Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.
“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.
Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.
Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.
Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.
Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk mengejarnya tak mungkin ia harus meninggalkan motornya di tengah jalan. Wajahnya sangat kusut penuh kerisauan. Mata Intan tak lepas memandang pria itu.
Suara klakson dari arah belakang mengagetkanya, Intan kembali menekan gas di kakinya. Kejadian yang baru saja terjadi membuat dada Intan menjadi sempit, fikianya kembali melayang-layang. Teringat Bara saat tempo dulu menghancurkan sebagian hidupnya. Entah mengapa sejak kejadian beberapa tahun lalu rasanya untuk bertemu dengan Bara adalah momong besar baginya. Jika boleh memilih Intan tak ingin bertemu kembali.
Tapi pertemuan ini harus Intan lakukan, ia harus minta maaf. Bara harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Langkah kaki Intan melangkah masuk area café, ia menoleh ke kanan dan kiri mencari tempat duduk yang nyaman yang tidak berdekatan dengan pengunjung lain. Mata Intan tertuju pada sosok laki-laki yang duduk sendirian di hadapanya ada buket bunga yang lumayan besar.
Bara yang melihat Intan dari jauh segera melambaikan tangan, membarikan isyarat pada Intan untuk mendekatinya.
“Hay, maaf membuatmu menunggu,” ujar Intan, sambil menjulurkan tanggan.
Bara kemudian bersalaman dengan Intan. “Kamu hanya terlambat sepuluh menit.” Bara meraih buket bungga di atas meja. “Ini untukmu,” ujar Bara.
“Wah ini ada apa?” mata Intan tertuju pada buket bunga yang begitu Indah.
“Anggap saja itu untuk menebus kesalahanku kemarin karena aku meninggalkanmu sendirian disini.” Bara tersenyum ramah. “Silahkan duduk,” kata Bara.
Intan duduk sambil meletakkan buket bunga itu sekilas matanya tertujuh pada bungga mawar putih yang melingkari bunga yang berwarna merah. Bara masih seperti yang dulu, sikapnya manis pada Intan, selalu memberikan kejutan yang tak terduga.
Jika ada pertemuan dengan Intan, bukan Bara namanya jika tanpa membawa sesuatu untuk Intan.
Mata Intan kini terujuh pada cincin yang melingkar di jari manis Bara. “Syukurlah pertanda baik.” Batin Intan dalam hati.
“Mau pesan apa?” tanya Bara
“Jus alvokat.”
“Apakah kamu sekarang bukan pecinta kopi?” Bara terkekeh sikapnya yang suka mengoda Intan masih melekat pada dirinya.
Senyum Intan terurai membuat wajahnya bertambah manis. “Tadi sudah ngopi di kantor,” ujar Intan pelan.
Bara sekilas memandang Intan, ia begitu kagum dengan wanita satu ini. Ia kembali ke penampilnya saat pertama kali bertemu. Rambut hitam yang di biarkan terurai, wajah bulat putih bersih. Hanya saja sekarang Intan lebih modis, wajahnya juga dihiasi riasan tipis. Menutupi kerutan di area sekitar mata dan bekas jerawat yang sudah samar tertimpa bedak.
“Apakah kamu sudah punya pasangan?” celetuk Bara.
“Kamu belum berubah Bara, spontan dan tanpa basa basi.” Intan memandang Bara.
Kali ini Bara tertawa, Intan memang benar dirinya begitu apa adanya jika sudah berada di dekat Intan.
“Inilah aku! Gimana apakah kamu sudah punya pasangan, pacar, tunangan apa pun itu namanya?”
Intan tersenyum, wajah Jimmy melintas di pikirnya. “Ada, kami baru jadian kemarin,” ujar Intan.
Seketika itu wajah Bara berubah menjadi lebih lesu, sesuatu yang di harapkanya hanya sekedar angan-angan.
“Oh, apakah kalian akan segera menikah?”tanya Bara.
“Entahlah aku masih ragu.” Intan tersenyum. “Bagaimana dengan kamu? Apakah sudah memiliki wanita yang special?” tanya Intan, matanya kini tertujuh pada cincin yang melingkar di jari manis Bara.
Bara menyadari jarinya jadi pusat perhatian Intan, spontan melipat jemarinya. Ia sembunyikan di bawah meja.
“Entahlah aku juga masih ragu, sama seperti dirimu,” tutur Bara wajahnya teramat resah dengan pertanyaan Intan.
Intan tersenyum ia tertunduk. “Aku tidak ragu dengan dia tapi aku ragu dengan diriku sendiri. Ragu apakah aku bisa menjadi istri yang ia harapkan”
Deg!
Jantung Bara berdetak kencang ia berharap apa yang diucapkan Intan hanya guraan. Kini bibirnya mulai keluh tak mampuh mengucapkan sesuatu.
“Aku mengajakmu kesini bukan ingin membicaran akan hal itu.” Senyum manis menghiasi wajah manis Intan.
Bara masih berusaha menutupi kekecewaan dirinya. “Oh, sorry,” tutur Bara.
“Sebenarnya ini tidak mudah untuk aku terutama dirimu, tapi aku waktu itu tidak punya pilihan lain. Maafkan aku Bara, seharusnya Melisa masih hidup jika aku tak mendorongnya.” Intan tertunduk air matanya mengalir lembut membasahi pipinya.
Bara menyentuh pipi Intan perlahan menghapus air mata yang membasahi pipinya. “Intan aku tahu betul sifat istriku, itu tidak murni salahmu!” ucapanan Bara terdengar sanggat lembut.
Perlahan tanggan Bara turun keleher Intan menyentuh bekas luka dengan lonjolan kecil berwarna putih. “Ini sudah bicara Intan, luka ini menjadi saksi bisu.” Bara kembali menarik tangannya.
Intan menatap Bara dengan sendu, ada rasa terharu menyelinap kedalam hatinya Bara begitu mengerti keadaanya waktu itu.
“Aku yang patut disalahkan untuk semua itu, mungkin jika bukan kamu tidak berusaha menyelamatkan diri.” Bara menarik nafas panjang dan melanjutkan ucapanya,”kamu yang mati di jurang itu.”
“Bagaimana pikiranmu seburuk itu pada istrimu sendiri?” tanya Intan tatapanya tajam.
“Bukan, bukan berfikir buruk tapi aku tahu betul karakter isrtiku.”
Intan menarik nafas panjang dia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar kali.
“Kami menikah karena sebuah tujuan masing-masing, aku ingin mendapatkan cita-citaku termasuk menikah dengan Melisa dan tujuan Melisa adalah diriku. Hubungan kami memang sudah beracun sejak dari awal pernikahan. Hanya saja kami tidak mungkin bercerai.” Bara berhenti sesaat, matanya tertujuh pada Intan yang begitu focus mendengarkan ceritanya. “Aku bertemu denganmu dan aku merasakan sesuatu.,” ujar Bara
Intan yang mendengar akan hal itu wajahnya tertunduk layu. Rasanya api yang telah padam ini telah dipantik untuk hidup.
Wajahnya diangkat kembali dan senyum Intan mulai merekah. “Tapi perasaan itu telah hilang-kan?” Intan terkekeh.
Bara mengeleng pelang. “Belum hilang dari diriku hingga detik ini,” ujar Bara.
Intan semakin terdiam, reaksi tubuhnya nampak biasa saja mendengar ucapan Bara hanya saja dia tak mengerti harus berucap. Ia menyadari jika saat ini Jimmy yang mampuh membuat hatinya bergetar dan menari-nari.
Rasa yang dulu untuk Bara telah lama menghilang bersama kesakitan dalam hatinya.
“Tapi caramu mendekati aku itu salah.” Suara lirih terdengar dari mulut Intan menyayat hati Bara.
“Aku memang keliru. Tapi aku juga tidak bisa menahan rasa itu Intan,” kata Bara.
“Kamu tahu akibat yang kamu lakukan itu sangat menyakitkan. Aku hampir kehilangan semangat hidup dan aku hampir kehilangan-,” mulut Intan tertutup rapat, pandanganya tertuju di bawah.
Bara perlahan meraih tanggan Intan, menyentuhnya dengan lembut. “Maafkan aku Intan, hanya kamu wanita yang mampuh menyentuh hatiku dengan sempurna.” Bara kembali meraih tangan Intan, mengenggam keduanya dengan erat. “Aku juga tidak bisa membuat rasa ini berhenti Intan,” tutur Bara dengan lembut.
Intan semakin merasah rikuh, dirinya juga tak menyangka jika Bara benar-benar tidak bisa melupakan dirinya. “Itu semua sudah berlalu,” ucap Intan sambil menarik kedua tangganya.
“Apakah kamu tidak merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan?” Wajah Bara teramat sendu.
“Hmmm, kita sudah punya pasangan masing-masing Bara.” Intan tersenyum miris.
Bara merubah pandanganya, dadanya terasa amat sempit. Kini hatinya galau tak menenentu. Tiba-tiba ponselnya di atas meja berdering. Nama Vanya tertera di sana. Membuatnya semakin diliputi rasa galau.
Dua mata tertuju pada benda pintar itu.
Dengan kilat Bara mematikan panggilan Vanya, Intan yang melihat hal itu lantas berkata, “itu tunanganmu?”
Bara mengangguk pelan.
“Kenapa dimatikan, nanti dia khawatir.” Intan tersenyum manis.
“Tidak masalah nanti bisa aku telefon kembali,” pungkas Bara.
Intan menarik nafas panjang, matanya tertuju pada lampu-lampu warna warna di langit-langit cafe. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Rata-rata mereka berpasangan, duduk berdua dan larut dalam sebuah obrolan.Ponsel Bara bergetar kembali, untuk kedua kalinya. Dan saat itu juga Bara segera menekan salah satu symbol. Ponsel itu berhenti berdering. “Kenapa sih dimatiin? Sudahlah angkat aja dulu, siapa tau penting!” ujar Intan.“Dia biasa telefon di jam-jam tertentu, paling mengingatkan makan.” Bara mengangkat bahu.“Bagus dong, dia sangat perhatian.” Mata Intan terbuka lebar, sangat antusias.Bara tak menjawab hanya tersenyum nyengir. Lalu tangganya meraih kopi susu di hadapann
Dari jarak lima meter Jimmy tersenyum melambaikan tangganya lalu bergegas masuk mobil, perlahan meninggalkan parkiran. “Hati-hati di jalan!” ujar Jimmy.“Kamu juga!” Intan tersenyum sangat manis.Intan tak menyangka jika bos besarnya yang sekarang menjadi kekasihnya begitu manis padanya, memang lain tak seperti yang dulu yang sikapnya begitu dingin terkesan angkuh.Dua bola matanya kini memandang laju mobil kekasihnya hingga keluar dari gedung kantor. Kini Intan melangkah masuk mobil dan memaju mobilnya menuju café tempat dirinya janjian dengan Bara.Derung mobil Intan melesat menembus jalanan kota yang mulai padat, mobilnya berhenti tepat di bawah lampu merah. Di samping mobil Intan, dua pasang manusia terlihat sedang perdebatan, terlihat dari raut marah wanita yang sedang di belakang. Sesaat wanita itu turun dan berlari meninggalkan pria yang bersamanya.Pria itu nampak kebinggunan tapi untuk meng
Baju tidur sudah menempel di tubuh Intan, dirinya sudah siap tidur, iseng mengecek notifikasi gawainya. Wajahnya sedikit terkejut dengan pesan singkat yang ia baca, mengetik beberapa kata tapi ia hapus. Hal itu diulang beberapa kali.Intan urungkan, ia malas membalasnya mungkin jika sempat besok pagi ia akan mengirim balasan, akirnya membuka pesan singkat dari Jimmy terlihat baru lima menit lalu ia kirim.Intan tersipu malu untuk kebeberapa kalinya, tubuhnya terasa ringan melayang keudara. Hatinya menari-nari sangat riang. Rasanya malam ini Intan menjadi tuan putri. Halusinasi orang yang sedang jatuh cinta memang aneh. {Terimakasih telah menerima aku jadi kekasihmu. Aku bahagia.}Sebaris pesan singkat itu yang membuat Intan kepayang malam ini. Tanpa berfikir panjang Intan balas pesan singkat itu. 
Jimmy manfaatkan moment makan siangnya untuk menyatap makanan di kedai Mama Eva, meskipun itu bukan itu tujuan utama. Tapi dengan melakukan itu Jimmy mejadi lebih paham pola hidup dan kebiasan keluarga wanita, yang membuatnya jatuh cinta.Meskipun tidak mendekati keluarga yang ideal tapi Jimmy mengerti Intan yang sekarang adalah bagian dari masalalu yang telah berlalu dan tidak harus dibesar-besarkan.Toh ia mengerti tidak semua keluarga benar-benar utuh, Jimmy sendiri sebagai anak pertama merasakan orang tuanya yang berliku-liku.Rasa grogi Intan semakin menghilang, ia lebih tenang sekarang. Suasana rumahnya kini semakin hangat, ditambah gerimis telah berganti hujan dan angin malam membawa udara semakin dingin.Jimmy dan Stif membicarakan soal bisnis terlihat semakin seru. Jimmy yang lebih jauh bergelut dengan bisnis, jual beli dan berkorelasi mempunyai segudang pengalaman. Moment ini tidak disia-siakan
Tapi Stif memilih lekas menjauh dari tempat itu. Dia menyapa sopan Jimmy dan pergi, tak ingin terlalu lama bertatap muka dengan Fani.Stif sudah memaafkan kesalahan Ayah tapi dia belum terima dengan keberadaan Fani, tidak mudah memaafkan kesalahan orang yang menghancurkan istanah yang dibuat dengan susah payah. “Stif!” teriak Intan.Stif berhenti melangkah dan menoleh. “Aku nebeng! mobilku di kantor.” Suara Intan sedikit meninggi karena Stif lumayan jauh darinya. “Mbak bawa helm?” tanya Stif.Intan mengeleng, tak mungkin naik motor tanpa helm jika tak mau berurusan dengan polisi lalu lintas.Jimmy dibelakangnya tersenyum nyengir. “Biar kakakmu aku yang antar.” Jimmy be
Nasfu sudah menguasai otak manusia. Persetan dengan kewarasan! Itu nomor sekian.Yang ia inginkan hanya terpenuhi kenikmatan di bawah pusar yang sudah bergelora, meskipun hanya tersalurkan selama dua menit.Mata Aldi semakin ganas, melihat Eva meronta-ronta, mulut yang masih dibungkam membuat kesulitan bernafas, tubuh Eva mulai lemas. Gerakanya semakin tidak bertenaga.Terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat Aldi berdiri, berusaha menutupi perbuatan binatangnya.Nafas Eva tersengal-segal sambil terbatuk-batuk. Melihat Hadi yang berdiri di depan pintu lantas berdiri, berlari dan memeluk suaminya. Tak perduli dengan kimono yang porak poranda. Kini ia merasa lebih aman. “Apa yang kalian lakukan?” Merah padam wajah Hadi.Aldi berusaha memasang wajah setenang mungkin.&n