Share

Dua : Kecewa

Pagi ini Alin dibuat tak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan ia sudah melakukan beberapa kesalahan yang membuatnya harus dipanggil keruangan manajer.

Ia menghela nafas panjang. Cukup lama Alin berdiri di depan pintu ruangan Zaki sebelum akhirnya ia mengetuk pintu tersebut.

Alin membuka pintu itu perlahan dan masuk ke dalam.

Alin tak banyak bicara setelah ia masuk ke dalam. Ia lebih memilih langsung duduk di kursi yang ada di depan meja Zaki.

Zaki yang sedari tadi fokus melihat Alin, langsung bertanya pada gadis tersebut.

"Kau kenapa?" tanyanya.

Bukannya menjawab, Alin justru mengacak rambutnya kesal membuat rambut yang tadi terikat rapi menjadi tak berbentuk.

"Dasar pria brengsek!" umpat Alin kesal namun sedetik kemudian ia menangis meraung seperti gadis yang baru saja diputus cinta.

Zaki yang melihatnya hanya bisa meringis bingung. Alin nyaris seperti gadis gila kehilangan akal.

"Apa kau putus cinta?" tebak Zaki yang langsung mendapat tatapan tajam dari Alin.

"Putus masa depan!" jawab Alin ketus. Ia menundukkan kepalanya ke atas meja. Suara helaan nafas panjang terdengar cukup keras, namun setelahnya, Zaki dikejutkan dengan suara isakan Alin.

Pria itu langsung berdiri dan menghampiri Alin. Ia berjongkok mensejajarkan dirinya pada karyawannya tersebut, "Kau kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Zaki mulai cemas. Pasalnya tak biasanya Alin seperti ini. Alin terkenal sebagai gadis yang periang di lingkungan cafe, jadi cukup aneh baginya melihat Alin yang tiba-tiba marah lalu menangis seperti ini.

"Kau punya uang dua milyar?" tanya Alin tiba-tiba membuat isi kepala Zaki mendadak kosong.

Alin melirik Zaki yang diam misterius.

"Hei!" teriaknya pada manajernya tersebut. Zaki terlonjak kaget, "Kenapa kau diam?"

"Apa kepalamu baru saja terbentur? Atau kau sedang demam?" Zaki menyentuh kening Alin dengan tangannya dan tak ada panas sedikitpun. Suhu tubuh gadis tersebut sangat normal.

"Ck! Aku sehat. Aku tak gila."

"Lalu untuk apa kau tanyakan uang dua milyar? Kau kalah judi?"

"Ya. Kalah tender. Kau tahu tender? Dan itu membuatku gila!" kesalnya.

Zaki berdiri dari jongkoknya. Ia melipat tangannya ke arah dada, "Tender? Tender apa? Kau ikut apa sampai kau kalah tender?"

Alin menengadah menatap Zaki. Dengan masih sesekali terisak, "Papaku." jawabnya, "Dia meminjam uang pada seorang pria kaya raya namun licik. Dan sekarang, mereka tak sanggup membayarnya."

"Lalu? Kenapa kau yang harus mencarikan uang itu? Harusnya itu jadi tanggung jawab mereka."

"Betul. Aku akan diam jika bukan aku yang mereka jadikan penebusnya."

Mendengar itu, Zaki langsung terkejut bukan main. Ia mencoba menajamkan kembali pendengarannya.

"Maksudmu? Penebus apa?"

"Hutang itu diikat surat penjanjian. Jika mereka tak sanggup membayar, ada dua opsi yang diberikan pada orang tuaku." Alin menghela nafas sejenak lalu kembali menundukkan wajahnya di atas meja. "Opsi pertama, orang tuaku terancam dipenjara seumur hidup, opsi kedua, hutang akan dianggap lunas jika aku mau dijadikan jaminan penebus hutang tersebut."

BRAAKK!

Alin terkejut saat mendengar gebrakan meja di samping telinganya. Ia langsung menatap Zaki kesal. Bagaimana tidak, telinganya langsung berdengung mendengar suara gebrakan meja tersebut.

"Bisa kau pukul meja yang lain?" kesalnya.

Zaki tak menjawab. Ia menatap Alin dengan tatapan penuh.

"Kapan limit waktu pelunasan?" tanya Zaki serius.

"Satu minggu."

"Ha? Apa pria itu gila?"

"Sebelum kau mengatakannya gila seperti tadi, aku sudah lebih dulu meneriakinya gila. Sekarang yang harus kulakukam hanyalah mencari uang tersebut."

"Itu terlalu banyak Alin. Dan waktunya terlalu singkat." keluh Zaki.

"Aku tahu. Tapi aku bisa apa?"

"Kenapa harus kau yang mereka jadikan penebusnya? Kau punya kakak perempuan kan? Kenapa bukan dia?"

Alin menatap Zaki. Mungkin orang yang tak tahu hubungan persahabatan mereka, akan mengira Zaki terlalu ikut campur. Namun bagi Alin, Zaki adalah sahabatnya. Karena itu Zaki tahu segalanya dan tahu juga jika Alin punya satu saudara perempuan lagi.

Itulah alasan kenapa ayahnya tahu kontak Zaki.

Alin menghela nafas panjang, "Aku tak yakin mereka mau mengorbankan Diana demi hal ini."

"Lalu? Kau akan diam begitu saja dan menerima keputusan yang merugikanmu seperti ini?"

"Aku tak menerimanya, Zaki."

"Ini sama saja kau menerimanya!" Nada suara Zaki mulai meninggi membuat Alin terdiam, "Kau bodoh atau apa? Ini sama saja kau menerimanya. Kau yakin akan bisa mendapatkan uang itu dalam satu minggu ini? Itu tak sedikit Alin."

"Aku tahu. Lalu aku bisa apa?"

"Kenapa kau tak protes pada orang tuamu?"

Alin diam sejenak, ia menunduk, "Aku tak tega."

Zaki berteriak kesal. Ia mengacak rambutnya marah, "Kau tak tega pada mereka, tapi mereka tega padamu Alin."

"Zaki, aku--"

"Kenapa kau selalu diam? Mana suara lantangmu saat membantahku? Mana cerewetmu? Kau selalu tak terima jika aku membuatmu kesal, tapi ini jauh lebih dari kesal Alin. Kau bisa menolaknya."

"Zaki, kau tak lihat bagaimana kondisi orang tuaku semalam."

"Baik. Aku akan bicara pada orang tuamu." Zaki langsung berjalan menuju laci meja kerjanya dan mengambil kunci mobil dari dalam sana.

"Kau mau kemana?" tanya Alin cepat.

"Bertemu orang tuamu."

"Tidak! Jangan pernah kau bertemu mereka.!" bentak Alin menghentikan langkah Zaki. "Kau tak tahu masalahnya Zaki. Aku hanya tak ingin kau terlibat."

"Setidaknya aku bisa mencari jalan keluar bersama orang tuamu, Alin."

"Tak akan Ada jalan keluar. Mereka hanya akan mengejekmu. Kau tahu, jika tak ada keperluan mendesak, orang tuaku tak akan menghubungimu."

Zaki berdecak kesal. Ia merasa orang tua Alin sudah sangat keterlaluan. Mereka bisa setega itu menjual Alin. Walaupun bahasa lembutnya dari kata 'jual' tadi adalah penjamin, namun bagi Zaki, ini tidak wajar. Ini sangat keterlaluan.

Ia tak menyangka ini terjadi pada sahabatnya. Selama ini ia hanya melihat itu di TV TV. Tapi sekarang, ia melihat langsung di dunia nyata dan itu dialami oleh Alin.

Ia sendiri juga bingung kalau untuk mencari uang sebanyak itu. Mungkin jika rentang waktu yang diberi lebih dari tiga bulan, mungkin ia bisa mencarikannya. Namun ini hanya seminggu. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu seminggu untuk membantu Alin.

"Terkadang aku heran, sebenarnya mereka orang tuaku atau bukan. Perlakuan mereka padaku dan kak Diana sungguh berbeda. Kakakku lebih diratukan dan aku lebih dianggap seperti anak buangan." Alin melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong.

"Ternyata seperti ini rasanya kau punya orang tua, tapi seperti yatim piatu. Dan sekarang, finalnya kejahatan mereka padaku sudah selesai. Takdirku akan berubah menjadi neraka satu minggu lagi."

Zaki terdiam saat Alin mengusap wajahnya yang sudah dialiri air mata. Tak pernah Alin seperti ini. Ia sama sekali tak pernah melihat Alin seterpuruk ini. Bahkan sejak mereka pertama kali bertemu.

Zaki berjalan mendekati Alin. Berjongkok di depan Alin dan menangkup kedua pipi Alin.

Mereka saling tatap.

"Siapa pria itu? Beritahu siapa pria itu, dan biarkan aku yang bicara dengannya."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status