Share

03 || Nice Day

Welcome 🌷

*****

Senyum terus terukir di wajahku bahkan setelah aku keluar dari dalam ruangan Pak Imam. Bisa aku dengar dengusan dari Agatha yang berjalan di sampingku yang mungkin merasa jengah karena aku terus-terusan tersenyum lebar seperti orang aneh.

"Mingkem, Ra. Tuh gigi udah kering kayaknya gara-gara lo senyum-senyum terus," ujar Agatha. Tersadar atas apa yang sudah aku lakukan, kepalaku menunduk menahan malu.

Aku menghentikan langkah secara mendadak, otomatis Agatha pun ikut berhenti juga. Agatha mendelik ke arahku dengan sebelah alis terangkat seolah bertanya, "kenapa berhenti?". Buru-buru aku mengeluarkan kertas dan satu buah pulpen yang senantiasa aku bawa kemana-mana.

"Makasih udah temenin aku ketemu sama Pak Imam, ya." Itu yang aku tulis di kertas.

"Hm sama-sama," balas Agatha datar.

Aku tersenyum tipis lantas keningku mengernyit kala menyadari jika sedari tadi aku dan Agatha terus bersama bahkan jalan beriringan berdua. Tanpa bisa dicegah, aku merasa senang karena ini pertama kalinya sejak aku pertama masuk sekolah sampai sekarang sudah kelas 3 SMA, ada seseorang yang berada di dekatku dalam waktu lama.

Biasanya orang-orang hanya akan mendekatiku jika sedang ada perlunya. Setelah selesai mereka akan kembali menjauh dan bersikap seolah tidak kenal. Namun, kali ini Agatha berbeda dan itu berhasil membuatku bahagia. Sederhana memang tapi sangat berharga bagiku.

"Lo kenapa lagi sih? Gue perhatiin kayaknya lo hobi ngelamun, ya?" Satu pertanyaan dari Agatha menarik kembali jiwaku ke alam sadar. Aku menggeleng kemudian lagi-lagi tersenyum sebagai respon.

"Dih aneh lo," kata Agatha yang sontak mengakibatkan aku tertawa kecil tanpa suara. Di hari Kamis ini aku sudah mendapatkan dua hal yang membuatku bahagia.

Pertama karena tadi ternyata Pak Imam memanggilku karena beliau ingin membeli semua kue yang tidak jadi aku titipkan pada ibu kantin karena insiden di depan gerbang. Katanya beliau lapar gara-gara belum sempat sarapan di rumah. Lalu yang kedua, akhirnya ada seseorang yang mau mengobrol dan berjalan bersamaku.

Sungguh dua hal itu berhasil memperbaiki suasana hatiku yang sempat murung kembali cerah seketika. Aku terkejut ketika dengan tiba-tiba Agatha lagi-lagi menarik tanganku tanpa izin.

"Lo kebanyakan bengong sampai capek sendiri gue lihatnya." Aku tersenyum tipis mendengar gerutuan gadis itu dan kakiku terus mengikuti kemana kali ini Agatha akan membawaku pergi.

*****

Beberapa kali aku bergerak gelisah karena berpuluh-puluh pasang mata mengarah padaku dan juga Agatha yang sedang duduk di salah satu bangku kantin. Jujur aku tidak nyaman ditatap seperti itu, mereka melihatku seakan berkata "tumben si bisu ke kantin. Biasanya juga di perpus atau masjid", dan beberapa kali juga aku mencoba menenangkan diri.

Agatha yang duduk di depanku tampak tak terganggu sedikitpun, asik menghabiskan semangkuk bakso dengan kuah super merah, sesekali menyeruput es jeruknya. Merasa diperhatikan Agatha mengangkat sedikit pandangannya.

"Lo gak pesan makan?" tanyanya. Aku menggeleng.

"Kenapa?" sambung Agatha.

"Hari ini aku puasa." Kening Agatha mengernyit setelah membaca tulisanku.

"Puasa apaan dah?"

"Puasa sunnah."

Agatha terdiam. Sekilas Agatha melirik baksonya yang belum habis kemudian menatapku, tatapannya sulit diartikan. Menghela napas, Agatha meraih minumannya dan mendorong mangkuk bakso tersebut.

"Kenapa gak dihabiskan?"

"Gue gak enak sama lo, Ra. Maaf gue gak tahu," balas Agatha pelan. Aku tertawa kecil, mendorong kembali mangkuk bakso yang masih tersisa ke hadapan Agatha lagi lalu menulis di kertas.

"Habiskan. Gak baik buang-buang makanan. Gak usah pikirkan aku, nggak apa-apa."

"Yakin?" tanya Agatha memastikan.

Aku mengangguk kukuh, mengodekan lewat mata yang mengarah pada benda berbentuk bulat warna putih di atas meja dengan gambar ayam jago, bermaksud menyuruh agar Agatha menghabiskan makanannya. Meski aku lihat Agatha seperti sedikit terpaksa, gadis berambut sebahu itu tetap melanjutkan kegiatan makannya, bahkan sampai dipercepat.

Aku menggelengkan kepala, mataku mengedar ke seluruh penjuru kantin, detik berikutnya aku menyesali tindakan aku itu. Murid-murid tersebut rupanya masih memperhatikan meja tempat aku dan Agatha duduk. Aku gugup setengah mati.

'Ya Allah malu banget.' Aku menjerit dalam hati sembari menundukkan kepala. Baru pertama kali aku diperhatikan oleh orang ramai, pertama kali juga aku memasuki wilayah kantin.

"Kenapa, Ra? Lo malu?" Ini lagi Agatha. Sudah tahu mengapa masih bertanya coba. Aku mendengar Agatha terkekeh pelan.

BRAKK!

"Apa lo semua lihat-lihat?! Gue tahu gue cantik, jadi gak usah segitunya lihatin gue. Dasar norak!"

Entah sudah keberapa kali aku selalu dikejutkan oleh Agatha dalam satu hari ini. Apakah Agatha memang hobi mengejutkan orang lain? Aku menarik pelan ujung seragam gadis itu agar kembali duduk dan tenang. Aku tidak mengira jika Agatha akan berteriak bahkan sampai berdiri seraya menggebrak meja.

"Lo tenang aja, Ra. Mereka semua udah gak lihatin lo lagi," kata Agatha sanggup membuatku mengusap dada.

BRAKKK!!

'Astagfirullah!'

Ya Allah apa lagi ini? Tak cukupkah hanya Agatha yang hobi mengejutkan hamba? Mengapa hari Kamis kali ini begitu banyak hal yang sanggup membuat jantung hamba serasa lompat dari tempatnya? Aku menunduk dan mengusap pelan pelipis. Belum reda keterkejutan ku, mataku mendapati ada sepasang sepatu sneaker putih entah milik siapa.

"Lo?!"

Suara ini ... aku seperti mengenalinya. Perlahan aku mendongak dan mendapati laki-laki yang tadi pagi menabrak ku berdiri dengan gayanya yang angkuh. 

•To be continued•

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status