Share

Bab 2. Jebakan Ravi

" ... syaratnya kamu harus jadi istri saya dan bantu saya balas dendam."

Kalimat Pak Ravi terngiang-ngiang terus bagai lagu Cendol Dawet di telingaku.

Bayangkan! Dia rela membayarkan hutangku pada Vio dengan syarat aku harus menjadi istrinya.

Widih ... ini sih namanya sudah jatuh tertimpa Iron Man. Bingung sebingung-bingungnya.

Anehnya lagi, akhir-akhir ini selain aku frustasi memikirkan tawaran Pak Ravi, aku juga merasa mulai sensitif dan mulai setengah halu.

Setiap malam aku terus bermimpi dikejar-kejar angka empat dan nol yang jika disatukan jadi empat puluh juta, jadi pas bangun bawaannya ingin ngajak gelut. Beda kalau lihat orang ganteng, bawaannya ingin ngajak rumah tangga.

Apes ... apes.

Segininya aku memikirkan membayar hutang pada mantan karena di saku yang tersisa tinggal duit ceban. Beli minum teh botol saja udah habis itu pun pulang harus ngesot karena nggak bisa naik ojek.

Pusing.

Beginilah nasib orang miskin, apa-apa kekurangan. Mau makan saja masih ngutang, ini malah ditagih uang mantan yang udah enggak jelas bentuk dan rupanya. Udah jadi ingus sama kotoran.

Tega! Si Vio emang rajanya tega!

[Saya minta uang itu harus ada sebelum saya nikah ya, Sara. Ingat!]

Astaghfirullah! Aku mengelus dada melihat isi chat ancaman si Vio lagi.

Sebelum dia nikah katanya, itu sih namanya seperti mau membunuhku secara perlahan.

Aku kira kalau dia udah nikah sama janda kaya ia nggak butuh uang.

Eh, ini kok kebalikannya? Apa gunanya itu dempul make up dan uang Bu Hana? Masa cuman jadi pajangan?

"Emaaaaak!" Aku mengacak-ngacak rambut dengan frustasi.

"Eh! Eh, kunaon Neng? Ulah kitu atuh, tenang ... jangan acak-acakin rambut gitu nanti kutunya bertebangan kena bala-bala." Bu Yati si tukang warung nasi langsung menahan tanganku.

Aku bengong. Setega itu Bu Yati mengira aku kutuan, walau aku keramas kadang pakai sabun tapi perasaan nggak sampai berkutu.

Aku menepis tangan Bu Yati. "Ih, apa atuh Bu, kata siapa saya kutuan saya mah ketombean aja kok. Nggak akan terbang sampai makanan Ibu. Sebenarnya ini teh saya lagi bingung, sebagai anak yatim piatu saya teh lagi merass didzolimi," kataku sambil manyun.

"Eleuh ... kenapa atuh? Didzolimi sama siapa?" tanya Bu Yati. Alis cetarnya bergerak-gerak penasaran.

"Sama Vio Bu, dia minta saya balikin semua barang dia. Coba Ibu pikir, bagaimana bisa saya bayar utang itu? Bayar hutang ke Ibu saja susah."

"Bener Neng, bayar hutang ke saya aja susah Neng mah. Janji Senin eh, sampai si Onah bertelor Neng mah nggak ada kabar," timpal Bu Yati sambil menunjuk ayamnya pura-pura sedih.

Curhat nih, ye!

"Ah, ibu mah suka gitu kemarin kan aku udah bayar pakai kartu tanda mahasiswa," elakku sambil nyengir.

"Ya atuh mana laku kartu eta mah. Mendingan sekarang minta solusi sama Pak Ravi gih, Neng. Kali aja dia mau bantu."

"Udah Bu, tapi syaratnya harus nikah sama dia."

"Waduh? Nikah Neng? Mau atuh, bilang gitu daripada nanti Neng ken--"

"Di sini kamu ternyata! Ayo, bayar utangnya!"

"Eh! Vio? Kamu di sini? Ngapain?" Sontak aku berdiri melihat siapa yang tiba-tiba menyelaku ketika sedang mengobrol dengan Bu Yati.

Vio mendengkus kesal. "Ngapain? Ya, nagih uanglah apa lagi?"

Allahu Akbar! Tobat dah, nih orang beneran nggak sabar, perasaan tadi baru W* sekarang udah nongol lagi buat tujuan yang sama.

Menagih hutang.

(***)

Seyogyanya, aku tidak perlu merasa terkejut dengan kedatangan Vio ke warung nasi Bu Yati. Sejak dulu cowok bengal satu ini emang pemaksa dan rentenir kelas wahid.

Aku saja yang bodoh mau menerima kebaikannya, seakan hubungan kami ini akan melangkah selamanya hingga lupa Tuhanlah yang Maha Merencanakan.

40 juta ... oh, ke mana aku harus mencarinya?

"Sara, jadi kapan kamu akan bayar?" tanya Vio menatapku penuh tuntutan.

Aku mengernyitkan dahi. Ternyata sogokan teh manis spesial dari Bu Yati tak membuat hatinya luluh. Dia tetap duduk angkuh di depanku sementara aku berdiri karena tubuhnya menghabiskan semua posisi.

"Bukannya kamu di W* bilang nanti sebelum kamu nikah. Kok, sekarang udah datang lagi? Kamu kan bisa kasih aku waktu. Aku belum dapat kerjaan yang lebih baik Vio," jawabku jujur.

"Apa? Kamu minta waktu? Nggak bisa Ra, aku harus beliin perhiasan buat Bu Hana. Jadi, aku minta kamu serahkan apa yang kamu punya saja. Gimana? Inget loh, bagaimana pun kamu hutang budi sama aku. Kamu kayak gini karena jasa aku, mending kamu jual saja kalung emas ibumu buat bayar hutang kamu," ungkitnya lagi membuat dadaku seketika memanas.

Vio sudah keterlaluan. Sekarang dia malah membahas tentang kalung peninggalan Ibuku.

"Apa? Kalung emas ibuku? Tapi itu nggak mungkin aku jual."

"Ya udah, kalau gitu aku minta kamu jadi istri simpanan aku aja. Gimana?"

Brak!

Tiba-tiba sebuah gebrakan meja yang dipukul dengan keras terdengar memekakan telinga. Sontak saja aku menoleh ke arah suara dan kutemukan Pak Ravi yang berdiri dengan wajah datarnya.

"Hey, Ra? Apa saya telat?" Pria berumur tiga puluh tahun itu menyunggingkan senyum padaku.

Aku menelan ludah yang terasa kering.

"Pak Ravi? Kok, ada di sini?" tanyaku terkejut, pasti Bu Yati nih ember.

Kulihat wajah Vio menegang ketika melihat ada sosok lain di antara kami.

"Ra, kenapa ada dia di sini? Kamu ternyata selingkuh ya di belakang aku?" Vio memulai dramanya dan mengajukan playing victim.

Tubuh atletis Vio langsung berdiri dan memandang lurus pada Pak Ravi yang dengan santainya mendekatiku yang berdiri kaku.

"Ngapain kamu ada di sini, Pak? Ini bukan urusan orang asing," tanya Vio sambil membusungkan dadanya. Seakan Pak Ravi adalah ancaman.

Jelas Pak Ravi ancaman, dari segi muka sampai tinggi badan saja Vio kalah jauh.

Pak Ravi menyeringai. "Anda berkata saya ini orang asing?"

"Iya. Siapa lagi?" tantang Vio tak suka.

Pak Ravi tersenyum samar sambil bersender santai ke tembok yang ada di sebelahku.

"Baiklah akan saya beri tahu dan tidak akan saya ulangi. Saya sekarang sudah menjadi calon suami Sara. Jadi mulai sekarang jika ada urusan dengan dia berarti urusan saya juga."

Pak Ravi melirikku sekilas sambil memberi kode sedangkan aku hanya bisa menganga syok.

Sumpah nggak ngerti lagi, Pak Ravi niatnya apa berkata begitu?

Aku sontak melebarkan mata mendengar kalimat Pak Ravi.

Mungkin sekarang suara Pak Ravi terdengar meremehkan bagi Vio tapi bagiku itu bagaikan kalimat lamaran tidak secara langsung.

Vio tersenyum meledek. "Cuih! Calon imam Sara, hahaha ...." Vio tertawa. "Bagus sekali sandiwaranya, Anda berbohong, kan? Dengar saya itu ...."

"Mantan, kan? So, sang mantan, kita langsung saja intinya. Jadi kata calon istri saya, Anda menuntut hak pengembalian barang yang pernah Anda berikan sama dia. Betul begitu?"

Pak Ravi mendadak beranjak dari tempatnya untuk berhenti tepat di depan Vio.

"Ya, benar. Jadi saya ke sini untuk ...."

"Baiklah. Sekarang, apa ada tanda tangan yang menyatakan kalau semua pemberian Anda menjadi hutang? Bukankah Anda sendiri sadar dan ikhlas pada saat memberikannya?"

"Bukan begitu. Iya saat itu saya ikhlas tapi ...."

"Tapi Anda terlalu miskin untuk mengakuinya?" potong Pak Ravi seolah tak memberikan kesempatan Vio berbicara sedikit pun.

"Maksud Anda?"

"Saya tidak punya maksud. Saya hanya ingin bilang seorang lelaki yang meminta kembali barang pemberiannya pada seorang wanita. Itu berarti lelaki itu pecundang!"

Mata Vio membelalak dan rahangnya terkatup rapat setelah mendengar sindiran Pak Ravi.

Pasti dia sekarang sangat ingin memukul Pak Ravi, itu terlihat dari tangannya yang mengepal dan urat-urat lehernya yang menegang. Namun, Pak Ravi malah menyeringai sama sekali tidak terintimidasi.

Lelaki itu tiba-tiba mengeluarkan satu kartu atm dan meletakannya di atas meja.

"Sudahlah! Gak usah belaga punya harga diri! Ini atm saya, di dalamnya ada uang 40 juta seperti yang kamu butuhkan dan paswordnya sudah saya kirimkan ke ponsel kamu. Silahkan ambil! Tapi, setelah ini saya harap kamu tidak usah mengganggu saya lagi atau pun Sara. Permisi! Ayo, Sar!"

Belum juga aku menyetujui bantuan dosen muda ini tiba-tiba tangan Pak Ravi menarik tanganku untuk menjauhi Vio yang melotot dengan mata memerah.

Dan mulutku semakin menganga. Bentar, kok jadi begini urusannya? Itu kartu atm kan? Bukan KTP?

(***)

"Cepat bubuhkan tanda tangan kamu di sana!"

Pak Ravi tiba-tiba menyodorkan satu lembar kertas ke arahku saat kami memutuskan mengobrol di salah satu rumah makan padang.

Aku memandangi Pak Ravi, tampak keseriusan di matanya.

"What? Bentar! Saya mikir dulu, ini kertas apa? Kenapa saya harus tanda tangan?" tanyaku penasaran.

"Kamu tahu kenapa saya mau bantu kamu?"

"Enggak, kan saya bukan Mamah Loreng atau Mbah Jambrong."

"Sama seperti kamu, saya juga dikhianati. Ibu saya meninggalkan saya di kontrakan sendirian demi menikah dengan orang kaya karena lelaki itu tidak mau dia membawa anak. Sedangkan kamu, dikhianati karena Vio memilih ibu kandung saya yang kaya. Kamu menemukan irisan nasib kita, kan?" seringainya seraya mencondongkan tubuh ke depan, sehingga aku mengikutinya.

Kulihat ada binar kebencian yang kentara di balik mata coklat gelap Pak Ravi. Tak kusangka dia anaknya Bu Hana si janda kaya yang juga bos Vio. Kasian.

Aku menggelengkan kepala tak setuju. "Tapi, bagi saya ini tetap saja tak boleh Pak. Sama saja kita seperti mempermainkan pernikahan."

"Saya tidak mempermainkan. Saya hanya menjadi alternatif buat kamu, lagi pula saya akan bertanggung jawab sama kuliah S-2 kamu. Bukankah kamu membutuhkannya? Saya hanya menawarkan kesepakatan yang mungkin menguntungkan bagi kedua belah pihak."

Mataku mengerjap beberapa kali. Benar juga, selama ini aku sudah hidup di bawah garis kemiskinan dan sudah banyak yang menipuku.

Apa salahnya aku menjadi partner patah hati Pak Ravi? Kali aja aku bisa makan nasi padang tiap hari.

"Jadi inginnya Pak Ravi, saya harus bagaimana?" tanyaku to the point. Setelah terdiam cukup lama.

Otakku suka konslet kalau diajak berpikir berat karena nasi padang di atas meja mengalihkan konsentrasi.

"Menikah dengan saya dan mari kita susun rencana untuk membalas perbuatan mereka. Deal?" Pak Ravi mengulurkan tangannya ke depanku.

Aku terdiam ragu, tapi merasa tak ada pilihan lagi karena telah berhutang sekarang. Akhirnya, dengan berat hati aku menyambut tangan itu.

"Deal."

Dan dia pun menyeringai misterius, persis mafia yang baru mendapatkan korbannya.

Jangan-jangan aku dijebak?!

"Oke, Sara. Kalau begitu bersiaplah tiga hari dari sekarang kalau bisa kita akan menikah, mari kita temui keluargamu sekarang," ucapnya enteng tapi cukup membuatku syok.

Serius? Tiga hari lagi? Emang bisa? Aku mendadak ingin pingsan.

Bercandamu kelewatan Pak!

--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status