“Argghh…” Anak perempuan itu membuka kedua matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya saat membuka mata adalah sebuah cahaya terang berasal dari lampu yang posisinya tepat di atas kepalanya. Cahaya itu begitu menyilaukan hingga membuatnya kesulitan untuk melihat. Pandangannya kabur, dan untuk sesaat dia kebingungan dengan apa yang terjadi. Aku dimana? Apa yang telah terjadi? Tu-tubuhku…, aku tidak bisa merasakan tubuhku…, kenapa ini? Kenapa tubuhku tidak bisa digerakkan sama sekali?
Berbagai pertanyaan mulai menghampiri pikirannya. Sementara otaknya masih mencoba mencerna apa yang dia alami. Namun tak lama, dia mulai menyadari sesuatu. Tepat ketika pandangannya mulai terlihat jelas, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan mendapati dirinya terbaring di atas sebuah ranjang operasi.
Panik mulai menghampirinya. Jantungnya mulai berpacu dengan begitu cepat, keringat mengucur keluar, dan wajahnya mulai pucat. Apa yang terjadi? Kenapa aku ada disini? Mama? Papa? Dimana kalian?
Perhatian anak itu seketika beralih pada sosok lelaki yang berdiri membelakanginya di tepi ranjang. Lelaki itu mengenakan jubah operasi lengkap dengan penutup kepalanya. Melihat sosoknya entah kenapa semakin membuatnya merasa tidak tenang. Terlebih dia merasakan aura mencekam mengelilingi lelaki itu.
Rasa takut menyeruak ke dalam dirinya dan panik benar-benar sudah menguasai anak itu hingga membuat alat pendeteksi detak jantung yang terpasang pada tubuhnya berbunyi dengan suara yang begitu nyaring. Hal itu membuat perhatian lelaki tadi beralih padanya.
“KYAAAA!!!” Anak perempuan itu berteriak kencang ketika pria itu menoleh dengan tatapan yang begitu menakutkan. Dengan sekuat tenaga, dia berusaha keras menggerakkan anggota tubuhnya sampai akhirnya dia terjatuh dari ranjang.
Anak perempuan itu bergerak merangkak dengan panik, menyeret tubuhnya, menjauh dari lelaki itu. Sialnya sama sekali tidak ada jalan, posisi jatuhnya berada di pojok ruangan, sementara pintu ada di sisi lain ruangan.
Melihatnya yang jatuh, lelaki itu beranjak menghampirinya. Membuat anak perempuan itu semakin panik sampai tubuhnya gemetar hebat. “Ti-tidak! Ja-jangan mendekat…”
Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Anak itu bergerak mundur hingga punggungnya menabrak meja. “A-aku mohon…, jangan mendekat!”
“Kau tidak akan bisa melarikan diri—“
“KYAAA!” Elina membuka kedua matanya. Dia bangun, dan terduduk dengan wajah pucat. Keringat membasahi seluruh tubuh, jantungnya menderu, dan jalan napasnya tidak karuan. Sejenak, Elina terdiam sambil berusaha mengatur napas serta mengumpulkan seluruh kesadarannya.
“I-itu hanya mimpi…,” gumam Elina setelah berhasil mengatur napasnya. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berusaha meyakinkan sekali lagi bahwa apa yang dilihatnya memanglah hanya sebuah mimpi.
Elina baru bisa menghela napas lega begitu dia sadar bahwa dia memang masih berada di dalam kamarnya. Di ruangan yang sama, ranjang yang sama, dan masih tempat yang sama. Tidak ada alat apapun yang berhubungan dengan ruang operasi, dan yang ada hanyalah perabotan rumah miliknya yang tersusun dengan rapi.
“Huft~” Elina menghela napas panjang. Dia terdiam dalam keheningan yang menyelimuti malam. Akhirnya dia bisa benar-benar merasa tenang sekarang.
“Mimpi itu lagi…. Kenapa aku terus mengalami mimpi buruk itu? Kenapa mimpi itu selalu datang dan menghantui tidurku? Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa anak perempuan yang aku lihat dalam mimpiku itu? Kenapa aku terus memimpikannya? Apakah dia ada hubungannya denganku?” Elina bergumam kebingungan.
Sudah beberapa bulan berlalu, dan entah kenapa sejak memutuskan pindah ke apartemennya saat ini, Elina terus mengalami mimpi buruk. Setiap kali dia tertidur, Elina selalu dihampiri mimpi yang membuatnya terbangun tengah malam dengan perasaan tidak karuan. Lalu ketika dia tersadar dari mimpinya, dia akan terdiam dengan berbagai pertanyaan yang bermunculan dibenaknya mengenai isi mimpi itu.
Elina masih tidak mengerti kapan mimpi itu dimulai, dan apa penyebab dia bisa mengalami mimpi itu secara berulang. Padahal ketika dia masih tinggal dengan kedua orangtuanya, Elina sama sekali tidak pernah mengalami mimpi buruk.
“Sshhh…, memikirkan mengenai mimpi itu membuat kepalaku rasanya sakit…”
*
“Kita harus bicara mengenai kesalahan pada pengaturan jadwal perilisan album grup music ini!”
“Maaf? Kesalahan? Memangnya apa yang salah dengan jadwal yang dibuat tim saya, pak?” Elina meraih berkas tersebut lalu mengecek isinya. Dia sungguh merasa kalau timnya sudah bekerja dengan sempurna dan tidak ada kesalahan sama sekali. Tapi mendengar ucapan Bastian sungguh membuatnya terkejut bercampur bingung.
“Kau masih belum sadar juga? Bahkan anggota tim mu yang lain sudah sadar dan mengakui adanya kesalahan pada jadwal yang kalian buat!” tukas Bastian dengan wajah kesal. Elina masih mencoba tenang sambil kembali mengecek berkasnya dengan teliti, dan setelah dia cek lagi, ternyata memang ada beberapa kesalahan pada jadwal yang telah mereka susun.
“Setelah saya cek kembali, ternyata memang ada beberapa kesalahan pada jadwal yang tim saya buat, pak. Saya tidak menyadari hal ini sebelumnya karena saya pikir kami sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang. Tapi ternyata saya salah, dan saya sungguh minta maaf atas kesalahan yang terjadi, pak…. Saya akan perbaiki jadwal ini secepatnya, dan saya juga akan melakukan pengecekan berulang sebelum saya menyerahkan kembali hasil revisi dari jadwal yang tim kami buat,” ujar Elina dengan wajah tenang. Dia tidak menyangka kalau hal ini akan terjadi, padahal pada saat diskusi bersama timnya, dia merasa sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Tapi tanpa diduga ternyata kesalahan ini akan terjadi.
“Kesalahan ini jangan sampai terjadi lagi, terutama dalam proyek sebesar ini. Karena kalau sampai ini terjadi lagi, maka ini akan sangat berpengaruh pada reputasi departemen pemasaran kita dan citra group music ini!”
“Saya paham, pak. Ini adalah kesalahan yang sangat besar dan saya sangat menyesal atas ketidaknyamanan yang terjadi.”
“Kita kehilangan kesempatan berharga untuk memaksimalkan potensi peluncuran album ini. Kita seharusnya memiliki rencana promosi yang matang, dan jadwal yang ketat. Tapi dengan adanya kesalahan ini membuat semua itu berantakan. Saya ingin kau segera mengambil tindakan perbaikan. Kita perlu menyesuaikan kembali jadwal promosi dan saya ingin lebih memfokuskan pada promosi online.”
“Baik, pak. Saya akan segera koordinasikan hal ini dengan tim saya untuk mengatur ulang kembali jadwal dan mengejar promosi online yang lebih intensif seperti yang anda minta. Kami akan bekerja keras untuk meminimalkan dampaknya.”
“Bagus, memang itu yang saya inginkan. Dan tolong pastikan hal ini tidak akan terjadi lagi di masa depan, Elina. Kualitas pekerjaan kita mencerminkan departemen ini dan perusahaan secara keseluruhan. Saya harap kau belajar dari kesalahan ini, dan memastikan proyek-proyek mendatang berjalan lancar!”
*
Waktu berlalu, dan malam semakin larut. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Itu artinya sudah hampir berjam-jam lamanya Elina berada di dalam sana.
Jc bar selalu menjadi pelariannya ketika Elina mengalami stress dengan pekerjaan yang dikerjakannya. Hari ini sepulang kerja, dia langsung pergi ke sana untuk menghilangkan penat. Bersenang-senang ditemani minuman hingga benar-benar mabuk.
Kesalahan yang dibuat timnya sungguh membuat Elina harus bekerja ekstra agar kesalahan itu bisa dituntaskan sebelum waktu perilisannya dimulai, dan itu sungguh membuatnya tertekan karena waktu perilisan album baru dari grup music yang ditanganinya benar-benar sudah mepet.
Elina menyodorkan shot glass dalam genggamannya ke hadapan Jeremy si barista. Meminta lelaki itu untuk memberikannya minuman lagi. Jeremy berdecak dengan wajah gusar, dia paling benci kalau melihat sahabatnya itu sudah mengalami stress dan melampiaskannya dengan mabuk-mabukan seperti saat ini.
“Sudah cukup, Na! Kau sudah mabuk, dan aku tidak akan memberikanmu minuman lagi,” tegasnya yang segera menjauhkan gelas itu dari hadapan Elina.
“Tutup mulutmu, Jer! Jangan banyak bicara, dan berikan aku satu gelas lagi. Aku masih kuat untuk minum. Aku belum mabuk,” balas Elina dengan keadaan setengah sadar. Wanita itu tidak sadar kalau dia benar-benar sudah mabuk.
Brukk!
Elina meringis kesakitan ketika kepalanya tidak sengaja menabrak meja bar dengan cukup keras. Akibat pengaruh alkohol, dia bahkan tidak bisa menegakkan kepalanya dengan benar.
“Kau benar-benar membuatku cemas. Memang sepertinya lebih baik kau pulang!” Jeremy menghela napas panjang. Tak lama kemudian perhatiannya beralih pada sosok lelaki tampan yang tidak sengaja dilihatnya. Jeremy tersenyum simpul saat sebuah ide mendadak muncul di kepalanya.
“Alvin!” Jeremy berteriak menyerukan namanya. Atensi Alvin seketika beralih padanya. Dengan segera Alvin beranjak menghampiri Jeremy ketika lelaki itu melambaikan tangan padanya. Kepergian Alvin membuat beberapa wanita yang duduk bersamanya itu murung.
“Untungnya kau ada di sini. Aku sungguh membutuhkan bantuanmu saat ini, Al. Tolong antarkan dia pulang.” Jeremy melirik Elina yang sudah tidak sadar dengan sekeliling.
“Elina? Dia mabuk?”
“Lebih parah dari itu, dia sudah hampir tidak sadarkan diri karena terlalu banyak minum. Aku cemas karena ini sudah larut, jadi tolong antarkan dia pulang. Lagipula kalian tetangga, kan?”
Alvin menggelengkan kepalanya pelan, dia tidak habis pikir dengan Elina yang bisa-bisanya minum hingga tidak sadarkan diri seperti ini. Alvin kenal betul dengan Elina. Mereka tinggal di apartemen yang sama, dan bahkan unit mereka saling berhadapan satu sama lain. Jadi tidak heran kalau Jeremy mempercayakan Elina untuk pulang bersamanya.
“Baiklah, akan aku antarkan dia pulang.”
*
Alvin menjatuhkan tubuh Elina di trotoar ketika wanita itu terus saja berteriak sambil meronta meminta untuk diturunkan. Elina meringis kesakitan sembari terus meracau tidak jelas memarahi Alvin yang menjatuhkan tubuhnya begitu saja di sana.
Beberapa orang yang melintas keluar masuk dari bar itu seketika menatap ke arah mereka saat Elina terus berteriak pada Alvin. Apa yang dilakukannya membuat Alvin sungguh merasa malu dengan tingkah Elina.
Setelah teriak-teriak tidak jelas, Elina tiba-tiba saja diam sesaat ketika dia tidak sengaja melihat seorang lelaki berkemeja hitam melewati mereka. Perhatian Elina tertuju pada jari tangan lelaki itu. Elina melihat sebuah benang merah pada jari lelaki itu yang nyaris putus.
“Pak, anda harus berhati-hati atau anda akan mati!” teriaknya pada lelaki itu dengan suara nyaring. Pria yang diteriakinya itu melirik pada Elina sekilas sambil menggelengkan kepalanya, mencoba tidak memperdulikan teriakannya.
“Hey! Kau sudah gila? Kenapa kau bicara seperti itu padanya? Kau menyumpahinya mati?” kesal Alvin yang sungguh tidak bisa mentoleransi sikap Elina dalam keadaan mabuk begini. Alvin segera mengangkat tubuh Elina. Dia harus segera membawanya pergi dari sana sebelum wanita itu membuat masalah yang lebih parah.
“Dia akan mati…,” gumam Elina dengan suara pelan.
“Diam! Berhenti bicara seperti itu.”
***
Elina membuka kedua matanya perlahan, menampakkan iris matanya yang berwarna kecokelatan. Untuk sesaat pandangannya kabur, dan butuh beberapa menit untuk penglihatannya kembali normal. Elina beranjak bangun, terduduk di ranjang sambil mengerang memegangi kepalanya yang terasa begitu pening. Ini semua gara-gara dia terlalu banyak minum kemarin malam. Elina terdiam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mengingat-ingat dimana dia berada. Detik berikutnya, dia baru sadar bahwa sekarang dia berada di kamarnya. “Bagaimana aku bisa pulang? Bukankah terakhir kali aku sedang ada di bar?” Berbagai pertanyaan menghampiri. Elina sungguh tidak mengerti kenapa dia bisa berada di kamar, padahal seingatnya dia berada di bar milik Jeremy. Atensi Elina mendadak beralih pada hal lain ketika dia merasa ada sesuatu yang terasa ganjil. Dia melihat pakaian kerja yang kemarin dikenakannya berserakan di lantai, dan bukan hanya itu. Ada beberapa pakaian asing yang juga berserakan di bawah sana.
“MENJAUH DARIKU!” Elina mendorong tubuh Alvin dengan sekuat tenaganya. Alvin terkekeh lalu membenahi posisinya, berdiri masih dalam kondisi telanjang. Elina yang menyadari hal itu spontan kembali menutupi wajahnya dengan tangan. “Baiklah kalau kau memang tidak mau tanggung jawab, biar aku yang tangani. Setidaknya malam ini kau sudah membuat malamku begitu indah. Terima kasih.” Alvin berjalan memunguti semua pakaiannya. Dengan tanpa malu, lelaki itu mengenakan semua pakaiannya di hadapan Elina yang masih mencoba menyembunyikan wajahnya. “Oh ya! Jika kau tidak ingat mengenai apa yang terjadi, semalam Jeremy memintaku mengantarkanmu pulang. Itu alasan kenapa aku bisa ada di sini, tapi seperti yang aku katakan. Apa yang terjadi setelah aku mengantarkanmu, itu salahmu!” “Kau benar-benar berengsek! Kau yang sudah memanfaatkan ketidak sadaranku, dan kau malah menyalahkanku juga! Dasar tidak tahu malu.” “Terserah! Yang jelas aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Kalau kau sudah mengin
Elina sejak kecil memiliki kemampuan untuk melihat benang merah pengikat takdir milik semua orang yang dilihatnya. Elina tidak ingat bagaimana pertama kali kemampuannya itu muncul, namun yang jelas dia tidak pernah memiliki kehidupan yang normal seperti perempuan lain. Dengan kemampuannya itu, Elina selalu bisa melihat takdir seseorang. Menyaksikan bagaimana alur hubungan, dan menyaksikan bagaimana suatu kehidupan dimulai serta berakhir. Selama ini, tidak pernah ada yang tahu mengenai kemampuannya. Termasuk kedua orang tuanya sendiri. Itu karena tidak pernah ada yang percaya dengan apa yang Elina katakan saat dia membahas mengenai kemampuannya. Orang-orang selalu menganggap Elina berhalusinasi setiap kali dia mencoba mengatakan mengenai keistimewaannya, dan tidak jarang juga orang-orang menganggap Elina aneh karena selalu mengatakan dia bisa melihat benang takdir seseorang. Sejak saat itu, Elina memutuskan untuk tidak pernah membahas mengenai kemampuannya pada siapapun. Dia pikir mung
Tadi malam… “Pak, anda harus berhati-hati atau anda akan mati!” “Hey! Kau sudah gila? Kenapa kau bicara seperti itu padanya? Kau menyumpahinya mati?” kata Alvin dengan wajah kesal. Kali ini apa yang dikatakan wanita itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi lagi oleh Alvin. Elina tidak lagi mengatakan hal yang tidak jelas, dia bahkan sampai mengatakan hal yang tidak seharusnya. Kalau aku terus membiarkannya ada di sini, pasti akan terjadi masalah. Elina pasti akan mengatakan hal yang lebih buruk dari ini. Lebih baik aku membawanya pulang sekarang, pikir Alvin yang segera mengangkat tubuh Elina dan membawanya pergi dari sana. “Dia akan mati…” “Diam! Berhentilah bicara seperti itu!” tukas Alvin yang segera membawa Elina menghampiri mobilnya yang terparkir di sana. Alvin lalu membaringkan tubuh Elina di dalam mobil sementara dia menghubungi Corwin, meminta lelaki itu untuk segera datang ke tempatnya berada. Begitu lelaki itu datang dengan menggunakan taksi, Alvin segera
Alvin terdiam sembari memandang jam yang ada di ruang rawatnya. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Elina pamit untuk mengurus biaya administrasi. Sejak saat itu juga, wanita itu sama sekali tidak kembali untuk menemuinya, dan hal ini sungguh membuatnya merasa tidak tenang. Apakah jangan-jangan dia melarikan diri? Sial! Aku harus menghubunginya! Alvin mengambil ponselnya, berniat untuk menelepon Elina dan menanyakan keberadaan wanita itu. Dia ingin tahu alasan kenapa Elina tidak kembali setelah membayar biaya administrasi dan kepindahannya ke ruang rawat khusus. Jika benar wanita itu melarikan diri begitu saja, maka Alvin tidak bisa tinggal diam. Dia harus bisa membuat Elina kembali. Alvin jadi semakin tidak tenang, terlebih setelah dia sadar Elina sama sekali tidak menjawab panggilan teleponnya. Bahkan butuh waktu beberapa kali untuknya hingga Elina mau mengangkat panggilannya. “Kau dimana? Jangan bilang kalau kau mau mencoba kabur dari tanggung jawabmu?” kata Alvin begitu sambunga
“Apakah ada yang ingin kau katakan, sayang?” tanya wanita itu pada anak perempuan yang sejak tadi duduk berhadapan dengannya. Anak itu sejak awal sama sekali tidak bisa berhenti memperhatikannya. “Ternyata dokter juga memiliki benang di jari dokter.” “Benang?” Wanita itu mengerutkan kening, tak lama dia melirik pada perempuan berambut cokelat yang duduk di sampingnya. “Ini sering terjadi, dok. Sejak saat itu, dia jadi sering mengatakan hal yang tidak-tidak. Dia bilang kalau dia melihat benang di jari setiap orang yang dilihatnya,” jelas wanita yang menjadi ibunya. Wanita berjas dokter itu menganggukkan kepalanya menyimak kalimat si Ibu. “Jadi kau melihat benang pada jari dokter?” tanyanya lagi. Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, bisakah kau jelaskan lebih detail mengenai benang yang ada di jari dokter ini? Coba kau sebutkan ciri-ciri benangnya seperti apa.” “Benangnya pendek, warnanya ada dua, bagian bawah benangnya berwarna hitam, sedangkan bagian atasnya
“Bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu pada temannya yang sejak tadi menunggu di sana dengan sabar. Pria yang diajaknya bicara seketika menoleh ke arah datangnya suara. “Dia baik-baik saja. Dokter bilang kondisinya sudah membaik, tapi dia masih harus di rawat inap selama beberapa hari.” “Syukurlah. Lega mendengarnya karena dia baik-baik saja. Omong-omong aku membawakan buah untuknya.” Dariel memberikan sekeranjang buah yang dibelinya saat diperjalanan menuju ke sana. Lewis menaruh keranjang buah itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur yang ditempati Lila. “Sejak kapan dia tidur?” “Sejak dokter memeriksa kondisinya. Tadinya dia menunggumu, tapi kau terlalu lama datang ke sini sampai dia ketiduran.” “Saat di perjalanan kemari tiba-tiba saja terjadi kasus pencurian. Mau tidak mau aku harus menanganinya lebih dulu.” “Pantas saja kau terlambat.” “Oh! Apakah kau sudah makan siang? Karena buru-buru datang ke sini aku jadi sama sekali tidak sempat makan siang. Kalau kau belum ma
“Na, ini dokter Sven. Selanjutnya, kita akan lebih sering bertemu dengannya.” Wanita berambut cokelat itu tersenyum sambil memperkenalkan lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mengenakan jas putih. Pria itu tersenyum sambil membungkuk, tangannya terulur mengusap puncak kepala anak perempuan yang sejak tadi menatapnya. “Hai manis, salam kenal,” sapanya. Tapi belum sempat tangan Sven menyentuh anak itu, dia tiba-tiba saja berteriak histeris sambil berjalan mundur hingga terjatuh di lantai. “Ti-tidak… jangan mendekat. Aku mohon… jangan mendekat… biarkan aku pergi… aku ingin keluar dari sini…” Anak itu berteriak kencang sambil menangis, membuat ibunya yang melihat itu seketika panik dan berusaha untuk menenangkannya. Wanita yang menjadi ibunya itu berjongkok di sampingnya. “A-aku mohon… jangan sakiti aku… aku ingin pulang…” “Na, hey! Sayang, tenanglah. Sayang, dengar, ini mama. Sadarlah. Ini dokter Sven, bukan ‘dia’. Kau tidak perlu takut, dokter Sven tidak akan menyakitimu. Dia aka