Home / Romansa / Hutang Barang Mantan / Bab 2. Jebakan Ravi

Share

Bab 2. Jebakan Ravi

Author: Fiska Aimma
last update Last Updated: 2022-05-18 10:27:27

" ... syaratnya kamu harus jadi istri saya dan bantu saya balas dendam."

Kalimat Pak Ravi terngiang-ngiang terus bagai lagu Cendol Dawet di telingaku.

Bayangkan! Dia rela membayarkan hutangku pada Vio dengan syarat aku harus menjadi istrinya.

Widih ... ini sih namanya sudah jatuh tertimpa Iron Man. Bingung sebingung-bingungnya.

Anehnya lagi, akhir-akhir ini selain aku frustasi memikirkan tawaran Pak Ravi, aku juga merasa mulai sensitif dan mulai setengah halu.

Setiap malam aku terus bermimpi dikejar-kejar angka empat dan nol yang jika disatukan jadi empat puluh juta, jadi pas bangun bawaannya ingin ngajak gelut. Beda kalau lihat orang ganteng, bawaannya ingin ngajak rumah tangga.

Apes ... apes.

Segininya aku memikirkan membayar hutang pada mantan karena di saku yang tersisa tinggal duit ceban. Beli minum teh botol saja udah habis itu pun pulang harus ngesot karena nggak bisa naik ojek.

Pusing.

Beginilah nasib orang miskin, apa-apa kekurangan. Mau makan saja masih ngutang, ini malah ditagih uang mantan yang udah enggak jelas bentuk dan rupanya. Udah jadi ingus sama kotoran.

Tega! Si Vio emang rajanya tega!

[Saya minta uang itu harus ada sebelum saya nikah ya, Sara. Ingat!]

Astaghfirullah! Aku mengelus dada melihat isi chat ancaman si Vio lagi.

Sebelum dia nikah katanya, itu sih namanya seperti mau membunuhku secara perlahan.

Aku kira kalau dia udah nikah sama janda kaya ia nggak butuh uang.

Eh, ini kok kebalikannya? Apa gunanya itu dempul make up dan uang Bu Hana? Masa cuman jadi pajangan?

"Emaaaaak!" Aku mengacak-ngacak rambut dengan frustasi.

"Eh! Eh, kunaon Neng? Ulah kitu atuh, tenang ... jangan acak-acakin rambut gitu nanti kutunya bertebangan kena bala-bala." Bu Yati si tukang warung nasi langsung menahan tanganku.

Aku bengong. Setega itu Bu Yati mengira aku kutuan, walau aku keramas kadang pakai sabun tapi perasaan nggak sampai berkutu.

Aku menepis tangan Bu Yati. "Ih, apa atuh Bu, kata siapa saya kutuan saya mah ketombean aja kok. Nggak akan terbang sampai makanan Ibu. Sebenarnya ini teh saya lagi bingung, sebagai anak yatim piatu saya teh lagi merass didzolimi," kataku sambil manyun.

"Eleuh ... kenapa atuh? Didzolimi sama siapa?" tanya Bu Yati. Alis cetarnya bergerak-gerak penasaran.

"Sama Vio Bu, dia minta saya balikin semua barang dia. Coba Ibu pikir, bagaimana bisa saya bayar utang itu? Bayar hutang ke Ibu saja susah."

"Bener Neng, bayar hutang ke saya aja susah Neng mah. Janji Senin eh, sampai si Onah bertelor Neng mah nggak ada kabar," timpal Bu Yati sambil menunjuk ayamnya pura-pura sedih.

Curhat nih, ye!

"Ah, ibu mah suka gitu kemarin kan aku udah bayar pakai kartu tanda mahasiswa," elakku sambil nyengir.

"Ya atuh mana laku kartu eta mah. Mendingan sekarang minta solusi sama Pak Ravi gih, Neng. Kali aja dia mau bantu."

"Udah Bu, tapi syaratnya harus nikah sama dia."

"Waduh? Nikah Neng? Mau atuh, bilang gitu daripada nanti Neng ken--"

"Di sini kamu ternyata! Ayo, bayar utangnya!"

"Eh! Vio? Kamu di sini? Ngapain?" Sontak aku berdiri melihat siapa yang tiba-tiba menyelaku ketika sedang mengobrol dengan Bu Yati.

Vio mendengkus kesal. "Ngapain? Ya, nagih uanglah apa lagi?"

Allahu Akbar! Tobat dah, nih orang beneran nggak sabar, perasaan tadi baru W* sekarang udah nongol lagi buat tujuan yang sama.

Menagih hutang.

(***)

Seyogyanya, aku tidak perlu merasa terkejut dengan kedatangan Vio ke warung nasi Bu Yati. Sejak dulu cowok bengal satu ini emang pemaksa dan rentenir kelas wahid.

Aku saja yang bodoh mau menerima kebaikannya, seakan hubungan kami ini akan melangkah selamanya hingga lupa Tuhanlah yang Maha Merencanakan.

40 juta ... oh, ke mana aku harus mencarinya?

"Sara, jadi kapan kamu akan bayar?" tanya Vio menatapku penuh tuntutan.

Aku mengernyitkan dahi. Ternyata sogokan teh manis spesial dari Bu Yati tak membuat hatinya luluh. Dia tetap duduk angkuh di depanku sementara aku berdiri karena tubuhnya menghabiskan semua posisi.

"Bukannya kamu di W* bilang nanti sebelum kamu nikah. Kok, sekarang udah datang lagi? Kamu kan bisa kasih aku waktu. Aku belum dapat kerjaan yang lebih baik Vio," jawabku jujur.

"Apa? Kamu minta waktu? Nggak bisa Ra, aku harus beliin perhiasan buat Bu Hana. Jadi, aku minta kamu serahkan apa yang kamu punya saja. Gimana? Inget loh, bagaimana pun kamu hutang budi sama aku. Kamu kayak gini karena jasa aku, mending kamu jual saja kalung emas ibumu buat bayar hutang kamu," ungkitnya lagi membuat dadaku seketika memanas.

Vio sudah keterlaluan. Sekarang dia malah membahas tentang kalung peninggalan Ibuku.

"Apa? Kalung emas ibuku? Tapi itu nggak mungkin aku jual."

"Ya udah, kalau gitu aku minta kamu jadi istri simpanan aku aja. Gimana?"

Brak!

Tiba-tiba sebuah gebrakan meja yang dipukul dengan keras terdengar memekakan telinga. Sontak saja aku menoleh ke arah suara dan kutemukan Pak Ravi yang berdiri dengan wajah datarnya.

"Hey, Ra? Apa saya telat?" Pria berumur tiga puluh tahun itu menyunggingkan senyum padaku.

Aku menelan ludah yang terasa kering.

"Pak Ravi? Kok, ada di sini?" tanyaku terkejut, pasti Bu Yati nih ember.

Kulihat wajah Vio menegang ketika melihat ada sosok lain di antara kami.

"Ra, kenapa ada dia di sini? Kamu ternyata selingkuh ya di belakang aku?" Vio memulai dramanya dan mengajukan playing victim.

Tubuh atletis Vio langsung berdiri dan memandang lurus pada Pak Ravi yang dengan santainya mendekatiku yang berdiri kaku.

"Ngapain kamu ada di sini, Pak? Ini bukan urusan orang asing," tanya Vio sambil membusungkan dadanya. Seakan Pak Ravi adalah ancaman.

Jelas Pak Ravi ancaman, dari segi muka sampai tinggi badan saja Vio kalah jauh.

Pak Ravi menyeringai. "Anda berkata saya ini orang asing?"

"Iya. Siapa lagi?" tantang Vio tak suka.

Pak Ravi tersenyum samar sambil bersender santai ke tembok yang ada di sebelahku.

"Baiklah akan saya beri tahu dan tidak akan saya ulangi. Saya sekarang sudah menjadi calon suami Sara. Jadi mulai sekarang jika ada urusan dengan dia berarti urusan saya juga."

Pak Ravi melirikku sekilas sambil memberi kode sedangkan aku hanya bisa menganga syok.

Sumpah nggak ngerti lagi, Pak Ravi niatnya apa berkata begitu?

Aku sontak melebarkan mata mendengar kalimat Pak Ravi.

Mungkin sekarang suara Pak Ravi terdengar meremehkan bagi Vio tapi bagiku itu bagaikan kalimat lamaran tidak secara langsung.

Vio tersenyum meledek. "Cuih! Calon imam Sara, hahaha ...." Vio tertawa. "Bagus sekali sandiwaranya, Anda berbohong, kan? Dengar saya itu ...."

"Mantan, kan? So, sang mantan, kita langsung saja intinya. Jadi kata calon istri saya, Anda menuntut hak pengembalian barang yang pernah Anda berikan sama dia. Betul begitu?"

Pak Ravi mendadak beranjak dari tempatnya untuk berhenti tepat di depan Vio.

"Ya, benar. Jadi saya ke sini untuk ...."

"Baiklah. Sekarang, apa ada tanda tangan yang menyatakan kalau semua pemberian Anda menjadi hutang? Bukankah Anda sendiri sadar dan ikhlas pada saat memberikannya?"

"Bukan begitu. Iya saat itu saya ikhlas tapi ...."

"Tapi Anda terlalu miskin untuk mengakuinya?" potong Pak Ravi seolah tak memberikan kesempatan Vio berbicara sedikit pun.

"Maksud Anda?"

"Saya tidak punya maksud. Saya hanya ingin bilang seorang lelaki yang meminta kembali barang pemberiannya pada seorang wanita. Itu berarti lelaki itu pecundang!"

Mata Vio membelalak dan rahangnya terkatup rapat setelah mendengar sindiran Pak Ravi.

Pasti dia sekarang sangat ingin memukul Pak Ravi, itu terlihat dari tangannya yang mengepal dan urat-urat lehernya yang menegang. Namun, Pak Ravi malah menyeringai sama sekali tidak terintimidasi.

Lelaki itu tiba-tiba mengeluarkan satu kartu atm dan meletakannya di atas meja.

"Sudahlah! Gak usah belaga punya harga diri! Ini atm saya, di dalamnya ada uang 40 juta seperti yang kamu butuhkan dan paswordnya sudah saya kirimkan ke ponsel kamu. Silahkan ambil! Tapi, setelah ini saya harap kamu tidak usah mengganggu saya lagi atau pun Sara. Permisi! Ayo, Sar!"

Belum juga aku menyetujui bantuan dosen muda ini tiba-tiba tangan Pak Ravi menarik tanganku untuk menjauhi Vio yang melotot dengan mata memerah.

Dan mulutku semakin menganga. Bentar, kok jadi begini urusannya? Itu kartu atm kan? Bukan KTP?

(***)

"Cepat bubuhkan tanda tangan kamu di sana!"

Pak Ravi tiba-tiba menyodorkan satu lembar kertas ke arahku saat kami memutuskan mengobrol di salah satu rumah makan padang.

Aku memandangi Pak Ravi, tampak keseriusan di matanya.

"What? Bentar! Saya mikir dulu, ini kertas apa? Kenapa saya harus tanda tangan?" tanyaku penasaran.

"Kamu tahu kenapa saya mau bantu kamu?"

"Enggak, kan saya bukan Mamah Loreng atau Mbah Jambrong."

"Sama seperti kamu, saya juga dikhianati. Ibu saya meninggalkan saya di kontrakan sendirian demi menikah dengan orang kaya karena lelaki itu tidak mau dia membawa anak. Sedangkan kamu, dikhianati karena Vio memilih ibu kandung saya yang kaya. Kamu menemukan irisan nasib kita, kan?" seringainya seraya mencondongkan tubuh ke depan, sehingga aku mengikutinya.

Kulihat ada binar kebencian yang kentara di balik mata coklat gelap Pak Ravi. Tak kusangka dia anaknya Bu Hana si janda kaya yang juga bos Vio. Kasian.

Aku menggelengkan kepala tak setuju. "Tapi, bagi saya ini tetap saja tak boleh Pak. Sama saja kita seperti mempermainkan pernikahan."

"Saya tidak mempermainkan. Saya hanya menjadi alternatif buat kamu, lagi pula saya akan bertanggung jawab sama kuliah S-2 kamu. Bukankah kamu membutuhkannya? Saya hanya menawarkan kesepakatan yang mungkin menguntungkan bagi kedua belah pihak."

Mataku mengerjap beberapa kali. Benar juga, selama ini aku sudah hidup di bawah garis kemiskinan dan sudah banyak yang menipuku.

Apa salahnya aku menjadi partner patah hati Pak Ravi? Kali aja aku bisa makan nasi padang tiap hari.

"Jadi inginnya Pak Ravi, saya harus bagaimana?" tanyaku to the point. Setelah terdiam cukup lama.

Otakku suka konslet kalau diajak berpikir berat karena nasi padang di atas meja mengalihkan konsentrasi.

"Menikah dengan saya dan mari kita susun rencana untuk membalas perbuatan mereka. Deal?" Pak Ravi mengulurkan tangannya ke depanku.

Aku terdiam ragu, tapi merasa tak ada pilihan lagi karena telah berhutang sekarang. Akhirnya, dengan berat hati aku menyambut tangan itu.

"Deal."

Dan dia pun menyeringai misterius, persis mafia yang baru mendapatkan korbannya.

Jangan-jangan aku dijebak?!

"Oke, Sara. Kalau begitu bersiaplah tiga hari dari sekarang kalau bisa kita akan menikah, mari kita temui keluargamu sekarang," ucapnya enteng tapi cukup membuatku syok.

Serius? Tiga hari lagi? Emang bisa? Aku mendadak ingin pingsan.

Bercandamu kelewatan Pak!

--

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hutang Barang Mantan   Bab 30. Hutang Barang Mantan (Ending)

    Aku sungguh tak menginginkan acara penyambutan yang kaku dan menyedihkan seperti ini ketika kembali ke kediaman keluarga Sasongko.Namun, apa yang aku bisa harapkan? Jika kehadiran kami saja membuat semua orang kecewa karena Bang Ravi menyampaikan kabar tentang kehamilanku pada keluarga yang jelas-jelas tak menginginkannya."Sudah berapa bulan?" tanya Bu Gea dengan nada berat sehingga terdengar seperti gumaman.Saat ini kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu dengan formasi lengkap. Bu Gea, Wita dan Pak Songko ketiganya seketika diliputi atmosfer gelap terutama Wita. Gadis itu sampai menundukan kepala menahan tangis yang hendak keluar.Aku paham kondisi ini pasti sangat sulit bagi semua. Sebagai wanita, Wita pasti sangat sakit hati ketika tahu lelaki yang ia cintai selama ini ternyata telah memiliki anak dari perempuan yang ia benci. Apalagi pernikahannya pun harus gagal karena Bang Ravi lebih memilih aku."Kata Dokter baru lima minggu Bu, minta doanya," kata Bang Ravi. Kurasakan geng

  • Hutang Barang Mantan   Bab 29. Penghutang Barang Mantan

    Aku memainkan sendok yang kupegang dengan perasaan malas. Sudah setengah jam berlalu tapi aku masih saja tak bisa menghabiskannya. Rendang, nasi, parkedel dan lalaban yang ada di hadapanku benar-benar tak dapat menggugah selera.Hari ini tepat dua minggu berselang dari hari di mana aku diminta pergi dengan paksa dan berakhir di villa persembunyian Bu Hana yang berada di kaki gunung Pangrango. Bu Hana? Bu Hana ibu kandung Bang Ravi? Iya dia. Siapa sangka, di saat aku merasa ingin pingsan di pinggir jalan karena merasa kehilangan tujuan, dialah yang membawaku ke sini. Sungguh kebetulan, aku yang hendak melarikan diri setelah dihina dan diusir bertemu dengan seorang perempuan yang kukira musuh. Beruntung, saat itu tak ada Vio di sana sehingga dengan amannya aku bisa menyembunyikan diri. Entah, ini karena kasian atau dia berpikir sebaiknya merawatku demi rasa bersalahnya kepada seorang Ravi, jujur aku tak peduli. Aku tidak tahu ada modus apa di balik kebaikan Bu Hana yang tiba-tiba ini

  • Hutang Barang Mantan   Bab 28. Unboxing? (POV RAVI)

    Langkah ini begitu gontai saat keluar dari ruang perawatan Pak Sasongko. Pikiranku berkecamuk tak tentu arah karena memikirkan permintaan Ayah angkat yang tetap mau menikahkanku dengan Wita. Kata beliau hanya aku harapan dia untuk menjaga anak bungsunya.Sejujurnya, sampai saat ini aku masih belum bisa memberi jawaban. Sekali pun Ibu mendesak dan Wita tentu saja berharap, aku memilih bersikeras menunda keputusan. Aku tak ingin emosi dan mengambil jalan yang salah. Terutama, aku tak ingin menyakiti Sara.Aku mencintainya. Itu pasti. Hanya saja aku belum menemukan cara agar membuat Sara tetap di sisiku tanpa menjadikannya objek kemarahan keluarga Sasongko. Sebagai lelaki aku tak boleh gegabah bertindak."Ravi tunggu!" Suara tegas milik Ibu menahan langkahku yang hendak menuju ke arah pintu keluar. "Ibu ingin bicara."Aku berbalik dan memaksakan senyum. "Iya Bu. Ada apa lagi?" tanyaku menahan rasa enggan.Otakku benar-benar penat dan butuh istirahat."Kamu bisa jagain Wita malam ini?""L

  • Hutang Barang Mantan   Bab 27. Penjelasan Hati

    Patah hati adalah sebuah kejadian yang pasti dialami oleh hampir seluruh manusia yang mengaku pernah jatuh cinta. Kisah patah hati pun nggak sama, semua orang punya kisah berbeda. Tapi, berkali-kali patah hati karena suami tak membuat hatiku menyerah. Entah mungkin karena sudah terbiasa.Bang Ravi, pria itu terlalu nyata untuk aku lupakan. Kenangan dan segala sesuatu tentangnya membuatku tak bisa beralih pikiran. Lalu, aku harus apa? Ketika aliran sesak ini semakin tak tahu diri.Menangis? Ah, aku lelah! Bahkan rasanya aku seperti menjilat ludahku sendiri.Dulu, aku mengatakan, menangis untuk Bang Ravi sama saja dengan menangisi kebodohan tapi fakta membuktikan kalau aku malah tenggelam dalam kebodohanku sendiri.Baru seminggu saja aku bersembunyi, ternyata diri ini sudah sangat merindu seorang Ravi.Aku rindu wanginya.Aku rindu suaranya.Aku rindu tatapannya, tawanya, ciumannya, dekapannya dan semua tentangnya.Aku hampir merasa gila tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak kusangka

  • Hutang Barang Mantan   Bab 26. Sebuah Pilihan

    Apa yang kamu harapkan Sara? Ngimpi!Sejak awal pernikahanku memang sudah salah. Tak seharusnya mempermainkan pernikahan dan kutahu Bang Ravi hanya ingin memperalatku sebagai objek balas dendam.Tak lebih! Sepantasnya aku sadar itu hingga tak terlalu menyuapi angan dengan harapan. Namun, aku saja yang bodoh masih merasa semua akan baik-baik saja.Padahal setelah ini selesai, dia tetap milik keluarganya dan aku tetap kembali ke titik semula seorang gadis yang berhutang barang pada mantannya.Bruk!Aku menutup pintu dengan keras. Entahlah, ubun-ubunku terasa mendidih melihat Bang Ravi memeluk Wita.Apakah arti dari pelukan itu adalah mereka akan menikah? Dan lelaki itu akan menuruti perintah orang tua angkatnya?"Sialan!" Spontan aku membanting bantal ke lantai. Mulai dari sekarang, aku tak akan percaya mulut lelaki satu pun.Aku tak akan mendengarkan Bang Ravi sama sekali. Aku akan bertindak sesukaku, kami hanya suami-istri di atas kertas. Untuk apa aku setia? Jika pada akhirnya akulah

  • Hutang Barang Mantan   Bab 25. Sakit Tak Berdarah

    "Sebelum dia menjadi suami kamu. Ravi adalah anak angkat kami. Jadi, saya harap kamu sadar kedudukanmu Sara."Kata-kata Pak Sasongko terus saja terngiang di kepalaku. Bagaikan sebuah kaset yang terus diputar di kepala dan membuat gelisah.Emang seharusnya aku tak perlu sekhawatir ini karena Bang Ravi sudah berjanji mau menjagaku. Namun, tetap saja rasa keberatan itu timbul karena bukan Bu Gea yang berbicara tapi Pak Sasongko.Ayah angkat Bang Ravi yang terbiasa diam itu sekarang seolah bersebrangan denganku. Sebagai menantu aku jadi merasa serba salah dan juga tak yakin akan hubungan ini. Lambat-laun belang dari keluarga ini terlihat, sekali pun mereka baik jika berkenaan dengan anak kesayangan pasti apa pun dikorbankan termasuk perasaan orang lain.Karena Wita. Rasa cinta Wita pada Bang Ravi-lah yang menjadi alasan aku menjadi ragu dan sekarang adik iparku itu kecelakaan tepat di mana aku sedang berbulan madu.Haruskah aku curiga? Mungkinkah ini disengaja?Memikirkan ini semua membua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status