Pertemuan di aula usai. Satu per satu siswa keluar dengan wajah penuh semangat, membicarakan peluang untuk mendapatkan tiket masuk ke daftar sepuluh orang yang dicari keluarga Carpenter. Sorak-sorai dan langkah tergesa memenuhi lorong, tapi Piero tidak ikut terburu-buru. Ia tetap berdiri di dalam, menjadi satu-satunya siswa yang keluar paling akhir.
Di ujung ruangan, Garrett masih berdiri berbincang dengan kepala sekolah. Sorot mata Piero mengunci pada sosok itu, diam, tajam, penuh muatan yang tak seorang pun di ruangan itu mengerti. Ketika kepala sekolah akhirnya pergi, Garrett menoleh, matanya menangkap tatapan Piero yang menusuk. "Siapa anak itu? Dia terlihat memperhatikanku dengan sorot mata yang begitu kuat," tanyanya pada asistennya. "Tampaknya anak ini salah satu fans terbesarmu di sekolah ini, Tuan," jawab sang asisten. Garrett menyunggingkan senyum tipis. "Bawa dia kemari." Asistennya mengangguk dan memberi isyarat. Piero melangkah mendekat tanpa sedikitpun keraguan. Kini, jarak antara pemburu dan mangsa begitu dekat, hanya saja, di mata publik, perannya terbalik. Piero menatap pria yang menjadi alasan kematian Henry, kakaknya, sambil menahan dorongan membunuh yang bergetar di ujung jarinya. "Siapa namamu, anak muda?" tanya Garrett. "Piero," jawabnya singkat. Garrett tersenyum ramah. "Apa kamu tertarik dengan kesempatan dukungan penuh yang aku berikan khusus untuk sepuluh orang terpilih tahun ini? Kalau kamu tertarik, kamu perlu berusaha lebih keras untuk mencapainya." "Aku tahu apa yang aku lakukan," balas Piero, ikut tersenyum, meski di balik itu, bara kebencian yang sudah menyala selama bertahun-tahun semakin membesar. "Kau kelihatannya sangat bersemangat, aku suka anak yang penuh tekad. Kalau begitu berusahalah. Waktumu masih ada beberapa bulan lagi sampai pemilihan dimulai." Garrett menepuk pundaknya sebelum berjalan pergi bersama asistennya. Tangan Piero mengepal keras, lalu perlahan ia renggangkan kembali. Emosi adalah musuhnya saat ini. Garrett hanyalah puncak dari daftar hitamnya, dan satu orang lain masih berkeliaran. Target itu harus dihabisi lebih dulu, sebelum ia mengeksekusi dalang utama. Senyum tipis muncul di bibirnya. 'Kau benar, aku sangat bersemangat. Bersemangat untuk mengeksekusi semua orang yang terlibat dalam kematian kakakku.' ** Beberapa hari setelah pertemuan di aula, fokus Piero beralih pada misi utamanya, target keempat sebelum ia bisa benar-benar fokus pada target utama. Garrett. Tiga nama sudah ia coret dari daftar hitam. Semua mati dengan cara yang berbeda, dan semuanya tidak meninggalkan jejak yang bisa mengarah padanya. Tapi target keempat ini… cukup lain. Dia licin, jarang muncul di tempat umum, dan selalu berpindah lokasi seakan tahu ada yang memburunya. Nama itu, Ralph "The Hyena" Morris. Seseorang yang dulu menjadi tangan kanan Garrett saat mengatur eksekusi Henry. Sejak kejadian itu, Ralph menghilang dari radar, hanya muncul untuk urusan yang sangat penting. Piero menghabiskan seminggu penuh menelusuri gosip di jalanan, menyuap informan kecil, bahkan pura-pura menjadi kurir barang ilegal untuk menyusup ke lingkaran peredaran narkoba. Jejak tipis mulai muncul, desas-desus Ralph akan menghadiri pertemuan rahasia di sebuah gudang tua di pinggir dermaga malam ini. Jam menunjukkan pukul 23.45 saat Piero tiba di lokasi. Dari balik kegelapan, ia mengamati gudang itu. Hanya ada satu pintu masuk, dijaga dua orang bersenjata. Lampu-lampu kuning pucat menerangi jalanan basah bekas hujan. Lalu ia melihatnya, Ralph, dengan jaket kulit hitam, berjalan keluar sambil tertawa keras. Senyum lebar memperlihatkan giginya yang berantakan. Itulah tawa yang dulu saksi-saksi dengar saat Henry mati di tangan mereka berlima. Piero merasakan darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. Malam ini bukan untuk emosi, ini adalah momen berburu, dan pemburu selalu sabar sebelum menarik pelatuk. Ia mengikutinya dari kejauhan, menunggu waktu yang tepat untuk menutup jarak. “Akhirnya… aku menemukanmu.” gumam Piero. Namun keberadaannya disadari oleh seseorang. "Hei, kau! Apa yang kau lakukan di sana?!" Piero tidak berlari atau menunjukkan ekspresi takut, ia justru menghampiri orang yang menyerukan namanya sambil menunjukkan bungkusan berisi barang ilegal di tangannya. "Dimana ketua? Aku membawa paket pesanannya." "Oh, kau kurir?" kata pria di depan Piero itu sebelum menyuruh anggotanya mengantarkan Piero langsung pada pemesan barang tersebut tanpa perantara. Di dalam ruangan berbau asap rokok dan debu besi, Piero menyerahkan bungkusan kecil yang ia bawa dengan hati-hati. Pria bertubuh gempal di hadapannya membukanya sekilas, lalu tersenyum puas. Dari laci meja, ia mengeluarkan segepok uang, jumlahnya cukup besar untuk membuat banyak orang tergiur. “Sekarang kau bisa pergi. Dan pastikan… pura-pura tidak pernah melihat apapun yang terjadi di sini,” ucap si penerima barang dengan nada peringatan. Piero hanya mengangguk datar. Saat ia hendak memutar gagang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dari luar. Sosok tinggi dengan jaket kulit hitam masuk, menebarkan aroma parfum murahan bercampur bau tembakau. Ralph melangkah melewati Piero tanpa sedikit pun menaruh curiga, tak tahu bahwa anak muda yang baru saja ia lewati adalah… akan menjadi alasan kematiannya. “Semoga kau sempat bertobat sebelum ajal menjemputmu besok,” batin Piero, matanya menatap sekilas pada Ralph, penuh perhitungan. Ralph yang merasa diperhatikan, menoleh cepat. Namun Piero sudah melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya. “Siapa tadi itu?” tanya Ralph curiga. “Hanya kurir. Abaikan saja,” jawab si pria gempal sambil kembali menatap bungkusan. Di luar, udara malam menyambut Piero. Ia bersiul pelan sambil menimbang-nimbang uang di tangannya, senyum tipis muncul di bibirnya. “Dunia busuk ini… rasanya ingin segera kuacak-acak habis-habisan,” gumamnya lirih, lalu menghilang ke dalam gelap, seperti pemburu yang sudah menandai mangsanya.Pertemuan di aula usai. Satu per satu siswa keluar dengan wajah penuh semangat, membicarakan peluang untuk mendapatkan tiket masuk ke daftar sepuluh orang yang dicari keluarga Carpenter. Sorak-sorai dan langkah tergesa memenuhi lorong, tapi Piero tidak ikut terburu-buru. Ia tetap berdiri di dalam, menjadi satu-satunya siswa yang keluar paling akhir.Di ujung ruangan, Garrett masih berdiri berbincang dengan kepala sekolah. Sorot mata Piero mengunci pada sosok itu, diam, tajam, penuh muatan yang tak seorang pun di ruangan itu mengerti.Ketika kepala sekolah akhirnya pergi, Garrett menoleh, matanya menangkap tatapan Piero yang menusuk."Siapa anak itu? Dia terlihat memperhatikanku dengan sorot mata yang begitu kuat," tanyanya pada asistennya."Tampaknya anak ini salah satu fans terbesarmu di sekolah ini, Tuan," jawab sang asisten.Garrett menyunggingkan senyum tipis. "Bawa dia kemari."Asistennya mengangguk dan memberi isyarat. Piero melangkah mendekat tanpa sedikitpun keraguan. Kini, ja
Air shower mengucur deras, menghantam lantai kamar mandi dengan suara berulang, namun warnanya tak lagi jernih, melainkan merah pekat. Darah bercampur air mengalir di kaki Piero, hilang di lubang pembuangan. Ia berdiri mematung, mata terpejam di bawah guyuran air panas, membiarkan sisa pembantaian itu luruh dari kulitnya. Tidak ada rasa bersalah. Tiga nyawa sudah ia ambil, dua di antaranya dalam waktu kurang dari seminggu.Masih ada dua orang yang masih berkeliaran, Piero yakin, satu persatu pasti akan ia dapatkan dimanapun persembunyian mereka. Selesai membersihkan diri, Piero segera mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian sebelum melihat informasi terbaru dimana posisi dua orang lainnya. Satu diantaranya bernama Garrett, dan ini adalah orang yang ia rasa lebih kuat dari yang lainnya."Aku tidak akan pernah berhenti, sampai api dendam dalam dadaku padam." batin Piero saat ia melihat foto Garrett di dalam ponselnya, tangannya tanpa sadar mengepal dan rahangnya mengeras.Keesokan
Hari demi hari, Piero terus memburu jejak tiga orang yang telah merenggut nyawa saudaranya. Dua diantaranya sudah ia kirim ke liang kubur. Kini, target ketiga yang ia incar. Malam itu, kabar datang dari Carlo, orang itu berada di Washington. Tanpa pikir panjang, Piero meluncur kesana, melawan dingin malam yang menusuk.Ia berdiri di trotoar seberang sebuah klub malam yang gemerlap, lampu neon berwarna merah muda dan biru memantul di aspal basah sisa hujan. Hoodie hitamnya menutupi sebagian wajah, membuatnya menyatu dengan bayang-bayang. Satu tangan menggenggam ponsel di telinga, satu lagi di dalam saku, meraba gagang pisau lipat yang sudah ia siapkan."Kau yakin dia ada di sini?" suaranya pelan namun tegas, nyaris tak terdengar tertelan musik bising dari dalam klub."Yakin," jawab Carlo di seberang. "Dia di dalam. Tunggu saja. Dia akan keluar sebentar lagi."Klik. Sambungan diputus. Piero mencondongkan tubuh, duduk di pinggiran pagar pembatas. Matanya mengamati setiap wajah yang kelua
Piero melemparkan tas sekolah ke atas tempat tidur, ia sudah menyuruh seseorang menyiapkan tempat nyaman untuknya. Tempat itu tidak jauh dari markas para kriminal rendahan yang ia sewa, namun tidak banyak yang tau lokasi tempat tinggal barunya karena berada di ruang bawah tanah.Meskipun di bawah tanah, tapi orang suruhan Piero telah merenovasi tempat tersebut menjadi nyaman dan juga punya sistem keamanan yang hanya Piero bisa kendalikan.Baru saja ia selesai mengenakan kaus hitamnya kembali, ponselnya berdering.“Bagaimana? Sudah dapat mereka?” tanyanya dingin, masih merapikan bagian kerahnya.“Sebaiknya kau datang dan lihat sendiri,” suara Carlo terdengar dari seberang. Tak banyak bicara, tapi cukup untuk membuat Piero segera bergerak.Langkah kakinya mantap menuruni lorong gelap menuju tempat yang biasa digunakan para kriminal rendahan itu untuk menyembunyikan “barang tangkapan”. Ia tahu ruangan itu, cat temboknya mengelupas, lantainya seperti belum tersentuh sapu selama bertahun-t
Piero masih sembilan belas tahun, harusnya ia lulus sekolah tahun kemarin jika dirinya tidak di penjara karena kasus pembunuhan. Mau tidak mau, ia harus melanjutkan pendidikan selama satu tahun.Setelah setahun tidak sekolah, ini adalah hari pertamanya masuk kembali. Banyak orang memandang ke arahnya, sementara Piero seolah menjadi orang yang berbeda ketika dia di markas para kriminal rendahan itu dan juga di sekolah.Seakan punya kepribadian ganda, ia bisa menjadi pria berdarah dingin dan juga pria yang disukai oleh orang lain. Bagi Piero, sekolah bukan untuk tempat perkelahian.Ia duduk di kursi belakang, tempat yang biasanya dihindari siswa teladan. Tak lama, seorang remaja ceria dengan rambut acak-acakan dan gaya bicara cepat duduk di sebelahnya."Hei, kau anak pindahan ya?" sapanya santai.Piero menoleh perlahan. "Bukan. Aku cuma melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda.""Oh...," pria itu mengangguk paham. "Tertunda karena ikut olimpiade internasional? Atau ikut pertukaran pe
Gedung tua yang menjulang di antara reruntuhan kota itu seolah tak layak ditinggali siapapun, berlapis cat yang mengelupas, jendela-jendela pecah, dan aroma lembab yang meresap sampai ke tulang. Tapi di dalamnya, kehidupan lain berlangsung. Kehidupan liar, kelam, dan kacau.Ruang-ruang gelap itu dihuni oleh para bajingan jalanan yang tak lagi mengenal moral. Asap rokok menggulung di udara, tawa pecandu bersahut-sahutan, dan di balik sekat-sekat kain murahan, tubuh-tubuh bertaut tanpa ikatan. Obat-obatan berpindah tangan seperti permen, dan wanita-wanita yang tak lagi punya pilihan menjadi hiburan kolektif. Dunia kecil yang sudah kehilangan arah.Piero berdiri di tengah itu semua, seperti sosok asing dari dunia berbeda. Tatapan tajamnya menyapu seluruh ruangan, ekspresinya datar, namun penuh penilaian. Jijik? Tentu. Tapi ia tidak datang untuk menjadi hakim. Ia datang untuk memanfaatkan."Carlo, anak mana yang kau bawa itu?" suara serak berat memanggil, datang dari pria bertato dengan b