Share

Hutang Barang Mantan
Hutang Barang Mantan
Author: Fiska Aimma

Bab 1. Tawaran Mengejutkan

"Sara! Kembalikan semua barang yang kukasih dan uang saat aku bantu biayai kuliahmu totalnya 40 juta termasuk dengan makan dan semuanya!"

Tamat riwayatku.

Sekarang aku tahu ada dua musibah yang menyerangku, satu aku ditinggal nikah dan kedua adalah aku ditagih hutang oleh mantan.

Bukan main-main, aku ditagih sebanyak 40 juta jika tidak dikembalikan maka aku akan dipenjara. Sementara, sebelumnya saat kami masih berpacaran dia tak pernah sekeji ini. Dia bilang ikhlas membantu biaya kuliahku dan hanya ingin membantu.

Pada mulanya aku penah menolak karena tak enak tapi karena terdesak aku menerima perhatiannya sampai aku lulus tapi setelah kami putus dan mengenal janda kaya sifatnya berubah.

Kenapa dia menagihnya? Kenapa dia jadi seperti ini?

Aku tak selingkuh malah dia yang menyelingkuhiku. Aku juga tak berbuat buruk, malah dia yang suka memukulku kalau emosi.

Apa salahku?

Aku menatap Vio tajam. Tega-teganya dia memeras anak yatim-piatu sepertiku. Kuakui selama ini aku sedikit bergantung padanya tapi tak kusangka dia akan meminta kebaikannya kembali.

Pamrih.

"Vio! Apa kamu bilang? Bukannya kamu dulu bilang kamu memberikannya dengan ikhlas karena cinta dan kasihan. Kenapa sekarang jadi begini?" tuntutku dengan berurai air mata.

Saat ini di ruang tamu rumah kontrakanku, aku menangis karena merasa ditipu dan dianiaya. Belum kering luka karena Vio akan menikah dengan Bu Hana sekarang dia minta semua barangnya dikembalikan.

Untuk barang-barang seperti cincin, kalung sampai boneka terpaksa aku berikan. Tapi, biaya makan selama kami berpacaran dan uang semesteran yang ia bantu kadang-kadang, aku tidak tahu harus mencari ke mana. Gajiku sebagai asisten dosen saja tak cukup menutupi semua kekurangannya.

Apa tidak sinting itu namanya?

"Ah, aku tak mau peduli! Pokoknya kamu harus kembalikan! Asal kamu tahu, aku masih menyimpan struk dan resi pembayaran semesteran selama ini. Ingat! Karena kita gak jadi suami-istri! Maka, semua itu telah menjadi hutang! Camkan itu, Sara!" bentaknya sebelum pergi meninggalkanku yang mematung.

Tak bertenaga.

Ya Allah! Ke mana aku harus mencari uangnya?

(***)

Terhitung sudah dua puluh menit aku berdiri di depan pintu ruangan Pak Ravi.

Akibat desakan kebutuhan membayar hutang pada Vio aku berencana berhenti jadi asistennya dan pergi mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.

Sebenarnya Pak Ravi ini dosen muda yang baru lulus S-2 dia langsung ditempatkan di sini karena konon katanya dulu dia alumni juga.

Hanya permasalahannya karena Pak Ravi juga sedang S-3 jadi dia kadang suka meninggalkan kelas di tengah jam atau bahkan tak datang. Sehingga tugasnya dilimpahkan padaku, kebetulan sekarang dia ada di ruangan.

Namun, masalahnya dia bakal mau nggak ya mengijinkanku berhenti? Dia kan juteknya setengah mampus. Cukup mengejutkan juga dia memilihku sebagai asistennya di antara banyaknya pelamar.

Tok. Tok. Tok.

"Permisi, Pak?"

Aku melihat Pak Ravi sedang menekuri laptopnya, sementara aku sedang berdiri canggung.

Dosen Material itu mendongakkan kepala. "Ya? Oh, Sara?" tanyanya tak minat.

Dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah laptop.

"Ada apa?"

"Oh, eh, itu Pak. Boleh saya duduk?" tawarku karena kakiku sudah gemetar.

Tanpa bersuara dia menganggukkan kepala. Begitulah Pak Ravi, dingin dan irit bicara.

"Pak, saya mau berhenti jadi asisten dosen Pak Ravi, boleh?" Aku melanjutkan tahap negosiasi.

"Kenapa?"

"Heum ... anu saya harus nyari kerja yang lain. Kalau saya jadi asdos, saya kemungkinan tidak akan bisa maksimal karena ...."

"Karena?"

"Saya butuh uang lebih Pak, maaf," kataku sembari menarik napas dalam. Seenggaknya aku lega telah jujur.

Pak Ravi akhirnya berhenti mengetik di laptopnya, dia menggeser laptop hingga wajahnya bisa kulihat dengan jelas.

Tampan. Sayang, tak pernah senyum.

"Jadi kamu berhenti karena butuh uang? Untuk apa? Bukannya untuk kuliah S-2 kamu katanya mau ikut beasiswa?" tanya Pak Ravi menatapku lurus.

Aku terkesiap. Pupil mataku bergerak ke kanan dan ke kiri mencari alasan yang tepat agar tak menyebutkan hutangku pada mantan. Sialnya, sepanjang aku berpikir aku tak menemukan alasan yang dapat meyakinkannya.

"Saya itu Pak, saya butuh buat ... bayar hutang."

"Hutang? Hutang siapa?"

"Hutang saya Pak sama mantan. Dia minta saya balikin semua barang dan uang yang pernah dia kasih," jawabku sambil menundukan kepala.

"Si Vio itu? Berapa totalnya?"

"40 juta, Pak. Saya tak punya uang itu, makan saja sama bala-bala," sahutku lagi.

Antara polos, putus asa, terus terang dan b*go.

Dia terdiam mendengar penjelasanku. Lalu, memutar balpoin yang ada di atas meja dengan pelan seakan ikut berpikir. Padahal bukan masalah dia juga, dia bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku.

"Saya yang akan bayar."

"Apa Pak?" Aku terlonjak dari kursi dengan gaya lebay. "Serius? Ini nggak main-main loh, ya? Ini 40 juta Pak! Uang semua bukan daun!"

Dia tersenyum tipis mendengar teriakanku yang terkejut. "Emang siapa yang bilang daun? Saya tahu itu uang dan saya juga tahu mantan kamu nikah sama siapa," katanya menyeringai.

"Siapa gitu, Pak?"

"Ibu kandung saya yang telah membuang saya," katanya dingin.

Sontak setelah mendengar itu aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan. Tidak! Aku tidak percaya.

Belum juga aku sadar dari keterkejutan kalimat selanjutnya dari Pak Ravi lebih mencengangkan lagi.

"Jadi, saya mau bayar hutang kamu juga tidak dengan syarat. So, kamu gak usah merasa berhutang karena saya mau minta bantuanmu. Jadilah istri saya untuk balas dendam pada Ibu."

Astaga! Kejutan apa lagi ini? Ini lebih gila lagi. Masa jadi menantunya istri mantan? Kacau.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status