Share

Bab 2.

Penulis: Trinagi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-28 20:16:33

Hati ini terus bertanya-tanya, siapa lelaki disebelahku ini sehingga begitu beraninya menyuruh polisi untuk memeriksa urine supir tadi? 

 

"Siap," ucap tiga polisi tersebut kompak.

 

Setelah pria berhidung mancung itu menyerahkan pak supir kepada polisi, kami melanjutkan perjalanan. Nampaknya pengemudi sudah diganti oleh orang lain, mungkin supir cadangan.

 

Tidak sampai dua jam akhirnya kami sampai ke terminal. Aku segera turun dari bus, sementara diluar masih gelap. Azan subuh belum juga berkumandang.

 

Kulirik jam yang melingkar dipergelangan tangan ini. Masih jam empat pagi. Terlalu pagi untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Bisa mengancam keselamatan jika aku memaksa pulang.

Kuputuskan istirahat dulu di warung kopi depan terminal. Sambil menunggu matahari bersinar.

 

"Kamu tidak di jemput?" tanya lelaki berambut cepak itu seraya menggeret kopernya keluar. Nampaknya lelaki ini bagai siluman. Biarpun dihindari tetap juga mendekat. Kayak nyamuk sedang mencari mangsa.

 

"Belum." jawabku singkat. Siapa yang mau menjemput jam segini? Mas Arkan katanya ada keperluan mendadak sehingga harus keluar kota. Sementara ayahku, beliau bekerja diluar kota dan pulang seminggu sekali.

 

"Perlu aku antar?" tawarnya. Terlalu manis kedengarannya, tapi apa bisa dipastikan dia itu orang baik-baik? Bisa jadi 'kan, dia berpura-pura baik padahal ada yang diincar. Entah laptopku atau handphone. Bisa jadi dia itu penjahat atau bisa jadi dia itu salah satu sindikat perdagangan manusia.

 

"Tidak perlu. Saya nunggu suami, katanya masih dalam perjalanan. Mungkin sebentar lagi dia datang. Permisi saya mau ke warung kopi!" Tunjukku ke arah warung kopi yang masih tutup itu hanya diterangi lampu yang remang-remang.  Udara pagi sangat dingin, menusuk ke tulang. 

 

"Gak bahaya kah? Kamu wanita takutnya ada perampokan atau perkosaan," bebernya membuat aku bergidik ngeri.

 

"Aku sudah bersuami tidak akan ada pria yang mau memperkosa!"

 

Kemudian, aku berjalan tergesa-gesa ke warung kopi tanpa menoleh sedikitpun kearahnya.

 

"Siapa bilang? Lelaki, kalau sudah dikuasai hawa nafsu, nenek-nenek yang sudah keriput aja, tetap nampak cantik dimata mereka!" jawabnya.

 

Dia berusaha berjalan sejajar. Aku semakin mempercepat langkah kaki ini. Takutnya dia pula pelaku pemerkosaan itu. Nauzubillah.

 

"Tenang sajalah. Aku ini atlet karate! Tidak ada yang berani!" ujarku lagi. Diri ini berusaha menenangkan debaran jantung didalam sana.

 

Sengaja mengatakan sebagai atlet karate biar dia takut dan tidak memandang remeh diri ini. Padahal latihan saja jarang-jarang. Hanya sampai sabuk putih, itupun melawan anak kecil saja aku pasti kalah.

 

Walau begitu, aku tidak patah arang. Harus berbangga diri. Mentang-mentang perempuan dikiranya aku lemah tidak bisa berbuat apa-apa.

 

"Yang benar saja? Ah aku gak percaya!" jawabnya merendahkan aku.

 

"Tidak masalah kamu mau percaya atau tidak." Jawabku sombong. Orang seperti Sidiq ini memang pantas diperlakukan begitu. Suka merendahkan orang lain.

 

"Ya udah. Aku temani sampai kamu dijemput! Suami kamu yang jemput kan?" tanyanya dan menawarkan diri untuk menemani sambil mendudukkan bokongnya dikursi.

 

Kami duduk berhadapan, hanya dihalangi meja. Diri ini malah lebih takut sama dia.

 

Menawarkan diri untuk melindungi wanita dari aksi bejat lelaki hidung belang, padahal dia sendiri penjahat kelamin.

 

"Tidak perlu. Kamu pulang saja. Aku nunggu suamiku disini. Kamu tidak usah dekat-dekat deh. Entar suamiku cemburu!"

 

Aku tidak peduli dia mau tersinggung atau tidak. Habisnya diusir secara halus pun tidak mengerti.

 

Dia masih tetap duduk dikursinya tidak ada pergerakan sama sekali. Membuat hati ini semakin jengkel saja.

 

"Ya udah. Aku saja yang pergi dari sini!" cicitku.

 

Dengan langkah cepat aku pergi meninggalkan lelaki yang sangat menyebalkan itu.

 

Kaki ini tidak tahu mau kemana, yang penting menjauh dari lelaki bertubuh jangkung itu.

 

Tapi baru saja hendak menyeberang, tiba-tiba tanganku ditarik kuat bersamaan dengan orang yang lari kencang meninggalkan aku yang masih bengong melihat kejadian yang menimpa diri ini secara mendadak begitu.

 

"Jam ... jam ... jambret!"

 

"Jambreet! Jambret!"

 

Teriakku berulang-ulang saat menyadari tas jinjingku sudah tidak berada lagi di tangan.

 

Semua surat-surat penting dan juga ponsel aku raib dibawa beserta tas tadi.

 

Sontak orang yang berada di sekitar kaget mendengarkan teriakanku.

 

Beberapa dari mereka ada yang ikut mengejar penjambret itu, sambil berteriak lantang.

 

"Jambrettt ... jambret.""

 

Ada beberapa orang ikut menenangkan aku yang masih syok dengan memberikan minum air putih.

 

Jantungku seakan berhenti berdetak. Napasku ngos-ngosan, bagaikan baru saja dikejar-kejar debt colector.

 

Kedua lututku benar-benar lemas dan gemetar, seolah tidak mampu menyanggah lagi bobot tubuh ini. Aku terduduk lemas dilantai tanpa menghiraukan orang yang menatap iba.

 

"Yang sabar ya, Bu. Semoga jambretnya segera tertangkap," ujar seorang ibu muda yang sedang menggendong bayi seraya mengelus lembut pundak ini.

 

"Kasih minum," Ibu paruh baya mengambil botol minum mineral dan memberikan padaku.

 

Tanpa mengucapkan sepatah katapun aku meraih botol yang diberikan ibu tadi dan meneguknya hingga tandas.

 

"Ini tas mu!" Ditengah kekalutanku, tiba-tiba terdengar suara seseorang dan menyodorkan sebuah tas yang sangat mirip dengan tas ku.

 

Eh ini bukan hanya mirip tetapi ini memang kepunyaanku.

 

Diri ini sangat bersyukur akhirnya tas itu kembali juga kedalam genggamanku.

 

Siapa yang tidak takut, didalamnya berisi uang dan juga surat-surat penting serta ponsel yang sangat aku butuhkan. Tanpa ponsel aku tidak bisa menghubungi mas Arkan atau keluargaku. Tak terasa air mataku mengalir karena bahagia.

 

Aku mendongak, ingin melihat siapa malaikat yang telah menolongku saat ini.

 

"Aku tidak menyangka kamu bisa kalah dan lemah begini. Kamu kan jago karate! Kenapa tidak kamu libas saja penjambret tadi?" tanyanya dengan bernada sindiran seakan dia tahu kalau aku telah membohonginya.

 

"Maaf, Siddik maksud saya pak Siddik. Terima kasih banyak atas bantuannya!"

 

Aku jadi malu sendiri karena telah berbohong di depan Sidik, seolah-olah aku tidak membutuhkan siapapun.

 

Padahal dia juga yang telah menyelamatkan aku dari penjambret tadi.

 

"Tidak usah berterima kasih. Aku hanya kebetulan lewat saja tadi dan melihat seorang atlet karate sedang menangis meraung-raung karena kehilangan dompet. Kupikir dia wanita mandiri. Ternyata wanita cengeng!" Sindirannya begitu mengena dan aku jadi malu sendiri. Tadi sempat berlaku sombong seakan tidak butuh bantuan orang lain.

 

"Lain kali hati-hati! Kejahatan tidak memandang tempat dan waktu. Walaupun kamu atlet karate tetapi kamu perlu waspada juga!"

 

Aku mengangguk merespon ucapannya.

 

"Oke, tugasku sudah selesai! Penjambret tersebut sudah ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Sekarang aku harus segera pergi, takut suami kamu cemburu karena telah menolong istrinya dari penjahat!" sindirnya lagi melirik dengan pandangan yang susah aku artikan.

 

Tugas? Maksudnya tugas dia meringkus penjahat? Memangnya dia itu siapa? Berarti betul, dia seorang aparat keamanan yang sedang menyamar? Tadi dia menangkap supir yang ugal-ugalan. Sekarang jambret.

 

Siapa dia sebenarnya ya? Ah ... peduli amat. Yang penting aku sudah selamat dan tidak lagi berjumpa lelaki menyebalkan seperti Sidik tadi.

 

Tapi namanya lucu juga! Sidik ... Sidik jari?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 49

    "Maafkan Mayra tidak bisa melayani Mas seperti seorang istri pada umumnya!" ujarku tergugu tatkala melihat mas Sidik mencuci baju sendiri.Biasanya selain ada ibuku dan ibu mertua, dirumah kami juga juga membayar tukang cuci.. Tapi hari ini izin libur karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggal. Sementara ibuku dan ibu mertua sudah pulang."Gak apa-apa, Sayang!" Mas Sidik masuk ke kamar dan merebahkan diri disisiku dan meraih tangan ini kemudian diletakkan dipipinya."Kasian Mas. Gara-gara Mayra jadi begini!" Aku berbalik arah tidur menatap kearah suamiku."Menurut Mas, tidak ada yang perlu dikasihani, sudah biasa dalam berumah tangga kita saling membantu, May. Kalau Mas sakit siapa yang bantu? Pasti istri kan?" tanyanya dengan suara lemah lembut seraya mengelus pucuk kepalaku. Mas Satria meraih pundak ini dan meletakkan didadanya."Sayang, Mas tidak pernah merasa Kamu repotkan. Jadi jangan pernah merasa bersalah, ya?" Mas Satria mengecup pucuk kepalaku, lama. Tuhan ... terim

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 48

    "Mas, Mayra pendarahan!" aduku pada mas Siddik yang sedang berbaring ditempat tidur. Tadi aku juga ikut berbaring disebelahnya, tapi aku bangun hendak ke kamar mandi. Tiba-tiba dikejutkan tatkala melihat darah banyak bercecetan di lantai."Apa?" Mas Siddik tersentak dan langsung bangun dari pembaringannya. "May, jangan banyak gerak dulu!" ujar mas Siddiq panik seraya membawa tubuh ini ke ranjang untuk tidur. Walaupun aku berjalan pelan tapi darah masih menetes juga."Tidur aja ya? Begini saja, nyamankan?" Aku hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Mas Siddik. Lelakiku mengambil bantal dan menyangga kaki ini. Mungkin untuk menghentikan pendarahan.Pandangan mata sudah mulai kabur, aku sudah mulai hoyong. Tatapanku juga berkunang-kunang dan mutar. Tuhan ... selamatkan aku dan bayiku."Mas kerumah dan-ki dulu!" pamitnya seraya berlari keluar rumah. "Bu, tolong lihat istri saya sebentar. Istri Saya pendarahan!" teriak mas Siddik terdengar sampai ke telingaku."Iya, ya, Om. Saya

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 47

    "Dek, sini!" Mas Siddik menepuk sofa disebelahnya untuk aku duduki.Aku melangkahkan kaki menuju sofa dimana mas Siddik duduk saat ini. Kulihat suamiku tidak seperti biasanya. Entah apa gerangan yang membuat suamiku bersedih hati."Mas kenapa agak lain hari ini? Mas sedang ada masalah?" tanyaku ragu-ragu. Biasanya kalau pulang dinas mas Siddik selalu tersenyum bahkan sering bercanda. Ada saja bahan yang sehingga membuat aku tertawa. Dia juga suka sekali meledek perutku yang semakin membuncit ini. Katanya kayak badut. "Nampaknya Mas sedang bersedih?" Aku kembali bertanya."Hmmm ... Adek ingat Nasir?" Mas Siddik mengusap sudut matanya. Aku tahu dia hendak menangis tetapi mungkin dia malu jika dihadapanku."Nasir yang mana? Yang membantu Mas keluar dari markas kelompok bersenjata itu, ya?" tanyaku dan mas Siddik mengangguk lemah."Kenapa dengan om Nasir, Mas?" Aku membaca ada sesuatu yang tidak mengenakkan telah terjadi pada pria berdarah Aceh tersebut."Tadi malam dia ditembak oleh ora

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 46

    "Loh siapa ini ndusel-ndusel kayak anak kucing?" kelakarku saat melihat Mayra bangun tidur langsung memeluk tubuh ini. Dia kelihatan sangat manja. Semakin hari tingkah Mayra semakin membingungkan. Tadi malam katanya aku ini bau sehingga membuat dia muntah-muntah. Sekarang malah kayak anak kangguru menempel sama induknya. Tidak bisa dilepas. Entah apa maunya."Mas wangi banget. Adek jadi kepingin ciumin terus!" ujarnya seraya mengendus-endus leher dan ketiakku. Betul-betul membuat aku tidak mengerti tingkah ibu hamil yang satu ini."Wangi dari mana? Mandi aja belum apalagi sikat gigi. Nafas Mas masih bau naga!" ujarku hendak beranjak dari tidur tetapi ditahan oleh Mayra."Jangan pergi. Adek masih kangen, candu mencium aroma tubuh Mas. Peluk!" ujarnya dengan nada manja. Aku yang masih kaget melihatnya terpaksa juga memeluknya."Gak mual dekat-dekat dengan Mas? Katanya Mas bau?" tanyaku keheranan."Gak bau kok. Tadi malam bau banget, sekarang malah wangi!" ujarnya dan Mayra masih ndusel-

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 45

    "Mas Siddik!" Aku berteriak histeris tatkala melihat pria yang selama ini aku nanti-nantikan sudah berada dihadapanku."Mayra, Mas pulang, Sayang!" ujar mas Siddik dengan suara gemetar.Kenapa mataku melihat sosok mas Siddik sedang mendekati diri ini? Apakah itu betukan suamiku atau hanya ilusiku saja?Nampaknya aku sangat merindukan pria itu sehingga bayangan dia terus saja menghantui pikiranku."Mas?"Aku merasa semua ini hanya mimpi atau hanya halusinasiku saja? Tidak mungkin mas Siddik yang telah gugur hidup kembali. Disini saja, kami sedang mengirim doa untuknya, masak tiba-tiba dia hadir diacara tahlilan dia sendiri? Sangat tidak lucu."Hai, aku suami kamu!" Pria itu mengibaskan tangannya didepan kedua mataku."Kamu suamiku? Mas, Adek tidak sedang bermimpi, kan?" Aku mendekatinya. Pria itu memakai baju compang camping bagaikan seorang pengemis."Kamu sedang tidak bermimpi, Sayang! Nih pegang!" Mas Siddik meraih tanganmu untuk menyentuh pipinya. Aku masih ragu juga, bisa jadi ka

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 44

    "Banyak-banyak berdoa, May. Siapa tau mas Siddik masih hidup tapi tidak tau jalan pulang. Bisa jadi dia tersesat dalam hutan, kan?" Jenny berusaha menghiburku selama ini tidak ada satupun di rumah ini ataupun semua pihak yang mengerti isi hatiku kecuali Kak Jeni."Aku juga berpikir begitu kak bisa jadi 'kan, mas Siddik di itu masih hidup dan dia tidak tahu jalan pulang!"Perasaanku sebagai istrinya, mengatakan jika imamku itu masih hidup."Kita berdoa saja May. Nanti malam kita baca Yasin bersama, memohon kepada Allah semoga suami kamu ditemukan dalam keadaan hidup atau mati." Kak Jenny tidak bosan-bosannya memberikan aku semangat. Sehingga dengan kehadirannya sedikit membuatku terhibur. Walau kadang disaat sedang sendirian aku kembali menangis mengingat suamiku yang baru beberapa bulan kami hidup bersama dan sudah direnggut kebahagiaan oleh takdir.***Sementara itu, sersan Siddik dan praka Nasir akhirnya sampai juga di tepi jalan. Mereka mengendap-ngendap karena banyaknya lalu lala

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 43

    Hari ini malam kedua acara kirim doa dirumahku. Para ibu-ibu udah mulai berdatangan untuk membantu memasak segala keperluan nanti malam."Kasian om Siddik ya. Padahal dia prajurit berprestasi. Tidak akan mungkin kalah jika melawan pemberontak." bisik bu Saidi pelan tapi masih bisa aku dengar."Mungkin istri dan anaknya ini bikin hidup dia sial terus ya! Gak bisa dipake!" Anita melirik sinis kearahku. Jika bukan sedang dalam situasi berkabung aku sudah merobek mulutnya hingga hancur lebur. Bila perlu mulut dia kupindahkan sekalian kebawah, disekitar bokong aja. Lebih terhormat anus dibandingkan mulutnya. Wanita berhati iblis memang begitu ya, tidak memiliki hati nurani sedikitpun."Iya. Dia wanita pembawa sial!" ujar bu Saidi seakan mengaskan perkataan adiknya."Hust ... bu Saidi gak boleh ngomong begitu! Mereka sedang dalam keadaan berkabung, jangan ditambah lagi dengan kata-kata yang membuat bu Siddik semakin terpuruk!" tegur bu Danu yang berdiri disebelah bu Saidi. Mereka berdua mem

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 42

    "May, makan dulu. Dari kemarin kamu belum makan, loh!" Ibu menawari makan siang karena sejak kemarin pagi perut ini belum terisi satu sendok pun makanan.Padahal ibu tadi membeli nasi padang kesukaanku tapi diri ini belum berselera untuk menyentuhnya. Saat ini, yang aku inginkan hanyalah kehadiran mas Siddik. Hanya dia yang bisa membuat aku bahagia. Hanya dia yang bisa membuat aku berselera makan."Mayra tunggu mas Siddik pulang aja, Bu!" Aku yakin suamiku akan pulang dalam waktu dekat ini. Aku yakin pria itu tidak akan meninggalkan aku sendiri di dunia ini. Apalagi sebentar lagi akan hadir buah cinta kami berdua meramaikan rumah mungil kami."Gak boleh gitu, May. Kamu harus makan walaupun sedikit. Kasian bayi dalam kandunganmu!" nasehat ibuku. Beliau datang kemari setelah mendapat berita hilangnya mas Siddik dari ibu mertua. Mereka semua begitu percaya jika mas Siddik sudah tidak ada. Tapi aku tidak semudah itu mempercayainya. Sebelum jenazah mas Siddik ditemukan aku tetap mengangg

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 41

    Pov authorEmpat hari kemudian situasi keamanan sudah kondusif. Beberapa wilayah sudah tidak masuk dalam status siaga lagi. Atasan mereka memerintahkan untuk mencari keberadaan Siddik.Tim regu yang pernah menjadikan Siddik sebagai komandan regunya menawarkan diri untuk mencari keberadaan pria yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu.Mereka harus tetap waspada karena para musuh tidak akan mundur sebelum diberikan kemerdekaan untuk enuh oleh pemerintah."Aku kok gak yakin sersan Siddik masih ada!" tanya salah satu rekan pada kopda Romi."Kenapa kamu bicara seperti itu? Kita harus optimis!" jawab sersan Ridwan dsn menjatuhkan bobot tubuhnya diatas tanah.Mereka sudah mencari keberadaan sersan Siddik kesana kemati tetapi mereke tidak menemukan juga."Hei, bukankan ini punya Danru?" prada Sucipto mendapatkan kalung milik sersan Siddik tergeletak diatas tanah. Kopral Romi kaget dan langsung menghampiri prada Sucipto yang memegang dogtag atas nama serka Siddik."Iya. Ini punya Danr

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status