Sia sedikit gemetar ketika Rigel menyapu kulit punggungnya dengan ujung-ujung jemarinya. Terasa lembut, hangat, dan menggetarkan hasrat.
Seperti pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, tapi Sia lupa di mana, kapan, dan oleh siapa. Rasanya terlalu menyenangkan. Sia tidak ingin berpikir lagi.
Menggigit bibir bawahnya dalam posisi memunggungi Rigel, Sia berusaha merasa bahwa dia baik-baik saja.
Dibalik punggung Sia, setelah Rigel mengusap bagian tubuh ‘istrinya’ yang terbuka itu, hasrat lain mendorongnya untuk bertindak sedikit lebih berani. Mendekatkan wajahnya ke punggung Sia, Rigel berhasil mengecup seluruh kulitnya itu berulang kali, semakin lama semakin bermakna.
Sia menahan diri, meremas gaunnya dan tidak berani mengeluarkan suara, karena takut desahan erotis bisa saja meluncur dari mulutnya jika dia tidak pintar menahannya.
Rigel sudah hampir lepas kendali. Dia seakan lupa apa yang sedang dilakukannya, karena ini terasa berbeda
Sia dan Rigel saling jatuh cinta. Semua terasa indah bagi mereka berdua. Hari-hari berlalu dengan sukacita. Saling berbagi cinta, kasih sayang, dan rahasia.“Kau yakin?” Rigel menatap penuh cinta dalam kelembutan pada sang istri, ketika Sia mengungkap rahasianya.“Awalnya aku juga tidak yakin. Tapi setelah kulihat lagi, benang hitam milikmu sudah tidak tampak sejak kita menikah,” jelas Sia, memeluk erat Rigel di atas ranjang, berbaring dengan terpaan sinar matahari mengunci tubuh keduanya.“Lalu bagaimana dengan milik orang lain?” Rigel penasaran, menatap Sia, mencium keningnya kemudian.Sia berpikir sejenak. “Sesekali terlihat. Seperti ada waktu khusus, tapi aku tidak tahu kapan tepatnya. Apa menurutmu, aku bisa melihat takdir mereka?”“Hmm ...” Mengusap lembut wajah Sia, Rigel merasa bingung, “aku tidak bisa menjawab tentang hal itu. Sungguh, aku tidak paham segala sesuatu yang ter
Vanth memasukkan racun Hinun ke sembarang gelas, dan tidak ada satupun yang memperhatikan dirinya. Itu memang keahliannya.Diseberang Vanth, Sia dan Rigel terpisah karena Sia ingin pergi ke toilet. Miria menyusulnya, dia tahu apa yang menjadi bagian dari tugasnya sekarang.“Mundur, Miria.” Itu suara Vanth, masuk ke dalam pikiran Miria. “Aku yang akan menemui wanita itu langsung. Jaga tempat ini tetap tenang bersama Adlin.”Miria berhenti bergerak, dia mundur dan kembali ke tempatnya semula. Berusaha menahan diri untuk tidak berpikir apapun karena Vanth bisa masuk kapan saja ke dalam pikirannya saat ini.Vanth melangkah menuju toilet. Bergerak layaknya manusia normal dan mengatur agar toilet menjadi kosong dengan pencahayaan yang minim.Menunggu dengan tenang sampai Sia keluar dari toilet hampir tujuh menit. Terkejut saat ada seorang pria gagah ketika dia keluar dari toilet, Sia berusaha tidak mempedulikan kehadirannya.
Rigel mempersilakan para tamu dan rekan bisnisnya untuk mencicipi semua hidangan istimewa yang telah disiapkan. Kedua matanya kemudian mencari-cari keberadaan istri tercinta dan menemukannya di antara para tamu lain, berjalan cepat menuju ke arahnya. Dengan senyum manis menyambut, Rigel bisa melihat Sia yang membalas senyumnya. Tidak ada yang mencurigakan dari sang istri, Rigel juga tidak perlu berburuk sangka pada Sia tentang apapun. Mereka saling percaya. “Apa ada yang terjadi?” tanya Rigel, penuh perhatian, menggenggam tangan Sia dengan lembut. “Tidak. Apa aku terlihat bermasalah, Sayang?” Sia tiba-tiba gugup. Dia takut Rigel menyadari sesuatu, padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin agar tidak mencurigakan di mata suaminya. “Tentu saja tidak. Aku hanya bertanya karena melihatmu terlambat kembali.” Rigel menatap Sia, dan istrinya segera tertawa riang. “Oh, itu ...” Sia secepat mungkin memikirkan sesuatu yang bagus untuk dijadikan alasan,
“Aku akan melakukan apapun agar kau bersedia untuk menyembuhkan istriku.” Yoan berdiri di sebuah pondok tepi jurang. Dia tiba semenit lalu.“Termasuk memberikan darahmu setiap sebulan sekali untukku di akhir senja?” Pemilik pondok menatap tajam pada Yoan. Dia sungguh tidak mengira akan ada orang yang mencarinya, lalu berhasil menemukannya. Bukan hanya sulit ditemukan, dia juga tinggal di tempat berbahaya.“Apapun itu.” Yoan tidak ragu-ragu, apalagi takut.Kedua mata wanita berpakaian serba putih gading itu memicing curiga. Dia merasa tidak yakin Yoan hanyalah manusia biasa.“Bagaimana cara kau melewati hutan, sungai, dan tebing sebelum tiba di sini?”Yoan tersenyum. “Kupikir, karena kau memiliki kekuatan penyembuh, kau juga dapat mengetahui caraku bisa tiba sampai ke sini dengan selamat.”Wanita itu tertawa. “Wah, kau berani bicara ternyata. Jadi, di mana istrimu? Aku akan men
Sia terbangun pagi harinya dengan terkejut tanpa kursi roda di sisi ranjang. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah, dan yakin selama Yoan tidak pulang, pintu beserta jendela terkunci dengan benar.“Yo-Yoan? Kaukah itu?” Sia menyeret bokongnya maju. Panik saat mendengar suara sendok jatuh di luar kamar.Suara pintu terbuka dan kemunculan Yoan di sana, melegakan hati Sia. Dia hampir saja menangis ketakutan. Beberapa hari lalu rasa-rasanya dia baru saja mengusir Yoan dengan caranya yang halus untuk pergi mencari bahagianya, tapi baru dua hari ditinggal, Sia sudah merasakan dia tidak akan kuat menghadapi segalanya sendirian.“Ya, ini aku. Hei ... kau kenapa, Sayang? Apa kakimu sakit?” Yoan tergesa menghampiri Sia.“Peluk aku,” pinta Sia. Dia bermimpi buruk. Sangat buruk, hingga air matanya tiba-tiba menetes jatuh.Yoan memeluk Sia dengan perasaan gelisah. Yang diingatnya selalu, Sia itu wanita kuat dan hampir tida
Sia berjalan ke sana kemari seperti bayi yang baru bisa menginjakkan kedua kakinya ke bumi untuk pertama kalinya. Dia bahagia, tentu saja.Yoan bahkan sudah menghubunginya empat kali dalam tiga puluh menit. Itu merepotkan, tapi Sia tidak merasakan bahwa Yoan membebaninya. Sama sekali tidak.“Jangan terlalu banyak berjalan. Kedua kakimu masih belum terbiasa dan bisa saja terluka jika kau memaksakan diri.”“Baik, Yoan. Aku mengerti.” Sia cekikikan. Merasa seperti baru kali ini hal baik terjadi dalam hidupnya.“Jangan lupa kirimi aku pesan ke mana saja kau pergi dan di mana kau menungguku.” Yoan mengingatkan lagi.“Baik, Tuan Yoan Bailey. Aku mengerti.”“Senang mendengar kau memahami maksudku, Sia. Sampai nanti.”“Sampai nanti, Yoan.”Panggilan berakhir, setitik dua titik air dari langit jatuh semakin lama semakin deras. Untuk pertama kalinya setelah sekian la
“Yang kuinginkan?” Vanth menaikkan kedua alis matanya yang hitam lebat menawan. “Inilah yang kau inginkan, Galexia Pandora.”“Apa maksudmu? Kau bicara seolah-olah aku mengingat semua masa laluku. Apa kau—”Vanth mencium bibir Sia, menghentikan semua aliran darah di tubuh Sia kecuali di kepalanya. Tubuh Sia tidak bergerak sama sekali, masih dikendalikan oleh Vanth sepenuhnya. Hanya kedua mata Sia yang mengerjap-ngerjap karena terkejut.Vanth bicara di depan bibir Sia, masih bisa melihat bibir wanita itu bergetar. “Sampai kapan pun, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku, Galexia.”Kembali melakukan hal yang sama, Vanth menggigit lembut bagian bawah bibir Sia. Melakukannya lagi dan lagi, sementara Sia hanya bisa diam. Untuk kali keempat, Sia baru bisa menikmati sensasinya dan mengikuti alur ciuman Vanth.Sia seakan lupa siapa yang dicintainya, siapa yang dipujanya, siapa yang selalu ada untuknya
“Menemuimu. Memangnya ada yang lain?” Sia memijat keningnya. “Pelankan suaramu. Yoan bisa saja ke dapur untuk membuat sesuatu.” Tawa Vanth membahana di seluruh kamar mandi. Bergema dan membuat Sia panik. “Tidak bisakah kau menjaga agar keadaan tetap aman?” Sia membekap mulut Vanth. Kedua mata pria itu menyipit karena dia sedang tersenyum lebar saat ini. Vanth menarik tubuh Sia hingga terduduk dipangkuannya. Jantung Sia yang berdetak-detak ribut semakin menarik minat Vanth untuk menikmati wanita yang sudah dibuat hidup dan mati berulang kali oleh kekuatan si Pemimpin negeri atas awan ini. “Semua aman terkendali. Jangan samakan aku dengan manusia biasa. Kau mengerti, Sayang?” Sia merasakan tangan Vanth menuntun kedua lengannya untuk dilingkarkan di leher pria itu. Sedangkan telapak tangan Vanth yang kiri mulai menjelajahi tubuh Sia. “Oh, ya ampun. Jangan lagi, kumohon.” Sia meminta dengan suara yang lirih. Menahan diri dan hasrat yang in