Share

“Enam: Bertemu Lagi”

"Geoooo! Lo udah baca chat grup?!"

Drea langsung berlari mengejar Geovani usai turun dari mobilnya. Mereka berdua menempati gedung yang sama lagi untuk belajar. Walau begitu, tidak akan sering mereka berpapasan saat memasuki kampus, bisa jadi Drea yang lebih awal datang atau Geovani yang menaiki ojek online dahulu.

"Sudah! Saya jadi kesulitan tidur semalam! Ditambah lagi dia satu jurusan sama kita." Sambil melanjutkan langkahnya, mereka terkekeh. Tentu saja yang mereka maksud adalah Daniel.

"Bisa jadi ini kesempatan lo buat dapat Daniel," celetuk Drea membuat hati Geovani berbunga-bunga. Pipinya pun bersemu malu kepada hal yang belum jelas kebenarannya.

"Ih!? Pipi lo merah," ledek sahabatnya itu sambil menunjuk wajah Geovani. "Huaaa! Andai aja Daniel-nya gue juga di sini."

"Maksud kamu Daniel Gumelar?"

"Ya, siapa lagi?"

"Bukannya kamu belum menceritakan ke saya tentang kronologis kalian jadian?"

"Lo mau tau? Tapi jawab dulu, nih. Lo ada hubungan apa sama Giovano?"

Geovani terbelalak.

"Soalnya ada kaitannya sama lo berdua," lanjut Drea mencegah Geovani yang ingin bungkam.

"Saya belum tahu pasti, sih. Cuma ini opini saya kalau dilihat dari kelakuan dia. Waktu hari kelulusan dulu, kamu tahu 'kan? Saya salah orang pas menyatakan perasaan."

"Jangan-jangan ...."

"Saat itu dia pakai helm full face, dan cuma membuka setengah wajah saja, jadi saya cuma hafal bentuk matanya, juga suara beratnya, itu pun samar. Lalu, di Bali bertemu dengan Giovano yang katanya alumni angkatan kita. Setelah mendengar suaranya, ternyata persis dengan suara orang itu. Matanya juga sama," jelas Geovani panjang lebar.

Drea mengangguk paham.

"Ternyata bener."

"Apa?"

"Sebelum kita makan malam bareng di Bali, yang gue bilang mau bahas hal itu sama Daniel Gumelar ... itu bahas si Giovano."

"Oh, jadi kalian jadian karena satu hobi bergosip?" Sontak, Drea menoyor kepala Geovani.

"Gumelar cerita kalau dia pernah ditolong si Giovano dulu, makanya dia ngerasa ada hutang Budi gitu. Kata dia, Giovano lagi butuh kerjaan, akhirnya dia minta bantuan sama bokapnya, ya walaupun berujung babak belur. Giovano dibayarin tiket pesawat–"

"Dia mau kerja kayak liburan aja."

"Gak tau, sih, mungkin di tempat Gumelar itu gajinya melebihi target si Giovano? Dah, lanjut! Mereka teleponan bicarain itu, soalnya si Giovano awalnya nolak tawaran dia. Gila kali, si Gumelar udah babak belur gitu ditolak–"

"Salah sendiri seperti mencari maut."

"Sssst! Dengerin dulu apa! Pas lagi teleponan, tiba-tiba ada suara cewek yang nyatain perasaan ke Giovano. Spontan dong si Gumelar nanya-nanya. Nah! Orang sejenis Giovano pasti risih, apa lagi teleponannya pake headsheet. Langsung ditutup teleponnya."

Geovani menenggak ludahnya.

"Dan ... lo tau, Geo? Dia stalking lo! Tapi kayaknya gak niat, sih, cuma buat jawabin Gumelar aja yang nanya-nanya tentang lo. Dia ngambil foto lo yang ada di sosmed. Menurut gue, dia kenal lo karena memang lo udah terkenal di Daksa Jingga gara-gara ngejar-ngejar Daniel."

"Ahh! Stop!" Geovani menepuk keningnya pelan. "Saya bisa tebak sendiri alurnya. Dari foto itu Gumelar bisa kenal saya, dan ternyata kita bertemu di Bali, dia semakin gencar mau lihat Giovano dan saya bertemu, makanya minta bantuan kamu. Dan, berujung kalian yang jadian."

Drea terbahak-bahak di atas penderitaan Geovani.

"Dunia kecil, ya. Aduh ... udah deh, capek ketawa gue, kita langsung kumpul aja di situ," ujar Drea sambil menunjuk aula yang luas.

Tidak lama kemudian, aba-aba untuk mahasiswa baru mulai terdengar. Mereka mengikuti agenda hari ini.

***

Hari di mana Geovani mendapat kabar tentang Daniel, pujaan hatinya yang kelewat dingin itu memiliki sosial media, bahkan menempuh pendidikan di kampus yang sama dengannya adalah hari istimewa yang dianugerahkan Tuhan untuk gadis itu. Lalu, hari ini ia bisa kembali melihat Daniel setelah lebih dari satu bulan ia hiatus mengganggu Daniel.

Melihat Daniel yang berdiri selang beberapa orang di hadapannya, membuat Geovani tidak fokus mendengarkan pembicaraan BEM di depan sana.

Tidak mendapat tatapan balik pun Geovani sudah sebahagia ini, bagaimana jika Daniel tersenyum menatapnya?

Namun, sayang sekali. Ekspektasinya akan melalui hari-hari yang menyenangkan seketika buyar sekian persen ketika matanya mendapati sosok yang tidak asing.

"Mingkem." Drea mengusap wajah Geovani yang masih ternganga.

"Dre, Dre, lihat itu," bisiknya sambil menunjuk seseorang.

Drea sedikit menyipitkan mata untuk memperjelas sosok yang Geovani maksud.

Wah! Rupanya dunia memang kecil.

"Giovano di sini juga?" Drea menahan tawa, terutama setelah melihat raut wajah sahabatnya.

"Ssssttt! Udah-udah, noh, dengerin besok suruh bawa apa aja."

Dunia itu luas, tetapi kecil.

***

Geovani menghempaskan tubuhnya ke ranjang kamarnya. Di tangannya, ia menggenggam note kecil berisikan barang-barang yang harus dibawa esok.

"Kertas karton biru silver, slayer biru tua, tali rapia warna hitam atau abu-abu ... aihhh, ribet banget, sih." Ia merenggangkan ototnya sejenak, lalu berganti pakaian.

Di luar rumah sedang mendung, tentu saja Geovani berinisiatif membawa payung. Akan tetapi, sayang sekali, payungnya sobek di beberapa sisi. Kalau memperkirakan jarak dari rumahnya ke tempat photocopy-an, mungkin hanya memakan waktu tiga puluh menit pulang pergi. Sudahlah, ia berdoa saja agar tidak terjebak hujan di tengah jalan.

Geovani langsung memesan kebutuhannya setelah sampai.

"Jadi berapa, Mas?"

"Sepuluh ... dua ... lima belas, Mba."

"Oke, ini, Mas. Terima kasih," ujarnya sebagai penutup, lalu berbalik badan.

Air hujan yang biasanya merintik-rintik kecil dahulu sebelum menjadi besar, hari ini mengeroyok bumi dengan deras secara tiba-tiba. Mau tidak mau, Geovani berdiri di depan ruko menunggu hujannya reda, atau paling tidak sampai hujannya mulai menggerimis.

Namun, meratapi air hujan yang mengalir tidak merugikan juga, justru gadis itu merasa sedikit tenang melihatnya. Seakan-akan semua kepedihan hidupnya akan ikut mengalir dan hilang seperti air hujan. Ia melayangkan kesadarannya ke andai-andai di dimensi lain.

"Bang!" Suara serak seseorang kembali menyadarkannya. Spontan, Geovani menoleh ke sumber suara, mendapati Giovano dengan baju lepek.

"Gio?! hujan-hujanan ko? Gila ... kayak gak ada tempat neduh aja. Masuk, ganti baju cepat-cepat, pilih yang mana pun terserah ko." Giovano tercekat melihat pemilik suara serak itu. Lagi-lagi ia bertemu dengan Giovano? Takdir yang merepotkan.

Giovano cengengesan di sana sambil beranjak memasuki ruangan di ruko tersebut. Baru kali ini gadis itu melihat Giovano tersenyum, biasanya raut wajahnya selalu serius dan garang. Geovani yang menatapnya lebih dari satu menit mengundang rangsangannya. Ia menoleh, bertatapan dengan mata Geovani beberapa detik sebelum gadis itu membuang muka.

"Kenapa akhir-akhir ini saya sering ketemu dia, sih!!!" jeritnya dalam hati yang diperagakan dengan hentakan keras kakinya.

Sekali lagi, dunia memang kecil.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status