Share

Bab 42. Pertemanan Tanpa Dendam

Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.

Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering.       

          “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.

           “Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.

           “Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.

Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapannya.

           “Kapan-kapan kenalin sama aku ya!” pinta Intan.

Bara yang sedang menikmati kopi hampir tersedak, mendengar apa yang dikatakan Intan. Keningnya berkerut, wajahnya sangat serius melihat Intan yang nampak menggebu. “Kamu gila!” ujar Bara teramat sinis.

Intan tersenyum geli, ia tak menduga jawaban Bara sesadis itu.

Kini Intan yang merasakan getaran benda pintar di dalam tasnya. Setelah melihat nama yang tertera di sana, senyumnya merekah, kedua bola matanya terbuka lebar. Bara yang melihatnya hampir tak percaya dengan pancaran bahagia dari wajah Intan saat itu.

           “Maaf ya aku angkat telefon dulu!” tutur Intan sambil berdiri meninggalkan Bara yang hanya mengangguk pelan.

Dari jarak kejauhan Bara mamandang Intan yang sedang bercakap, setiap detik penuh senyum dan tawa yang sangat renyah. Menambah manisnya wajah Intan, tapi entah mengapa Bara tak suka segala senyuman itu.

Intan tak pernah seceria itu saat bersamanya, dulu atau pun sekarang. Bara mulai menduga dengan siapa Intan bercakap. Dadanya terasa hangat, hatinya seperti sedang terbakar saat itu juga.

Lima menit kemudian Intan kembali menghampiri Bara. Matanya tertuju pada kusutnya wajah Bara. “Maaf ya!” ucap Intan.

           “Ngak masalah. Siapa yang berbicara denganmu?” tanya Bara sedikit sengit.

Intan tersenyum tipis. “Jimmy,” jawab Intan singkat.

           “Apa kamu benar-benar mencintainya?” Bara menatap kopi di hadapnya. Gemuruh di dalam dadanya benar-benar ingin meledak.

Pandangan Intan begitu tajam menatap Bara, pertanyanya membuatnya terkejut. “Seberapa penting jawaban itu untuk kamu?”

Mulut Bara kaku diikuti darah yang semakin mendidih. Tangannya mengepal kuat, sorot matanya semakin tajam. Sedikit rasa ngeri Intan melihat ekpresi Bara untuk saat ini.

Perlahan Intan menyentuh lembut tangan Bara. Sontak Bara sedikit kaget, matanya kini memandang Intan dengan sendu. Ia menyadari betapa jiwa dan raganya masih menginginkan wanita itu.

            “Apakah pantas yang sudah berlalu diungkit kembali?” tanya Intan dengan sangat lembut.

Bara tak bergeming, sentuhan Intan membuat dirinya semakin tenang. Setelah hampir lima belas detik sudut bibirnya bergerak ke atas. Ia tersenyum.

           “Seharusnya aku tak begini, maafkan aku!” pungkas Bara lirih.

           “Kita sudah punya pasangan masing-masing, lupakan masa lalu kita dan fokus dengan garis takdir kita saat ini!” tutur ucapan Intan begitu tenang.

Bara membisu, tubuhnya terasa berat untuk sekedar bergerak. Entah mengapa hatinya begitu pilu dengan ucapan Intan.

           “Apakah aku salah jika masih mencintaimu?” Bara tertunduk lemas.

Tangan Intan menjauh dari jemari Bara. Wajahnya kini ikut pucat, bukan karena ucapan Bara, tapi sedih dengan apa yang dirasakan laki-laki di hadapnya, dia begitu kerasa kepala.

           “Kamu tidak melatih hatimu untuk mencintai orang lain.” Intan menatap atap cafe dengan piluh.

           “Tidak, karena kamu adalah cinta pertamaku. Aku sudah terlatih mendapatkan apa yang aku inginkan.”

Hening, dua manusia yang sama-sama membisu. Intan yang awalnya mampu menguasai hatinya kini juga merasakan kegelisahan, kecemasan mulai menghampiri dirinya.

           “Kamu harus belajar untuk menerima!” celetuk Intan.

Bara tersenyum sinis. “Kamu pikir ini  mudah bagiku?”

           “Kamu pikir siapa yang mengobati aku dari keterpurukan selama ini?” Mata Intan tajam menusuk Bara. “Kamu pikir aku selama ini baik-baik saja sejak kejadian saat itu? Aku gila Bara!” kata Intan dengan mata yang mulai berembun.

Mendengar ucapan Intan, hatinya terasa perih tak ada kata yang mampu keluar dari dalam dirinya. Sesaat suasana menjadi hening tanpa suara, yang ada nada lagu dari dalam café.

Have I ever told you

I want you to the bone

Have I ever called you

When you are ala alone

And if I ever forget

To tell you how I feel

Listen to me now, baby

I want you to the bone

I want you to the bone

Syair indah dari musisi Pamukas menambah hati Bara semakin menciut, seolah-olah lagu ‘To The Bone’ melukiskan isi hatinya saat ini.

Intan menarik nafas panjang. “Apakah kamu tega menyakiti tunanganmu?” Intan memecah keheningan.

            “Entahlah. Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri,” jawab Bara.

            “Tapi tidak semua yang kamu inginkan harus terpenuhi.” Intan menatap sendu Bara.

            “Hatiku masih ada kamu, hanya kamu. Apa aku salah?” tanya Bara.

Wajah Intan terasa panas. “Lalu, kamu mau meninggalkan wanita yang sekarang menjadi tunanganmu?” tanya Intan gemas.

Kini hanya gundah gulana yang ia rasakan. Antara Intan wanita yang membuatnya jatuh  cinta dan Vanya wanita yang selalu ada untuknya. Kini sederet rasa bersalah yang menyelimuti perasaan Bara. Mungkin badannya terlihat gagah dan kuat tapi soal hati Bara adalah kerapuhan.

           “Lalu aku harus bagaimana?” tanya Bara lirih.

Intan memaksa bibirnya tersenyum. “Kita mulai dari awal. Dengan ikatan sebuah pertemanan.”

           “Aku akan coba.” Bara tertunduk. “Meskipun aku sendiri tidak yakin itu akan membuatku bahagia,”

Intan tersenyum pilu, ada sedikit keraguan dalam hatinya apakah yang ia lakukan ini benar. Perasaanya yang dulu hanya untuk Bara kini benar-benar sudah lenyap, tidak tersisa. Yang Intan inginkan saat ini hubungan mereka tidak lebih dari teman, dan tanpa dendam.

Membuat lembaran baru tanpa banyang-banyang masa lalu yang cukup pekat. Keputusan Intan semakin bulat setelah memahami apa arti cinta sesungguhnya. Pengalaman hidup membuatnya semakin yakin untuk mengambil keputusan ini. Intan tidak bisa kembali kepada sesuatu yang pernah menyakitinya.

           “Apa aku salah melakukan ini?” batin Intan dalam hati.

            “Hati itu seperti otot kalo dilatih nanti lama-lama terbiasa !” pungkas Intan mencoba memecah keheningan.

Senyumnya terus melukis wajahnya seolah-olah memberi semangat laki-laki yang masih membeku di hadapanya saat ini.

Dua bola mata bulat memandang arah kolam ikan di cafe, lampu–lampu di sekitar kolam memperlihatkan kelincahan ikan koi berenang. Lumayan bisa mengalihakn focus Bara sejenak.

Bibir Bara terkunci rapat, tak menjawab ucapan wanita di hadapnya, kini matanya beralih memandang Intan dengan tatapan sangat sendu. Di dalam hatinya kini bergelut apakah ia mampu untuk menganggap Intan sebagai temannya.

Tak lama kemudian mereka berajak meninggalkan cafe.

Meskipun Bara merasa berat akan pilihan Intan. Tapi Bara harus belajar menerima. Ia tau jika memaksa kehendaknya yang ada Intan akan semakin menjauh dan akan kehilangan wanita itu lagi.

Dua langkah sepasang kaki menembus parkiran  yang remang-remang. Bara mengantar Intan ke tempat mobilnya parkir. Rambut hitam lurus yang agak tipis Intan terlihat cantik, usia tiga puluh tahun tapi wajahnya jauh lebih muda.

Tangan Bara menyentuh rambut Intan dari belakang, sentuhan itu Intan rasakan sangat lembut. Intan yang merasa sedikit terusik, berbalik badan.

           “Rambutku kotor ya?” Intan terkekeh.

Bara menggeleng pelan, senyum manis menghiasi pipinya.

           “Kamu masih sama cantik seperti yang dulu.” Senyum manis Bara lontarkan.

Intan menarik ujung bibirnya ke atas. “Ngaklah sekarang sedikit gendut,” jawab Intan.

           “Kamu tetap cantik,” jawab Bara.

           “Udah ah! Aku mau pulang dulu.” Intan membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.

Mata Bara tak sedetik pun bisa berpaling dari Intan. Seolah-olah sedang mengobati  ke rinduannya. Dalam dadanya terus bergemuruh dengan sejuta rasa tak menentu.

Sebenarnya Bara ingin memeluk Intan dari belakang tapi entah mengapa kali ini Bara tak punya nyali. Lalu, membiarkan Intan masuk ke dalam mobilnya.

Perlahan Intan membuka jendela mobilnya. Terlihat dari luar rok pendek memperlihatkan hampir separuh paha putih nan mulus. Bara sekilas memandang tak tahan dengan pemandangan itu lantas lebih memilih memandang wajah Intan.

Tapi sial matanya tertuju pada leher Intan yang mulus tanpa kerutan, Bara menelan ludah. Kemudian satu tangannya memijat pelipisnya.

           “Kamu sakit?” tanya Intan.

Bara menggeleng. “Ngak kok, ngak hanya sedikit pusing,” jawab Bara.

           “Perasaan tadi ngak apa-apa kok sekarang pusing?” Intan mengerutkan kedua alisnya.

           “Iya gara-gara lihat anu—itu—jadi pikiran macem-macem.” Bara terbata-bata.

           “Lihat apa?” Intan penasaran.

           “Udah ah jangan banyak tanya, kamu pulang saja!” Bara ketus.

           “Ya udah deh!” Intan sama sekali tidak menyadari jika dirinya membuat bangun kejantanan Bara. “Minggu depan Stif ulang tahun, bakal ada acara kecil-kecilan di rumah. Pasti dia seneng kamu dateng, kamu dateng ya! jangan lupa ajak tunanganmu!” Intan bergitu bersemangat.

           “Oh iya, kalo ngak ada sesuatu yang mendesak aku datang dan kalo dia ngak sibuk kuliah aku ajak.” Matanya yang sulit beralih dari pesona Intan, kini semakin resah dengan permintaan Intan.

Sial! gumam Bara sambil mengusap kasar rambut tipisnya, setelah mobil Intan pergi meninggalkan parkiran.


Derung suara mobil Intan melesat di keheningan malam, kini hati Intan menjadi lebih tenang dari biasanya. Ayah, Mama, Jimmy dan Bara mengajarkan dirinya akan arti dari sebuah cinta. Rasa cinta tak perah salah hanya saja setiap individu yang keliru menempatkanya. Cinta tidak menyakiti, hanya manusia itu sendiri yang menodai cerita cinta.

Intan tahu jika saat ini Bara pasti sedang kecewa, tapi dia harus belajar berkomitmen dan tanggung jawab. Sesuci apa pun perasaanya terhadap Intan, rasa itu tidak pantas terus singgah di diri Bara karena ada wanita lain yang telah ia ikat hati dan juga separuh hidupnya.

Hatinya ini sedikit lebih putih, menerima luka dan kenangan perih semasa hidupnya. Memaafkan Bara, Melisa dan dirinya sendiri menjadi pilihan paling tepat untuk Intan saat ini dan seterusnya.

Ia mulai menyadari saat ini bagi Intan rasa damai dan tenang menjalani hidup lebih penting dari apa pun.  Intan seperti manusia yang terlahir kembali, dengan segala rasa dan pikiran yang lebih positif.

Semua berkat Mama Eva yang mendidiknya sewatktu kecil untuk selalu bisa bertanggung jawab dan pantang menyerah. Terlebih lagi Jimmy laki-laki yang menerima dirinya semua masalalu Intan. Meskipun pondasi kepercayaan Intan masih ia bangun, tapi langkahnya semakin mantap dengan pria pilihanya sekarang.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status