Elina membuka kedua matanya perlahan, menampakkan iris matanya yang berwarna kecokelatan. Untuk sesaat pandangannya kabur, dan butuh beberapa menit untuk penglihatannya kembali normal. Elina beranjak bangun, terduduk di ranjang sambil mengerang memegangi kepalanya yang terasa begitu pening. Ini semua gara-gara dia terlalu banyak minum kemarin malam. Elina terdiam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mengingat-ingat dimana dia berada. Detik berikutnya, dia baru sadar bahwa sekarang dia berada di kamarnya.
“Bagaimana aku bisa pulang? Bukankah terakhir kali aku sedang ada di bar?” Berbagai pertanyaan menghampiri. Elina sungguh tidak mengerti kenapa dia bisa berada di kamar, padahal seingatnya dia berada di bar milik Jeremy. Atensi Elina mendadak beralih pada hal lain ketika dia merasa ada sesuatu yang terasa ganjil. Dia melihat pakaian kerja yang kemarin dikenakannya berserakan di lantai, dan bukan hanya itu. Ada beberapa pakaian asing yang juga berserakan di bawah sana. Hal itu membuat Elina terkejut dan spontan mengecek tubuhnya. Tapi baru saja Elina menundukkan kepala, perhatiannya kembali tersita oleh sesuatu.
Benang? Aku tidak salah lihat, kan? Ini benar-benar benang takdirku? Elina mengucek matanya berulang kali, mencoba memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukanlah ilusi. Dia baru benar-benar yakin setelah dia memegang benang itu dengan tangannya sendiri.
Bagaimana bisa benang ini tiba-tiba saja muncul? Padahal sebelumnya aku hanya bisa melihat benang takdir milik orang lain saja. Elina termangu. Entah bagaimana semua ini bisa terjadi, Elina sungguh tidak mengerti kenapa benang takdir miliknya yang selama ini tidak bisa dia lihat, tiba-tiba saja muncul, dan dapat dia lihat. Elina masih memandang benang di jari manisnya, sementara otaknya masih berusaha memproses setiap kejadian yang baru dia alami.
Benang berwarna merah itu begitu panjang hingga menjuntai ke arah lain. Elina mencoba menelurusi dimana ujung benangnya, sampai kemudian dia melihat ujung lain benang takdirnya terikat pada jari seseorang yang berbaring di sampingnya. Dia membelalakkan mata saat mendapati seorang lelaki berbaring dalam keadaan bertelanjang dada di ranjang yang sama dengannya. Spontan hal itu membuat Elina panik lalu bergegas mengecek tubuhnya sendiri, dan dia lebih terkejut lagi saat sadar bahwa sejak awal dia berada dalam keadaan telanjang dengan beberapa bekas ciuman menghiasi tubuh indahnya.
“KYAAAA!!” Elina memekik panik. Suara teriakannya yang begitu kencang berhasil membangunkan lelaki yang sejak tadi berbaring di sampingnya. Lelaki itu terbangun dengan terkejut lalu spontan melihat ke arah Elina.
“Argh! Apa yang terjadi? Kenapa kau berteriak?”
“K-KAU!” Elina menatapnya horror. Dia baru sadar kalau ternyata lelaki yang sejak tadi berbaring di sampingnya adalah dia! Alvin Finnegan. Si berengsek yang hobinya adalah memainkan perempuan. Playboy kelas kakap yang super mesum, dan menyebalkan. Lalu yang lebih sialnya lagi adalah tetangga yang unitnya berada tepat berhadapan dengan unit milik Elina.
Wajahnya memang tampan, tubuhnya atletis, memiliki garis rahang yang tegas, mata biru ke abu-abuan yang indah, senyuman yang selalu tampak memikat, dan suara berat yang khas serta selalu bisa menggetarkan hati para wanita. Sialnya lelaki itu nyaris sempurna, apalagi dengan kehidupan glamornya dan kebiasaannya menghambur-hamburkan uang. Tapi minusnya dia suka bermain dengan banyak wanita, mesum, dan bahkan nyaris tiap malam membayar seorang wanita untuk ditidurinya.
Sejak awal mereka memang sudah kenal satu sama lain karena Elina dan Alvin pindah ke apartemen di hari yang sama. Mereka juga sempat beberapa kali bertemu dan bertegur sapa, tapi hubungan mereka hanya sebatas tetangga yang mencoba bersikap ramah, tidak lebih dari itu. Bahkan Elina tidak pernah membayangkan bahwa hal seperti ini akan terjadi. Dia juga tidak pernah membayangkan kalau dia akan mendapatkan pengalaman tidur bersama dengan Alvin yang sejak awal dianggapnya perlu membatasi hubungan dengannya.
“KENAPA KAU BISA ADA DI SINI?!” Elina menatapnya dengan wajah kesal. Dia mengepalkan tangan, tidak terima dengan apa yang telah dilakukan Alvin selama dia dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“Apa maksudmu?”
“APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN PADAKU?”
“Kau tidak ingat apa-apa mengenai kejadian semalam?”
“Semalam?” Elina terdiam sesaat. Elina menduga bahwa Alvin semalam memanfaatkan keadaannya saat sedang tidak sadarkan diri untuk bisa menidurinya. Memikirkan hal itu sungguh membuatnya bertambah kesal. Elina tanpa pikir panjang langsung menyerang Alvin, memukuli tubuhnya sekuat tenaga. “BERENGSEK! DASAR BAJINGAN! BERANI SEKALI KAU MENYENTUHKU SAAT AKU TIDAK SADARKAN DIRI!”
“Tunggu, apa? Aww—“ Alvin meringis kesakitan. Entah bagaimana tangan mungil Elina bisa memukulnya dengan begitu keras hingga membuatnya merasa kesakitan. “Aww—hentikan! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau memukulku!”
“AKU TIDAK AKAN BERHENTI SEBELUM AKU PUAS MEMBERIMU PELAJARAN KARENA KAU SUDAH BERANI MENYENTUHKU. BISA-BISANYA KAU MEMANFAATKANKU YANG DALAM KEADAAN TIDAK SADARKAN DIRI!”
“Apa? Hey, tenanglah!” Alvin mencengkram pergelangan tangan Elina, menghentikannya dari terus memukuli tubuhnya. Elina mendongak, menatap Alvin dengan tatapan sinis.
“BAGAIMANA MUNGKIN AKU BISA TENANG SEMENTARA AKU TAHU KAU SUDAH MENIDURIKU?!”
“Kau terlalu berlebihan. Dengar! Kau tidak akan hamil hanya dengan tidur satu kali denganku,” ujar Alvin dengan santai. Elina melongo dibuatnya melihat reaksi Alvin yang menganggap semua ini adalah hal biasa. Alvin tidak tahu saja bahwa ini adalah kali pertama Elina tidur dengan seorang lelaki setelah selama puluhan tahun dia menjauhi lawan jenisnya dan mencoba untuk tidak berhubungan dengan mereka. Elina normal, dia menyukai lawan jenisnya. Tapi dia tidak pernah berniat untuk lebih dari sekedar mengagumi kelebihan mereka. Entah kenapa, tapi Elina selalu merasa tidak nyaman setiap kali dekat dengan lelaki manapun, dia merasa kalau para pria akan melukainya. Kecuali tiga orang lelaki yang ada dalam hidupnya, yaitu Jeremy, adik laki-laki, dan ayahnya. Sejauh ini hanya mereka bertiga yang tidak benar-benar Elina jauhi. Itu pun karena ada alasan kuat yang membuat Elina merasa tidak perlu terlalu menjaga jarak dengan mereka.
Jeremy seorang gay, dan mereka juga hanya sekedar teman yang tidak terlalu dekat. Sedangkan ayah serta adik laki-lakinya adalah orang yang sangat Elina sayangi. Mereka adalah keluarga yang sangat berarti dan pengertian padanya.
“BERENGSEK! KAU MEMANG BAJINGAN.”
“Berhenti memakiku. Jangan bersikap munafik! Bahkan aku masih ingat semalam kau begitu menikmati permainan kita, dan lagi akan aku ingatkan. Kau yang menggodaku lebih dulu, dan memintaku untuk tidur denganmu. Jadi jangan salahkan aku kalau aku lepas kendali.”
“Omong kosong, kau pikir aku gila? Aku tidak mungkin memintamu untuk meniduriku!” Elina memberontak, berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.
“Apa perlu aku ceritakan semuanya? Haruskah aku peragakan bagaimana caramu menggodaku untuk tidur denganmu?” Alvin menarik tubuh Elina mendekat, membuat posisi wajah mereka saling berhadapan dalam jarak yang lebih dekat dari sebelumnya. Alvin menyeringai, mencoba menggoda Elina.
“Kau memang sudah tidak waras!” Elina mendorong tubuh Alvin sekuat tenaga hingga membuat lelaki itu melepaskannya. Tidak sampai di situ, Elina langsung menyerang Alvin menggunakan bantal. Di sisi lain, Alvin mencoba melindungi diri dan menahan serangannya dengan tangan. Tapi serangan Elina yang terlalu brutal membuatnya kehilangan keseimbangan hingga dia tersungkur jatuh dari ranjang.
Brukk!
Alvin meringis kesakitan saat tubuhnya jatuh dengan cukup kasar. Alih-alih berhenti, Elina justru menyerangnya dengan lebih kasar lagi. Dia melemparkan barang-barang yang ada di dekatnya, membuat Alvin semakin kesakitan. Elina baru berhenti ketika Alvin merasa benar-benar kesal hingga akhirnya bangkit dan berdiri di tepi ranjang. Yang membuat Elina berhenti adalah karena dia syok melihat tubuh Alvin yang telanjang sempurna di hadapannya. Berdiri dengan tanpa mengenakan sehelai benang pun yang menutupi tubuh dan kejantanannya. Elina bahkan bisa dengan jelas melihat setiap inci bagian tubuh Alvin. Tapi hanya sekilas, sebelum Elina bergegas menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
“Kau benar-benar kasar, ya! Tubuhku jadi sakit gara-gara kau!” tukas Alvin dengan wajah kesal.
“I-itu sama sekali tidak sebanding dengan apa yang sudah kau lakukan padaku!”
“Apa? Kau bilang apa? Kenapa sekarang kau malah bersikap aneh begini? Aku tidak bisa mendengar suaramu kalau kau menutupi wajahmu begitu. Bicara yang jelas! Tadi saja, kau berteriak begitu kencang, sekarang tiba-tiba kau bersikap aneh begini!” Alvin berdecak kesal.
“Dasar bodoh! Tutupi dulu tubuhmu. Bagaimana mungkin aku tidak menutupi wajahku kalau kau malah berdiri dihadapanku dalam keadaan telanjang begitu!”
“Uh?” Alvin menatap tubuhnya. Dia baru sadar kalau sejak tadi dirinya dalam keadaan telanjang. Lelaki melirik Elina, menyeringai ke arahnya. “Kau bersikap seperti baru pertama kali melihatnya saja. Padahal tadi malam kau sudah bermain dengannya!”
“A-apa? Dasar mesum! Tutup mulutmu.”
“Sial! Memikirkan kejadian semalam membuat milikku tegang. Lihat ini semua gara-gara ulahmu! Kau harus bertanggung jawab.” Alvin beranjak menaiki ranjang, sungguh mengasyikkan menggoda Elina yang dalam keadaan seperti ini, bahkan reaksinya yang begini malah membuat milikinya semakin tegang dan ingin mengulang permainan bergairah mereka seperti tadi malam.
“APA YANG KAU LAKUKAN! MENJAUH DARIKU!” Elina bergerak menjauh begitu sadar Alvin mendekat padanya. “A-aku peringatkan kau!”
Tubuh Elina gemetar, jantungnya berdebar, dan dia sungguh panik dengan Alvin yang semakin mendekat ke arahnya. Elina nyaris jatuh, tapi Alvin dengan sigap menangkap punggungnya hingga membuat Elina jatuh dalam pelukannya. Elina membatu seketika saking kagetnya. “Kau harus bertanggung jawab karena sudah membuatnya bangun…”
Alvin berbisik tepat di telinganya. Elina mengintip, beradu tatap dengan Alvin yang wajahnya kini begitu dekat dengannya. Dalam posisi sedekat ini, Elina bisa dengan jelas melihat pahatan sempurna wajah tampannya.
***
“MENJAUH DARIKU!” Elina mendorong tubuh Alvin dengan sekuat tenaganya. Alvin terkekeh lalu membenahi posisinya, berdiri masih dalam kondisi telanjang. Elina yang menyadari hal itu spontan kembali menutupi wajahnya dengan tangan. “Baiklah kalau kau memang tidak mau tanggung jawab, biar aku yang tangani. Setidaknya malam ini kau sudah membuat malamku begitu indah. Terima kasih.” Alvin berjalan memunguti semua pakaiannya. Dengan tanpa malu, lelaki itu mengenakan semua pakaiannya di hadapan Elina yang masih mencoba menyembunyikan wajahnya. “Oh ya! Jika kau tidak ingat mengenai apa yang terjadi, semalam Jeremy memintaku mengantarkanmu pulang. Itu alasan kenapa aku bisa ada di sini, tapi seperti yang aku katakan. Apa yang terjadi setelah aku mengantarkanmu, itu salahmu!” “Kau benar-benar berengsek! Kau yang sudah memanfaatkan ketidak sadaranku, dan kau malah menyalahkanku juga! Dasar tidak tahu malu.” “Terserah! Yang jelas aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Kalau kau sudah mengin
Elina sejak kecil memiliki kemampuan untuk melihat benang merah pengikat takdir milik semua orang yang dilihatnya. Elina tidak ingat bagaimana pertama kali kemampuannya itu muncul, namun yang jelas dia tidak pernah memiliki kehidupan yang normal seperti perempuan lain. Dengan kemampuannya itu, Elina selalu bisa melihat takdir seseorang. Menyaksikan bagaimana alur hubungan, dan menyaksikan bagaimana suatu kehidupan dimulai serta berakhir. Selama ini, tidak pernah ada yang tahu mengenai kemampuannya. Termasuk kedua orang tuanya sendiri. Itu karena tidak pernah ada yang percaya dengan apa yang Elina katakan saat dia membahas mengenai kemampuannya. Orang-orang selalu menganggap Elina berhalusinasi setiap kali dia mencoba mengatakan mengenai keistimewaannya, dan tidak jarang juga orang-orang menganggap Elina aneh karena selalu mengatakan dia bisa melihat benang takdir seseorang. Sejak saat itu, Elina memutuskan untuk tidak pernah membahas mengenai kemampuannya pada siapapun. Dia pikir mung
Tadi malam… “Pak, anda harus berhati-hati atau anda akan mati!” “Hey! Kau sudah gila? Kenapa kau bicara seperti itu padanya? Kau menyumpahinya mati?” kata Alvin dengan wajah kesal. Kali ini apa yang dikatakan wanita itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi lagi oleh Alvin. Elina tidak lagi mengatakan hal yang tidak jelas, dia bahkan sampai mengatakan hal yang tidak seharusnya. Kalau aku terus membiarkannya ada di sini, pasti akan terjadi masalah. Elina pasti akan mengatakan hal yang lebih buruk dari ini. Lebih baik aku membawanya pulang sekarang, pikir Alvin yang segera mengangkat tubuh Elina dan membawanya pergi dari sana. “Dia akan mati…” “Diam! Berhentilah bicara seperti itu!” tukas Alvin yang segera membawa Elina menghampiri mobilnya yang terparkir di sana. Alvin lalu membaringkan tubuh Elina di dalam mobil sementara dia menghubungi Corwin, meminta lelaki itu untuk segera datang ke tempatnya berada. Begitu lelaki itu datang dengan menggunakan taksi, Alvin segera
Alvin terdiam sembari memandang jam yang ada di ruang rawatnya. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Elina pamit untuk mengurus biaya administrasi. Sejak saat itu juga, wanita itu sama sekali tidak kembali untuk menemuinya, dan hal ini sungguh membuatnya merasa tidak tenang. Apakah jangan-jangan dia melarikan diri? Sial! Aku harus menghubunginya! Alvin mengambil ponselnya, berniat untuk menelepon Elina dan menanyakan keberadaan wanita itu. Dia ingin tahu alasan kenapa Elina tidak kembali setelah membayar biaya administrasi dan kepindahannya ke ruang rawat khusus. Jika benar wanita itu melarikan diri begitu saja, maka Alvin tidak bisa tinggal diam. Dia harus bisa membuat Elina kembali. Alvin jadi semakin tidak tenang, terlebih setelah dia sadar Elina sama sekali tidak menjawab panggilan teleponnya. Bahkan butuh waktu beberapa kali untuknya hingga Elina mau mengangkat panggilannya. “Kau dimana? Jangan bilang kalau kau mau mencoba kabur dari tanggung jawabmu?” kata Alvin begitu sambunga
“Apakah ada yang ingin kau katakan, sayang?” tanya wanita itu pada anak perempuan yang sejak tadi duduk berhadapan dengannya. Anak itu sejak awal sama sekali tidak bisa berhenti memperhatikannya. “Ternyata dokter juga memiliki benang di jari dokter.” “Benang?” Wanita itu mengerutkan kening, tak lama dia melirik pada perempuan berambut cokelat yang duduk di sampingnya. “Ini sering terjadi, dok. Sejak saat itu, dia jadi sering mengatakan hal yang tidak-tidak. Dia bilang kalau dia melihat benang di jari setiap orang yang dilihatnya,” jelas wanita yang menjadi ibunya. Wanita berjas dokter itu menganggukkan kepalanya menyimak kalimat si Ibu. “Jadi kau melihat benang pada jari dokter?” tanyanya lagi. Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, bisakah kau jelaskan lebih detail mengenai benang yang ada di jari dokter ini? Coba kau sebutkan ciri-ciri benangnya seperti apa.” “Benangnya pendek, warnanya ada dua, bagian bawah benangnya berwarna hitam, sedangkan bagian atasnya
“Bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu pada temannya yang sejak tadi menunggu di sana dengan sabar. Pria yang diajaknya bicara seketika menoleh ke arah datangnya suara. “Dia baik-baik saja. Dokter bilang kondisinya sudah membaik, tapi dia masih harus di rawat inap selama beberapa hari.” “Syukurlah. Lega mendengarnya karena dia baik-baik saja. Omong-omong aku membawakan buah untuknya.” Dariel memberikan sekeranjang buah yang dibelinya saat diperjalanan menuju ke sana. Lewis menaruh keranjang buah itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur yang ditempati Lila. “Sejak kapan dia tidur?” “Sejak dokter memeriksa kondisinya. Tadinya dia menunggumu, tapi kau terlalu lama datang ke sini sampai dia ketiduran.” “Saat di perjalanan kemari tiba-tiba saja terjadi kasus pencurian. Mau tidak mau aku harus menanganinya lebih dulu.” “Pantas saja kau terlambat.” “Oh! Apakah kau sudah makan siang? Karena buru-buru datang ke sini aku jadi sama sekali tidak sempat makan siang. Kalau kau belum ma
“Na, ini dokter Sven. Selanjutnya, kita akan lebih sering bertemu dengannya.” Wanita berambut cokelat itu tersenyum sambil memperkenalkan lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mengenakan jas putih. Pria itu tersenyum sambil membungkuk, tangannya terulur mengusap puncak kepala anak perempuan yang sejak tadi menatapnya. “Hai manis, salam kenal,” sapanya. Tapi belum sempat tangan Sven menyentuh anak itu, dia tiba-tiba saja berteriak histeris sambil berjalan mundur hingga terjatuh di lantai. “Ti-tidak… jangan mendekat. Aku mohon… jangan mendekat… biarkan aku pergi… aku ingin keluar dari sini…” Anak itu berteriak kencang sambil menangis, membuat ibunya yang melihat itu seketika panik dan berusaha untuk menenangkannya. Wanita yang menjadi ibunya itu berjongkok di sampingnya. “A-aku mohon… jangan sakiti aku… aku ingin pulang…” “Na, hey! Sayang, tenanglah. Sayang, dengar, ini mama. Sadarlah. Ini dokter Sven, bukan ‘dia’. Kau tidak perlu takut, dokter Sven tidak akan menyakitimu. Dia aka
Elina membuka kedua matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya ketika membuka mata adalah langit-langit kamar tempat Alvin dirawat. Elina terdiam untuk sesaat sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Tak lama, dia mengalihkan perhatiannya pada hal lain, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kemudian mengecek jam yang muncul di sana. “Ternyata sudah pagi, padahal rasanya aku baru saja memejamkan kedua mataku.” Elina bangkit dan bersandar pada sofa. Lagi-lagi dia terdiam sambil menatap ke sekeliling kamar yang masih dalam keadaan gelap. Sejak semalam, hanya ada lampu tidur dengan cahaya remang-remang yang menerangi kamar mereka. Di tengah berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya, Elina tiba-tiba teringat akan mimpi yang baru saja dia alami. Aku jadi kepikiran tentang mimpi yang aku alami. Ini adalah pertama kalinya aku tidak bermimpi buruk tentang anak perempuan dan pria dewasa itu. Tidak, tunggu… mungkin ini yang kedua kalinya? Kalau diingat-ingat lagi, kemarin