Elina membuka kedua matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya ketika membuka mata adalah langit-langit kamar tempat Alvin dirawat. Elina terdiam untuk sesaat sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Tak lama, dia mengalihkan perhatiannya pada hal lain, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kemudian mengecek jam yang muncul di sana. “Ternyata sudah pagi, padahal rasanya aku baru saja memejamkan kedua mataku.” Elina bangkit dan bersandar pada sofa. Lagi-lagi dia terdiam sambil menatap ke sekeliling kamar yang masih dalam keadaan gelap. Sejak semalam, hanya ada lampu tidur dengan cahaya remang-remang yang menerangi kamar mereka. Di tengah berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya, Elina tiba-tiba teringat akan mimpi yang baru saja dia alami. Aku jadi kepikiran tentang mimpi yang aku alami. Ini adalah pertama kalinya aku tidak bermimpi buruk tentang anak perempuan dan pria dewasa itu. Tidak, tunggu… mungkin ini yang kedua kalinya? Kalau diingat-ingat lagi, kemarin
“Ka-kau sudah bangun?” “Memangnya ucapanku kurang jelas? Aku sudah membuka mata, lihat? Atau kau berharap aku masih tidur? Kalau begitu, kau harus menemaniku tidur seperti malam itu.” Alvin tersenyum sambil mengeratkan pelukannya hingga membuat Elina semakin sesak akibat pelukan kuat dari tangan berototnya. Sementara itu, kedua matanya mulai terpejam. Elina yang sadar akan hal itu semakin panik, dia segera memberontak dan meminta Alvin untuk melepaskan tubuhnya. “Al, lepaskan aku. Aku tidak memintamu untuk tidur lagi.” “Aku tidak mau. Tidur sambil memelukmu begini lebih nyaman. Coba saja kalau semalam kau menuruti ucapanku untuk tidur bersamaku, aku kan bisa memelukmu, jadi aku bisa tidur lebih nyenyak,” gumam Alvin. Lelaki itu sengaja mengeratkan pelukannya agar Elina tidak bisa memberontak. “Kau benar-benar pria mesum. Lepaskan aku! Biarkan aku pergi.” Elina mulai kesal. Terlebih ketika dia mulai sadar bahwa jantungnya berdebar kencang. Sial. Dia benar-benar selalu mengambil kes
“Memangnya kau tidak memiliki niat untuk memberikan ciuman selamat pagi atau ciuman perpisahan pada suamimu ini?” Alvin tersenyum menggodanya. “Kau sungguh banyak maunya, ya?” komentar Elina sambil memutar matanya; kesal. “Haha…, aku hanya bercanda. Jangan marah seperti itu. Pokoknya jangan sampai lupa membuatkan makanan kesukaanku.” Alvin melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan Elina pergi. Wanita itu lantas beranjak meninggalkan Alvin sendirian di dalam kamarnya. Sepeninggalan Elina, Alvin terdiam sambil memandang ke arah pintu keluar. Senyuman terukir di wajah tampannya. Dia sungguh senang karena Elina mau membuatkan makanan kesukaannya. “Pasti hasil masakannya akan sangat enak.” Alvin bergumam pelan. Dia bisa membayangkan bagaimana hasil masakan Elina nanti. Pasti nanti masakannya akan terasa sangat enak, bahkan Alvin merasa hasil masakan Elina semalam lebih enak daripada hasil masakan koki pribadi di rumah keluarganya. Walau sangat senang, Alvin tetap merasa penasaran d
Elina duduk sendirian di sudut kafetaria, menatap layar ponselnya sambil menunggu Ivana. Ketika pintu terbuka, Elina mengangkat kepala dan melihat Ivana memasuki ruangan dengan wajah muram dan mata yang bengkak. "Hey, Ivana," sapa Elina sambil berdiri. Wanita itu berjalan menghampirinya dengan langkah gontai. "Ada apa? Kenapa kau terlihat begitu sedih?" Ivana tertunduk sambil menggelengkan kepala, mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. Elina meraih kursi untuknya, "Duduklah. Ceritakan apa yang terjadi." Ivana terdiam cukup lama, dan Elina dengan sabar menantinya untuk bicara. “Dengar, ceritakan apa yang terjadi padamu. Agar aku bisa membantumu. Kalau kau memiliki masalah, setidaknya kau tidak menanggung semuanya sendiri. Aku ini adalah sahabatmu Ana, jadi aku akan membantu semampuku. Tapi jika kau belum bersedia untuk bicara, aku akan menunggu dengan sabar sampai kau siap bercerita mengenai masalah—“ Elina belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Ucapannya terpotong saat Ivana s
Elina memandang Ivana dengan tekad di matanya, "Jangan khawatir, Ivana. Aku akan bicara dengan Andy dan memberinya pelajaran yang pantas. Aku tidak akan membiarkan lelaki brengsek seperti dia merusak hidup sahabatku." “Sekali lagi, terima kasih, Elina. Aku benar-benar beruntung memiliki teman seperti kamu." Ivana tersenyum lemah. Setelah memberi dukungan pada Ivana, Elina lantas mengajaknya untuk makan siang bersama. Mereka menghabiskan waktu makan siang bersama di kafetaria sambil Elina sesekali bercanda untuk menghibur sahabatnya agar tidak sedih lagi. Setelah selesai makan siang, Elina mengajak Ivana untuk keluar kantor sebentar guna menghirup udara luar. Masih ada waktu sebelum jam makan siang berakhir. "Mari kita fokus pada dirimu sendiri sekarang. Berhenti memikirkan Andy, dan mari nikmati hidup yang berharga ini." Ivana mengangguk setuju, mencoba melepaskan beban yang ada di benaknya. "Kalau di pikir-pikir, ucapanmu ada benarnya juga. Rasanya sudah lama aku tidak berfokus pad
Seperti yang sudah di janjikan, sepulang kerja Elina dan Ivana akhirnya pergi berkunjung ke salah satu kedai es krim kesukaan mereka. Mereka menikmati suasana di sana setelah seharian bekerja. Di meja dekat jendela, mereka menyeruput es krim yang telah dipesan, sesekali tertawa dan bercanda. Ketika sedang asyik mengobrol, dan bercanda ringan. Elina, sambil menyantap es krim cokelatnya, tiba-tiba teringat kejadian ketika mereka baru saja kembali ke kantor setelah jam makan siang. Elina jadi teringat akan benang takdir milik Ivana yang terhubung dengan George. Karena merasa ini adalah momen yang tepat untuk bertanya pada Ivana, Elina lantas memberanikan diri mengubah topik pembicaraan ke arah lain. Elina berdehem sebelum akhirnya berkata, "Ivana, bagaimana menurutmu tentang George?" "George?” Ivana mengerutkan kening begitu pertanyaan itu terlontar dari mulut sahabatnya. Sambil menyendok es krim dan melahapnya, dia menjawab, “Dia pria yang baik, ramah, perhatian, dan sangat pengertian.
"Semoga Ivana bisa membuka hatinya lagi," gumam Elina pelan. Waktu berlalu, dan hari semakin gelap. Usai menikmati es krim dengan Ivana di kedai tempat favorit mereka, Elina lantas memutuskan untuk pulang. Mereka akhirnya berpisah di kedai tersebut. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Elina terus teringat akan kejadian yang dialami oleh Ivana. Elina terus membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Ivana begitu mengetahui Andy yang sangat dicintainya ternyata memilih untuk meninggalkannya hanya demi wanita lain. Ivana pasti sangat terpukul dengan semua yang dialaminya. Suasana langit jingga dan dinginnya udara sore itu menciptakan latar belakang misterius dalam benak Elina. Entah kenapa secara tiba-tiba dia jadi kepikiran momen setelah mereka kembali ke kantor saat jam makan siang usai. Pikiran Elina tiba-tiba saja melayang, dia jadi kepikiran tentang benang takdir Ivana yang terhubung dengan George. Pada awalnya dia sama sekali tidak sadar dengan semua itu. Makanya ketika mendengar pen
“Brengsek!” Elina mengepalkan kedua tangannya ketika dia melihat Andy, pria yang sudah menyakiti hati sahabatnya sedang duduk di salah satu cafe yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Melihat sosoknya seketika membuat amarah dalam dirinya langsung memuncak. Elina merasakan kekesalan yang begitu mendalam melihat pemandangan itu. Terlebih lelaki itu tidak seorang diri di sana. Dia duduk bersama kekasih barunya, dan Andy terlihat begitu bahagia. Elina tidak habis pikir bagaimana pria itu bisa begitu bahagia sementara Ivana masih berjuang untuk melewati rasa sakit setelah putus dengannya? Melihat mereka bersama, membuat Elina semakin merasa kesal. Elina tidak bisa tinggal diam. Dengan langkah mantap, dia memutuskan untuk menghampiri kafe tempat Andy berada bersama kekasih barunya. Dalam hati, Elina bertekad memberinya pelajaran karena telah menyakiti Ivana. Dia mengetahui bahwa ini saat yang tepat untuk memberikan pelajaran pada Andy. Andy tampak tidak menyadari keberadaan Elina