Share

Bab 2. Awal Mula Sebuah Kebohongan

Bengkel itu sedang ramai pengunjung. Meskipun ini hari libur. Terlihat dari antrian mobil yang berjejer-jejer. Joni pemilik bengkel segera menyambut Bara ketika melihat dari kejauhan. 

Pemilik bengkel cukup ramah, terlihat akrab sekali dengan Bara, setelah berbincang-bincang singkat Bara pamit pulang.

"Aku titip Stif ya, ajari cara menghasilkan rupiah!" ujar Bara sambil menepuk pundak pemilik bengkel.

"Siap Pak Polisi!" Pemilik bengkel terkekeh.

***

Saat itu juga Stif langsung boleh berkerja. Pengalaman kerja Stif untuk pertama kalinya, kalo bukan karena faktor Bara mungkin hal itu sulit terjadi.

Stif sejak kecil tidak mendapatkan perhatian penuh dari seorang ayah, sering kali membuat ulah hanya untuk mendapat perhatian Ayah.

Sering bekelahi seolah-olah mengeluarkan semua emosi di dalam dirinya, mabok, bolos sekolah, hampir semua kenalakan remaja dijabahi kecuali soal wanita.

Tiga hari sebelum ujian nasional Stif berkelahi dengan adik kelasnya sampai retak di pergelanggan tanggan, pihak sekolah sudah mengancam Stif tidak dapat mengikuti ujian nasional tahun ini.

Masalah ditambah lagi,orang tua korban tidak terima, lalu melaporkan Stif ke kantor polisi.

Dengan bantuan Bara yang mempertimbangkan Stif masih di bawah umur.

Akirnya masalah bisa diselesaikan dengan kekeluargaan, hanya saja Mama Eva harus menanggung semua biaya pengobatan korban hingga sembuh.

Bara juga yang ikut mendesak pihak kepala sekolah untuk Stif tetap bisa mengikuti ujian nasional.

Bara juga yang berinisiatif menawarkan pekerjaan setelah Stif lulus SMK. Dengan tujuan agar Stif tidak banyak berulah.

"Mbak pulang dulu ya?" kata Intan bergegas pulang.

"Iya Mbak, terimakasih ya." jawab Stif sambil tersenyum.

Intan berjalan beriringan dengan Bara menuju parkiran motor yang berada di kantor polisi, sambil ngobrol ringan seputar kenakalan Stif.

"Gimana kalo kita makan sebentar, ada cafe deket sini yang nyaman tempatnya buat santai?" Bara berkata sambil menghentikan langkahnya.

"Hmmm, gimana ya, oke ngak apa-apa." jawab Intan, sebenarnya ingin menolak tapi merasa sungkan karena Bara telah banyak menolong, apa salahnya jika hanya makan bareng di cafe.

Dengan mobil Bara mereka berangkat menuju Café Brow, yang terletak tidak jauh dari sana, hanya butuh 10 menit untuk ke sana.

Keheningan terjadi di dalam mobil selama sepuluh menit, sekilas Bara melirik Intan yang berambut panjang, pipi tembem, hidungnya sedikit mancung. Cukup menawan, catik, tapi lebih menonjolkan manis di wajahnya.

"Pacar kamu ada berapa?" tanya Bara memecah keheningan sambil terkekeh.

"Aku tidak punya pacar." jawab Intan dengan nada tinggi  dengan tatapan tajam ke Bara, tidak suka dengan pertanyaan itu.

"Bohong, wanita jaman sekarang itu 99% punya pacar kalo atau sudah berpacaran."

"Aku 1% dari wanita itu." jawab singkat Intan.

"Aku tak percaya," terkekeh Bara

"Terserah!" Intan acuh.


Tiba-tiba suasana hening kembali, hanya terdengar suara mesin mobil Bara yang melaju. Bara melirik lagi Intan.

"Maaf pertanyaanku hanya bercanda saja, jangan di pikirkan," Bara berkata memecah kesunyian di dalam mobil.

"Tidak masalah, banyak yang tidak percaya kalo saya tidak pernah pacaran," jawab Intan sambil tersenyum menoleh ke arah Bara.

Intan tidak pernah punya hubungan serius dengan pria, semua teman prianya dianggap teman biasa tidak ada yang special dihatinya.

Setiap kali mulai terpesona dengan teman prianya Intan selalu teringat peristiwa masa kecilnya, ayahnya yang berselingkuh. Membuatnya enggan berpacaran apalagi memikirkan sebuah pernikahan.

Baginya jomblo adalah kebebasan dan pilihan.

"Oh ya, kenapa tidak pacaran?" tanya Bara seperti biasa tidak suka basa basi.

"Aku sibuk, tidak sempat kepikiran pacaran." jawab Intan dengan kebohongan.

Semakin ketus jawaban Intan, membuat Bara tidak berani berkata banyak hal soal pria, bisa-bisa Intan ngamuk tidak jadi nongkrong bareng.

Cafe itu lumayan rame dengan anak muda mau pun tua, meskipun baru pukul 10, mungkin karena ini hari libur. Bara turun terlebih dahulu, berlari kecil membukakan pintu untuk Intan. Sungguh perhatian sekali.

"Kamu mau pesan apa?" tanya  Bara

"Kopi arabica tanpa gula atau susu," jawab Intan sambil membuka daftar menu.

"Kamu suka kopi?"

"Aku pecinta kopi."

"Oh selaramu klasik. Kopi tanpa gula. mau makan apa?"

"Steak kentang." Jawab Intan sambil menutup buku menu.

"Biasanya cewek suka minum jus buah atau sayur, tapi kamu malah milih kopi," kata Bara mengejek.

"Aku tidak bisa menulis tanpa kopi, tapi aku menghindari gula dan krimer. Diabetes." Jawab Intan singkat sambil nyengir.

"Kamu penulis?"

"Iya, menulis sejak SMP tapi baru berani cetak buku tiga tahun lalu."

Bagi pecinta kopi, kopi bukan hanya minuman tapi teman untu berbagai kegiatan, kandungan kafein membuat orang bisa fokus tiga kali lipat, kopi juga menjadi jembatan obrolan manusia nyaman, termasuk Intan dan Bara. Sama-sama pecinta kafein.

Berawal dari kopi, tema pembicaran terus berkembang hingga membuat penasaran Bara pada sosok Intan semakin bertambah.

Bara mulai menanyakan judul buku yang Intan tulis, berapa penghasilan dari novelis, kenapa suka menulis, dapat ide menulis dari mana, Bara memberi pertanyaan selayaknya Intan sedang diintrogasi.

"Apa setiap polisi itu suka mengintrogasi setiap orang yang di temuinya?" Kali ini Intan balik bertanya dengan kening berkerut, jengkel bertubi-tubi ditanya.

"Ha ha ha aku penasaran saja?" jawab Bara terkekeh sambil geleng-geleng kepala.

Suasana semakin asik dengan Bara yang tidak segan bertanya sesekali mengoda Intan, walaupun Intan tidak menjawab dan tersenyum tipis.

Dua cangkir kopi sudah datang menambah suasana semakin nyaman. Tak terasa sudah satu jam lamanya mereka berbincang-bincang, kecerdasan dan kerja keras Intan membuat takjub Bara, Intan tidak menjual kecantikanya tapi otaknya.

Berbeda dengan wanita pada zaman sekarang yang percaya diri dengan wajahnya ayu tapi otaknya kosong.

"Kamu ada janji sama orang?" Bara bertanya, membaca bahasa tubuh Intan yang melihat jam melingkar di tangganya.

"Tidak, aku ada endorse yang belum sempat aku kerjakan, sepertinya kita pulang saja!" jawab Intan sambil tersenyum.

"Ok, kita pulang." Bara segera berdiri, dia juga baru sadar ada janji dengan Melisa, istrinya.

Mobil Bara kembali ke kantor melaju dengan kecepatan sedang saja. Intan melihat kearah cendela terlihat jalan rame meskipun tidak sampai macet, di pinggiran jalan terlihat lalu lalang berbagai macam orang dan kumpulan komunitas sedang berkumpul.

Membuat ide menulisnya muncul dengan otomatis. Intan tersenyum imajenasi di dalam kepalanya menari-nari.

"Kamu sibuk sekali ya ? Kerja, masih menulis, terima endorse?" celetuk Bara memecah keheningan

"Tidak sesibuk itu, aku suka melakukanya." jawab Intan singkat yang masih melihat ke arah cendela.

"Ha ha ha pantes gak punya pacar." jawab Bara sambil ketawa

Intan tidak menjawab, wajahnya datar dengan tatapan kosong matanya dan sehampa hatinya. Rasa trauma yang memaksanya sedemikian rupa, mendorongnya untuk kerja keras dan mandiri, tidak mengandalkan orang tua. Terlebih lagi timbul rasa kecewa kepada Ayah.

Intan bertekat untuk tidak meminta sesuatu kepada Ayah, sejak peristiwa naas di hotel itu. Rasa kasihan kepada Mama Eva yang sudah di bohongi Ayah membuatnya bertekat untuk mencari pundi-pundi uang sejak sekolah menengah pertama.

Sedia payung sebelum hujan, jika suatu saat perselingkuhan Ayah terbongkar dan mereka bercerai. Intan bisa membantu perekonomian Mama Eva. Karena cepat atau lambat bangkai akan tercium juga busuknya.

Intan mengubur rasa kecewa dan benci kepada Ayahnya dengan cara menyibukan diri mencari sumber pengahasilan, hingga tenaganya tidak tersisa memikirkan ayahnya.

Beda dengan Stif yang nyaris tidak mendapat kasih sayang ayah secara utuh sejak lahir, ayah tidak pernah memuji atau sekedar mengendongnya. Paling-paling membelikan mainan lalu diletakan di hadapan Stif kemudian ditinggal dengan sesibukan lain. 

Seperti ada benteng besar antara ayah dan anak, memang aneh!


"Aku minta maaf bukan maksutku tadi mengejekmu, aku hanya bercanda." kata Bara yang diam-diam membaca kekecewan wajah Intan.

"Tidak apa, tenang saja," jawab Intan memaksa senyuman di bibirnya.

"Kapan kita bisa minum kopi bersama lagi?" tanya Bara sambil tersenyum guratan wajahnya nampak berharap sekali.

"Entahlah, aku belum kepikiran." Intan mengakat bahu.

Bara tak memaksa, tapi napak kecewa dengan jawaban Intan. Mobil Bara masuk di pekarangan parkir kantor polisi, dia keluar terlebih dahulu sambil berlari kecil membukakan pintu Intan. Intan keluar bergegas melaju dengan motor maticnya.

Bara masih berdiri melihat hingga punggung Intan hingga tak terlihat, setelah Intan tak terlihat Bara teringat Melisa, pasti sedang menunggunya.

*

Wajah Melisa berbinar, akirnya suaminya datang. Melisa sudah berdandan rapi dengan jumpsuit warna hitam, makeup power full membuat nampak sexy walaupun habis melahirkan.

Seperti janji Bara kemarin selesai urusanya, weekend ini akan mengajak Melisa berjalan-jalan ke mall untuk belanja perhiasan baru. 

“Kita langsung berangkat aja ya sayang?” pinta Bara sambil menutup pintu mobil.

“Ya udah kalo gitu, aku sudah siap kok!” jawab Melisa kegirangan sambil mendekati Bara.

Mobil itu perlahan meninggalkan pekarangan rumah Bara.  Sepuluh menit mobil itu melaju, Melisa menarik rambut hitam panjang yang menempel di bucket seat mobil, matanya melotot tajam dengan kening berkerut. Rasa penasarannya mulai muncul.

"Mas ini rambut siapa?" tanya Melisa sambil menoleh ke arah Bara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status