"Ampun Bang Jago!"
Begitulah slogan yang seringkali diucapkan para warga di sini, kalau udah mulai berbicara tentang kegalakan Bang Jago. Tak ada satu pun warga yang berani dekat-dekat rumahnya apalagi nyari perkara.Soalnya sekali salah ngomong takutnya senggol bacok. Itulah yang mendasari Ibu jarang menagih hutang pada Bang Jago karena nggak berani, sementara aku berurusan dengan dia saja belum pernah.Hash! Ngeri.Lalu sekarang, setelah lima purnama terlewati dan ibuku meninggal, aku terpaksa harus datang menagih hutang. Apa tidak nyari mati namanya? Kenal musuh aja nggak, sok-sok-an mau nagih preman yang jelas-jelas galakan dia.Asem. Asem."Pak! Ayo, dah! Balik aja yuk, saya masih perawan nih Pak takut kenapa-napa," kataku sambil menarik kausnya Pak Rifat.Sudah sepuluh menit kami berdiri mengawasi rumah Bang Jago dan sudah sepuluh menit juga kami menunggu si preman pulang ke rumahnya sambil menyusun strategi karena si empunya rumah belum nongol juga.Aku penasaran. Entah apa yang akan dilakukan calon imamku satu ini jika Bang Jago nanti muncul. Tapi sepengamatanku Pak Rifat sudah memiliki rencana karena katanya meski dulu Pak Rifat sama Bang Jago pernah jadi lawan tawuran waktu SMA tetap saja pasti banyak hal yang berubah. Kami tidak bisa gegabah."Ngapain pulang, Lu? Kita udah di sini, pantang pulang sebelum perang," kata Pak Rifat santai. "Iya, tapi kan Pak, dia itu preman loh temennya pasti banyak. Apalagi kalau dia tahu Bapak musuh lamanya, bisa-bisa pas pulang kita jadi kue apem." Aku terus membujuk Pak Rifat untuk mengurungkan niat menagih hutang pada Bang Jago tapi lelaki bermata elang itu menggelengkan kepala tegas."Nggak! Ini kan amanah dari Bu Sarminah dan saya calon suami kamu. Itu berarti, ini amanah calon mertua saya. Paham?""Iya, paham. Tapi ...!""Hey, Jago! Tunggu!"Terlambat. Lagi-lagi Pak Rifat berbuat seenaknya. Tanpa diskusi terlebih dahulu, lelaki itu memanggil sesosok pria besar dengan tato di lengannya.Oalah! Mumet! Bukan apa-apa, aku hanya khawatir pada keselamatan Pak Rifat, bagaimana pun dia belum ijab kabul."Hey! Siapa lo manggil-manggil, gue?" bentak Bang Jago.Pak Rifat menyeringai ketika Bang Jago yang mau masuk rumahnya otomatis terdiam di depan pintu ketika mendengar namanya dipanggil.Seolah tidak ingin membuang kesempatan, Pak Rifat gegas menghampiri Bang Jago dan memberi kode agar aku berlindung di belakangnya."Ini saatnya show time, Lu! Banyak doa, ya?" bisik Pak Rifat sambil berjalan mendekat."Pak, ciyus nih Pak? Gak usah istikhoroh dulu?"Aku memegang baju Pak Rifat kuat layaknya anak kecil yang takut kehilangan induknya. Kulihat senyum tipis mengembang sekilas ketika dia melihat wajahku yang memandangnya cemas."Enggak! Udah kamu tenang aja, percaua sama Allah dan ... saya," kata Pak Rifat meyakinkanku. Ya Allah. Tetap saja aku tegang!(***)Bang Jago menghisap rokoknya yang tinggal setengah lalu menghembuskannya ke udara. Dia memiringkan bibir meledek Pak Rifat yang berdiri tenang dengan gaya khasnya yaitu memasukan tangan ke dua saku celananya.Saat ini, tepatnya di halaman rumah Bang Jago kedua jantan itu tengah berhadapan dengan wajah yang sama-sama tegang. Sementara aku hanya bisa berdiri satu meter di pinggir halaman dengan suasana tak jauh berbeda, bahkan aku sudah merencanakan akan menelepon ambulan atau polisi jika terjadi apa-apa.Bukan tanpa alasan aku merasa cemas, ini dikarenakan seingatku dulu pernah tersiar kabar kalau Bang Jago pernah membuat warga sini masuk rumah sakit sampai struk. Alasannya sepele yaitu karena Mang Mahdi buang puntung rokok di depan rumahnya.Ih ... tragis!"Jadi lo mau apa bro? Kalau gue gak bayar?" tanya Bang Jago dengan wajah senga setelah dijelaskan maksud kedatangan kami. Luka koreng di mukanya semakin terlihat menyeramkan ketika dia bersuara."Kalau lo gak bayar berarti lo urusannya bukan hanya sama Lulu atau keluarganya. Tapi sama gue, calon suaminya. Lo gak lupa kan siapa yang buat wajah lo jadi luka kayak gitu?" sindir Pak Rifat sadis. Aku membelalakan mataku lebih lebar. Jadi, misteri luka di wajah Bang Jago itu karena Pak Rifat? Dahsyat! Bravo!"Cuih! Berani lo buka-buka luka masa lalu, hah? Berengsek emang! Lo pikir gue takut sama lo? Jago yang sekarang berbeda sama Jago yang dulu, lo jual gue beli!" tantang Bang Jago sambil memasang kuda-kuda.Pak Rifat tertawa sumbang. "Yaelah laga lo udah kayak si Pitung aje, Go. Nih denger Go, kiamat udah deket Bro! Lo mendingan tobat. Asal lo tahu aje, gue ke sini bukan buat berantem tapi gue cuman mau tahu kapan hutang tiga juta yang lo pinjem sama almarhumah Bu Sarminah dibayar? Entu aje," kata lelaki berhidung bak perosotan TK itu masih kalem. Logat betawinya muncul pas ngobrol sama Bang Jago padahal dia nggak ada keturunan betawi. Mungkin karena Bang Jago orang sana jadi Pak Rifat menyesuaikan."Kagak! Kagak ada bayar-bayaran. Gue gak mau bayar titik. Coba gue tanya, yang hutang siapa?""Elo.""Yang bayar siapa?""Elo," kata Pak Rifat lagi dengan dahi berkerut."Lah itu, serah gue dong mau bayar kapan."Aku melongo kaget mendengar jawaban Bang Jago. Apa katanya? Serah dia? Nah, ini nih yang namanya manusia jadi-jadian. Pas ada butuhnya mohon-mohon pas udah dapat keinginannya kita dibuang.Rugi bandar memberi hutang pada orang model begini mah.Pak Rifat mendengkus sebal."Ck! Ck! Dasar preman alay! Lo pikir gue bisa lo ancam, hah? Buruan dah, bayar! Mumpung gue masih baek," ucap Pak Rifat sambil melipat tangan di depan dada. Mukanya sama sekali tak terprovokasi.Aku heran. Sebenarnya Pak Rifat punya insting manusia nggak sih? Lihat orang bertato dan berpanu kayak gitu masih aja santai. Meski dia jago taekwondo tapi kan kalau si Jago mendadak panggil temen-temennya gimana? Bisa panjang urusan.Astaghfirullah! Pak Rifat! Ganteng sih tapi nekat."Baek, baek apaan lo? Alah! Jangan banyak b*cot lo! Ayo, lawan gue! Gue mau balas sakit hati gue dulu sama lo, ayo maju! Ciyaaat!""Pak Rifat! Awaaas!""Abaaang! Berenti! Bayar buruan hutang Abang! Sebelum aye minta cerai!"Tepat di saat aku berteriak panik seraya menahan napas karena melihat Bang Jago mau menyerang Pak Rifat tiba-tiba ada suara lain juga yang hadir. Bedanya, suara itu lebih melengking dari suara petir mana pun sehingga Bang Jago si sangar mengerem serangannya secara mendadak."Eh, Mamih? Kok bisa ke sini?" Bang Jago sontak melotot sambil menyembunyikan kepalan tinjunya, sementara Pak Rifat tersenyum penuh kemenangan."Gimana, Go? Sekarang lebih takut mana sama gue atau bini lo?" seringai Pak Rifat yang membuat muka Bang Jago pucat bak kapas.Lah, Bang Jago termasuk ikatan suami-suami takut istri ternyata?! Elah ... badan aja Rambo eh hati Hello Kitty!Dua puluh lima penghutang selesai sudah. Mulai hari ini posisiku sebagai debt collector akibat warisan akhirnya lengser. Tidak ada lagi misi.Tidak ada lagi nama penghutang.Tidak ada lagi adu mulut dan tidak ada lagi rencana-rencana absurd. Pokoknya semua beres, beres dan beres ...! Keluarga almarhumah Ibu pun telah damai sentosa tanpa berdebat lagi gara-gara wasiat.Sekarang, tinggal saatnya aku mengkalkulasikan semua dan kembali ke kehidupan awal.Menjadi seorang istri dari Rifat yang senantiasa ada untuknya. Seperti sekarang, siang-siang begini aku sengaja datang ke kantor Mas Rifat untuk makan siang bareng.Kata Mas Rifat, dia kangen masakanku. Jadi, meski tidak terlalu yakin tentang makanan yang kubawa, di sinilah aku sedang menunggu Mas Rifat karena dia masih ada tamu.Namun, sungguh kebetulan di sela waktuku menunggu tiba-tiba mataku menangkap ada seorang wanita yang kukenal berjalan lurus melintas menuju ke arah lift dengan tergesa.Sosok itu melangkah lebar melewati ruang
Waktu itu relatif. Rasanya baru kemarin nasib sebagai gadis miskin yang ditugaskan untuk menjadi debt collector dadakan bagi 25 orang penghutang. Sekarang aku sudah menikah dan bahkan dinyatakan hamil. Jika Ibu masih ada pasti dia akan bilang padaku, 'Ini sih namanya anak yang beranak.'Duh sedihnya jika ingat Ibu. Andai Ibu ada di sini pasti dia akan sangat senang, bukan hanya karena menyaksikanku mendapatkan suami yang baik dan bertanggung jawab macam Mas Rifat tapi karena dari dua puluh lima itu sekarang hanya tinggal satu penghutang yaitu Wak Onah. Wak Onah, anaknya almarhumah Bu Daroyah. Wak Onah sebenarnya baik tapi suka menunda-nuda untuk membayar hutang dan pintar berkelit, dengan dalih kemanusiaan dia berulang kali berhasil membujuk tetangganya untuk meminjamkan bahan dapur sampai duit. "Ih, masa sama tetangga aja perhitungan!" Begitulah dalih yang kuingat saat dulu almarhumah Ibuku pernah menagihnya dan itu terjadi berulang kali. Sampai total hutangnya sebesar tiga juta
Pagi yang aneh, hari ini aku terbangun dengan perasaan yang melow dan perut yang bergejolak. Entah mungkin karena semalam aku baru tertidur jam 2 pagi selepas selesai membereskan semua barang sepulang dari Yogya untuk honeymoon selama dua minggu. Jadi, perutku aneh, serasa dikocok berulang kali.Sebenarnya, aku tidak menduga akan selama itu di Yogya. Karena pada awalnya rencanaku hanya satu minggu. Kupikir waktu itu cukup untuk membuat Rani percaya kalau aku dan Mas Rifat tidak main-main tapi dikarenakan Mas Rifat membujuk akhirnya kami kebablasan, kata Mas Rifat takut dikira bercanda kalau hanya sebentar.Bercanda? Hah! Pret!Gila aja kalau kami bercanda. Ini pernikahan yang sakral, bisa dikutuk jika aku mempermainkan.Ya, memang sih awalnya ada modus-modus warisan tapi itu kan dulu, sekarang kami sudah taubat kepada Allah.Nggak lagi deh mikir cerai. Apalagi setelah tahu kalau biang kerok pertingkaian dan kesalahpahaman semua ini itu Flo, kupikir mulai sekarang aku gak boleh lengah
Pov Author.Rifat masih menatap istrinya yang entah kenapa tampak berbeda. Melihat Lulu menampar adiknya benar-benar menjadi hal yang mengejutkan.Rani memang sudah keterlaluan. Rifat sudah sepatutnya tak hanya diam karena Lulu pun sudah sebegitu marahnya, terkadang istrinya yang lucu itu mendadak sulit dikendalikan.Rifat mencoba meraih lengan Lulu tapi istrinya itu menolak. Wanita cantik itu masih tidak ingin meninggalkan pijakannya saat ini."Keluar Mas! Ini sudah bukan masalah adik dan kakak lagi tapi ini masalah wanita dengan wanita. Tampaknya adikku ini tidak bisa lagi diajarkan dengan cara kelembutan."Lulu berbicara tegas tanpa menatap Rifat. Wanita yang terbiasa bercanda itu masih menatap tajam sosok yang ada di depannya. Sementara tubuh Rani bergetar karena menahan amarah."Kenapa Kakak menamparku?" desis Rani."Kamu masih bertanya kenapa Kakak nampar kamu, hah? Menurut kamu apa yang akan terjadi jika seorang istri menemukan suaminya diteror dan digoda oleh adiknya sendiri? A
Aku pikir sebagai Kakak selama ini aku cukup menjaga adikku dari perbuatan yang salah. Namun, itu hanya perasaanku saja.Aku pikir sebagai Kakak aku cukup memberikan kasih sayang bagi Rani bahkan sejak kecil dia kumanja.Aku pikir sebagai Kakak, aku telah memahami adikku itu. Setelah kami jadi yatim-piatu hanya dia keluargaku.Aku pikir ya ... aku pikir terus sampai mentok dan terbentur. Nyatanya aku tak cukup layak menjadi Kakak bagi Rani. Nyatanya aku tak tahu perasaannya. Nyatanya dia mencintai suamiku sendiri. Nyatanya bibit pelakor yang kukira orang lain sialnya keluargaku sendiri. Oh, sungguh plot twist dari drama hidup. Untungnya aku bukanlah pemeran suara hati seorang istri yang diam saja ketika dianiaya dan terpenting Mas rifat bukan tipe lelaki hidung belang yang siwer ketika melihat mangsa empuk. Aaah, nonsense! Tetap saja sekarang aku merasa wanita paling bodoh di dunia. Bisa-bisanya aku dikelabui adikku yang bocah ini."Waaah! Rumahnya bagusss!" seru Rani ketika dia men
Setelah sudah lama aku tidak insomnia. Akhirnya semalam tadi aku sukses kembali mengikuti jam kerja Kunti. Gara-gara teror gila yang selama ini mengganggu pikiranku, kepalaku kembali berdenyut dan mataku tidak dapat terpejam karena gelisah. Efek kurang tidur emang berbahaya.Lemah, lesu, lunglai dan lambat menjadi padanan yang pas untukku sekarang, karena akibat vertigo aku nggak bisa bangun dari kasur.Dasar paket sialan! Kenapa sih ada orang yang tega kirim paket serupa tanah kuburan? Ditambah ada boneka santet lagi di dalamnya?Sungguh kurang kerjaan! Udah tahu aku parnoan, dikit-dikit mikir takut ada cunil-cunil.Apa itu cunil-cunil? Ya, itulah semacam Wewe Gombel dan sebangsanya.Pada mulanya, aku ingin sekali bilang pada Mas Rifat tentang teror seram ini tapi kupikir belum saatnya. Sebagai penggemar Sailormoon dan Detective Conan mungkin aku bisa menyelidiki ini sendiri."Kamu kenapa sih tiba-tiba sakit? Apa karena serangan dadakan dari Mas kemarin?" tanya Mas Rifat saat menyuap
Aku berlari tanpa perduli lututku yang gemetar, rasanya diri ini tak bertenaga tapi aku harus kuat. Setelah memacu motor yang kupinjam dari Rani selama empat puluh lima menit akhirnya aku tiba di rumah sakit.Waktu ini kurasakan pikiranku melayang entah ke mana. Perasaan kosong yang semula penuh amarah dan menjadi alasanku menghindari Mas Rifat seketika berganti dengan perasaan yang penuh dengan penyesalan juga sedih yang teramat setelah aku mendengar berita buruk tentangnya.Aku yang bodoh. Aku yang tolol dan aku yang tak pantas menjadi istrinya. Bagaimana bisa aku membiarkan suamiku menderita hanya karena keegoisanku?Jika saja tadi aku tak mengusirnya, mungkin kecelakaan itu tak akan terjadi. Jika saja aku mau bertanya dan bersikap dewasa tentu saja dia akan baik-baik saja. Namun, sampai kapan aku akan berandai-andai? Bukankah menyalahkan takdir termasuk salah satu tanda perbuatan syetan? Astaghfirullah. Aku kalut. Ya Allah. Kumohon selamatkan dia, kumohon jangan ambil dia. Bany
.Banyak yang bilang kalau kita memutuskan jatuh cinta itu berarti kita siap untuk terluka. itu yang selalu didendangkan teman-temanku ketika mereka jadi korban perasaan.Para pria terbiasa bermulut manis tapi hasilnya najis. Tadinya aku pikir, Mas Rifat berbeda dia memandangku bukan dari status sosial atau asas manfaat tapi ternyata manusia licik tetaplah manusia licik.Apa katanya warisan?Cuih! Mendengarnya saja membuatku ingin segera berlari dan mempertanyakan semua pada suamiku.Tanpa terasa air mataku menitik, mengingat semua kata-kata manis. Baru saja dia bilang mau menghabiskan waktu denganku nyatanya bullshit!Mas Rifat tak lebih dari penipu ulung yang gemar mempermainkan perasaan, dia bersikap lembut bak super hero selama ini tapi di balik itu dia memiliki rencana yang di luar nalar. Terus sekarang sesudah aku percaya, beragam kebusukan mulai nampak. Teror chat dari nomor yang terus berganti terus saja berdatangan membuatku semakin ragu.Apakah benar suamiku sejahat itu? Ah,
Kata orang tua zaman dulu, jika mau lihat pengantin baru berhasil atau tidaknya di malam pertama, lihatlah raut wajahnya madesu atau layaknya bulan purnama? Dan ... kukira pendapat itu tak sepenuhnya salah.Setelah melewati pertempuran panjang di ranjang semalam di villa, Mas Rifatku sayang tampak lebih cerah dan ceria. Siapa pun yang ditemuinya hari ini dia lempar dengan senyuman hingga hawa positif itu terbawa ketika kami kembali ke kota. Meski cuman sehari berbulan madu tapi entah mengapa kenangannya menancap di hati. Bagaikan dua pemuda yang sedang dimabuk cinta, kami melaluinya dengan berpegangan tangan seraya sesekali mencuri pandang. Dari sepanjang jalan sampai ke toko klontong almarhumah Ibu, tak henti suamiku memperlakukanku bagaikan Ratu. Kalau diibaratkan lebaynya, Mas Rifat menjagaku terlalu over sampai nyamuk pun tak ia biarkan menggigit. Bucin banget emang, tapi aku suka. Hari ini tak seperti biasanya, dia mau menemaniku membuka toko dan membereskannya. Si pria dewas