membuat perusahaan lain gulung tikar karena permainan licik si perusahaan besar.
Kenapa kali ini harus berbeda?
Nico bukan hanya mencoba membantah perintah Alex. Dia juga berusaha menghalangi keinginan Alex yang keji. Nico bahkan mencoba membantu Ava untuk menyelesaikan permintaan Alex yang dirasa tidak akan tercapai.
Tapi kenapa? Nico lantas bertanya pada dirinya sendiri.
“Why?” Alex bertanya kembali.
“Gue pikir, Amazed bisa kita jadikan asset yang berguna. Mereka punya pontensi untuk jadi perusahaan iklan yang besar.” jawab Nico. Sedikit ragu, namun ini adalah alasan tercepat yang bisa dia dapatkan. “Kita akuisisi. Anggap aja, kita punya anak perusahaan periklanan. Jadi kita gak perlu gonta ganti perusahaan iklan setiap tahun.”
Bola mata Alex melebar. Tatapan kebencian muncul setelahnya. Alex sama sekali tidak bangga dengan ide Nico. Meskipun Alex tahu jika ide yang Nico katakan mungkin akan mengurangi biaya pengeluaran perusahaan. Tetapi, Alex tidak akan pernah membiarkan Nico memberikan ide cemerlang untuk perusahaan. Nico, harus tetap menjadi adik bodoh yang menduduki jabatan tinggi karena darahnya terikat dengan si pemilik perusahaan. Bukan karena dianggap cerdas apalagi pintar mengurus manajemen.
“Brilliant!” ucap Alex sambil bertepuk tangan. “Gue gak nyangka kalau adik gue ini bisa punya ide hebat seperti ini.”
Seperti biasa, Alex akan tetap berkata manis meskipun setelahnya dia akan merancang pembalasan yang akan membuat Nico meringis.
“Akan gue pertimbangkan.” Alex menutup pembicaraan antar saudara tersebut.
Namun, meskipun pembicaraan mereka sudah diakhiri. Tidak lantas Alex akan berhenti. Dia justru tergugah untuk mencari tahu alasan Nico yang tiba-tiba bersemangat untuk ikut campur dalam urusannya.
Bersambung…
PACARAN?! Tya merebahkan tubuhnya di atas ranjang tidurnya yang besar. Kepalanya terasa sakit, layaknya ada ribuan kerikil yang bertumpang tindih di dalam otaknya. Tya merasa bersalah, gundah, gelisah, dan entah apalagi istilahnya. Rasanya dia ingin mengucapkan sumpah serapah, tapi hanya diam yang lantas mampu dia ungkapkan. Air matanya menetes tanpa diminta. Tya merasa sudah gagal menjadi ibu dan bapak untuk Ava. Pengorbanannya, kerja kerasnya, dan lelahnya dibayar dengan luka dan nista. "Huh..." napas Tya terasa berat. Matanya mencoba terpejam meski air matanya terus mengalir dengan kejam. "Tan, makan dulu. Ava bikin telor dadar kesukaan Tante." ucap Ava dari depan pintu kamar Tya yang tertutup rapat. Hening. Tanpa balasan apalagi jawaban. Tante Tya masih juga tidak mau meladeni Ava yang sedari tadi berusaha untuk membuatnya keluar dari dalam kamar. Ava menggulung rambutnya yang panjang. Mengikatnya dengan tali karet berwana hitam. Dia berencana untuk membuat mie rebus d
MENIKAH DENGAN ORANG ASINGSuasana di ruang tamu rumah Tya mendadak hening setelah Ava mengeluarkan kalimat ampuhnya.Nico merasa lega, tapi entah kenapa, dia juga merasa kecewa. Ada sisi dari dirinya yang benar-benar ingin memiliki Ava. Menikahi gadis itu untuk menjadi pendamping hidupnya. Tapi sisi lain dari Nico juga mencoba melawan. Ingin tetap memegang prinsip bahwa pernikahan bukanlah jalan keluar dari cinta.Tante Tya mulai bisa bernafas lega. Keponakan satu-satunya tidak hamil di luar nikah. Dia tidak perlu merasa salah karena tidak becus dalam mendidik anak dari kakak satu-satunya.Sedangkan Ashanti, mungkin satu-satunya orang yang terpaksa harus menanggung marah. Dia kehilangan alasan kuat untuk memaksa Ava menikah dengan puteranya. Ashanti sebenarnya tidak terlalu peduli dengan kehamilan Ava. Dia hanya butuh alasan untuk menyelamatkan puteranya dari kehancuran yang dia yakini diperbuat oleh Alex.“Jadi…” Ava membuka suaranya lagi. “Pembicaraan soal pernikahan sebaiknya tida
DIDATANGI CALON MERTUABukan Ashanti namanya jika hanya menerima. Ashanti mungkin bisa sabar saat dijadikan istri simpanan. Dia juga masih terima saat anak semata wayangnya dicatatkan sebagai anak dari istri sah suaminya. Tapi, Ashanti tidak bisa terima jika anaknya tidak bisa mendapatkan harta warisan suaminya.“Kita pergi ke rumah Ava,” perintah Ashanti kepada supir pribadinya.Ashanti sudah mengantongi alamat rumah Ava dari Fathan. Meskipun Ashanti harus memaksa dan meninggikan suaranya di depan asisten pribadi Nico, tapi Ashanti berhasil mendapatkan alamat Ava.“Tumben kamu mau nemenin tante lari pagi,” ucap Tya dengan nafas terengah-engah.“Aku butuh udara segar supaya berpikir tenang,” balas Ava sekenanya.Sebenarnya bukan itu alasan utama Ava menemani Tya olah raga pagi. Ava ingin memastikan tantenya tidak membuka me
MENANTU YANG TAK DIINGINKAN Dugaan Ava benar terjadi. Video keributan dirinya dengan Aluna tersebar dalam hitungan detik. Netizen Indonesia terbukti tidak pernah tidur. Ratusan bahkan mungkin ribuan komentar bermunculan di semua media social yang menayangkan video tersebut. Ratu viral ‘Aluna’ memang tengah disorot atas kasus kehamilannya di luar nikah. Jadi berita apapun yang berhubungan dengan nama Aluna, sudah pasti ikutan viral. Nico menaruh ponselnya di atas meja kerja yang ada di dalam kamar tidurnya. Tangannya memijit keningnya yang tiba-tiba terasa sakit setelah melihat video dan membaca beragam artikel yang membicarakan tentang isi dari keributan Aluna dan Ava. Nico mengingat salah satu komentar yang menyebutkan bahwa Nico ternyata sudah menghamili dua wanita dalam kurun waktu yang hampir sama. Sekarang namanya bukan lagi disebut sebagai pria yang tidak bertanggung jawab. Tetapi sudah dicap sebagai pria ‘Red Flag’ yang meniduri wanita disana sini. Namun bukan sebutan ‘Red
BENCANA ATAU RENCANAAva berdiri cukup lama di depan televisi yang sedang menampilkan berita skandal Nico dan Aluna. Sebenarnya, hingga saat ini Aluna belum memberikan konfirmasi apapun terkait ayah dari bayi yang dikandungnya. Namun foto-foto Nico dan Aluna di hotel sudah cukup untuk membuat natizen berkesimpulan bahwa Nico adalah pria tidak bertanggung jawab.“Udah hampir sebulan, tapi beritanya masih panas aja.” Agnes berkomentar di samping Ava yang sama-sama sedang menonton berita di televisi.“Gimana gak panas, beritanya di gosok terus.” Suara Gita terdengar menyahut, membuat Ava dan Agnes bergegas meninggalkan tontonan mereka.“So, gimana?” tanya Ava, penasaran.Gita menganggukkan kepala beberapa kali. “Gue beneran hamil.” Senyum cantik Gita tersembul.Ava, Agnes, dan Tiwi bersamaan memeluk Gita. Mereka tidak tahu apa arti pelukan itu. Entah pelukan sayang atau pelukan kasihan. Mereka juga belum tahu, apakah kehamilan Gita akan menjadi bencana atau justru rencana indah dari Tuha
HAMILNico hanya mematung. Menatap punggung Ava yang pergi menjauh hingga menghilang ditelan lift yang membawa gadis itu semakin jauh darinya.Nico tersenyum tipis.Lucu tapi juga dongkol. Ini pertama kalinya dia merasa tidak dihargai oleh seorang wanita. Wanita yang bukan apa-apa, bahkan siapa-siapa. Nico jadi menyesal karena sudah berusaha memberikan penjelasan pada Ava. Tapi, dia juga yakin jika dirinya akan lebih menyesal jika hanya diam sama, tanpa berusaha memberikan penjelasan kepada gadis itu.Lucu. Nico tersenyum lagi. Dia merasa seperti orang bodoh saat ini.Ava duduk terdiam di kursi halte bus yang sudah sepi. Gigi depannya mengigit ujung kuku jari tangannya tanpa dia sadari sepenuhnya. Pikirannya melayang. Merasa bersalah karena sudah bersikap kasar pada Nico. Tapi batinnya juga terus berteriak, memastikan apa yang dilakukannya sudah benar.Matanya lantas tertuju pada sebuah mobil yang melintas lambat di depan halte bus. Mobil yang bisa langsung Ava kenali pemiliknya. Mobil