"Hei ... kamu jangan kurang ajar ya?"
Kudorong kuat kepala lelaki yang bersandar dibahu ini. Risih rasanya tubuh ini terlalu mepet dengan lelaki yang duduk disebelahku. Bisa-bisanya dalam perjalanan, dia tidur begitu nyenyak. Jangan-jangan dia pura-pura tidur. Biasalah. Lagu lama.Tidak ingin mendapatkan pelecehan, aku meraih tas dan menutup bagian dada dan menyilangkan kedua tangan disana.Kesal juga sama petugas loket saat aku meminta sebangku dengan perempuan tetapi mereka tidak menggubrisnya.Begini jadinya, sebangku dengan lelaki berotak mesum. Pasti dia sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Mereka memandang rendah dan hina terhadap wanita. Seakan dia bukan lahir dari rahim seorang perempuan.Dia pikir perempuan itu murahan dan akan diam saja jika diperlakukan rendah seperti ini. Tidak. Wanita itu tidak boleh lemah, bila perlu musnahkan saja lelaki tidak berguna seperti ini. Biar tahu rasa."Maaf, saya mengantuk sekali!" ujarnya seraya menangkupkan kedua tangan di dadanya."Kalau mengantuk, tidurnya di rumah. Bukan di bahu saya!" Aku memutar bola mata malas melihat sandiwara lelaki berotak kotor tersebut."Maaf!" Lelaki itu berusaha menggeserkan tubuhnya."Tolong hargai wanita. Bagaimana jika ibu atau adik perempuan Anda diperlakukan seperti itu!" bentakku sehingga semua mata tertuju kearah ke arah kami."Maaf saya tidak sengaja, Mbak. Kan sudah saya bilang, saya gak sengaja!" ucapnya tersenyum sehingga menampakkan gigi putih berjejer rapi."Alasan!" gumamku dengan memelankan suara tapi aku yakin dia mendengarnya."Terserah kamu mau menuduh apa." Lelaki berhidung mancung itu terdiam seribu bahasa. Mungkin dia malu karena sudah berbuat hal memalukan. Memang pantas dia dipermalukan seperti tadi biar tidak ada lagi korban-korban berikutnya."Ngomong-ngomong mau kemana, Mbak!" tanyanya seraya memperbaiki duduk lebih tegak dan menjauh dari tubuh ini. Ternyata dia belum kapok juga. Tebal pula mukanya."Mau pulang," jawabku ketus."Pulang kemana?" Malah nanya lagi. Tidak tahu dia, lawan bicaranya sudah ingin menelan dia hidup-hidup."Ke rumah lah. Emang mau kemana lagi," jawabku jutek."Iyalah saya tau. Maksud saya, rumah Mbak dimana? Gak mungkin kan, kamu tinggal di goa?" tanyanya bagaikan sedang menginterogasi tersangka saja."Kalau saya tinggal di goa, kenapa? Masalah buat kamu?" hardikku geram."Kok galak amat sih! Jadi perempuan itu, gak boleh terlalu galak, Dek. Nanti suaminya tidak betah di rumah." Dih ... mau muntah rasanya dia memanggilku dengan sebutan dek. Sok akrab. Semenjak kapan aku menjadi adeknya. Sok kecakepan lagi. Eh ... tunggu tunggu tunggu. Emang cakep juga sih. Tapi aku tidak mau mengakuinya. Entar dia jadi besar kepala."Apa urusan kamu dengan suami saya?""Mbak, santai. Jangan marah-marah saja! Ntar kena darah tinggi. Kasihan masih muda!"Lelaki ganteng tersebut tersenyum begitu manisnya. Hah? Ganteng? Tidak tidak. Aku tidak boleh tergoda dengan lelaki berwajah tampan tapi berotak jorok itu. Biasanya mereka mencari mangsanya dengan bermodalkan wajah ganteng. Dan aku tidak boleh terkecoh sedikitpun."Oh jadi maksud Anda, wanita tidak boleh marah-marah, biarpun harga dirinya sudah diinjak-injak? Saya tanya, apakah Anda akan diam saja, jika adik Anda dilecehkan oleh lelaki hidung belang macam Anda?"Enak saja kalau berbicara. Jadi wanita diam saja jika ada lelaki yang melecehkan. Tidak untuk aku. Sebagai seorang wanita harus mempertahankan harga dirinya walaupun harus mengorbankan nyawa sekalipun."Bukan begitu maksud saya!" Aku tidak memedulikan lagi dia mau berkata apa.Jujur ... aku takut duduk berdekatan dengannya. Bisa jadi 'kan, lelaki itu salah satu komplotan perdagangan manusia yang sedang mencari mangsa.Mereka tidak pernah menghargai wanita. Seakan-akan wanita ini objek pelampiasan nafsu bejatnya."Saya bukan lelaki hidung belang! Nama saya Sidik," lelaki berjaket hitam itu mengulurkan tangan menyebutkan namanya. Namun tidak aku sambut."Markonah!" ucapku dengan berbohong seraya memalingkan wajah ke luar jendela. Coba seandainya mas Arkan mengantarkan aku tadi, mungkin aku tidak akan berjumpa dengan lelaki menyebalkan seperti saat ini."Hmmm ... nama yang bagus!" ucapnya seraya manggut-manggut kepala dan satu tangannya memegang dagu. Seperti profesor yang sedang berfikir keras. Namun, aku tidak tahu apa yang sedang dia fikirkan."Terima kasih," jawabku singkat."Sudah menikah?"Pertanyaan lelaki itu membuat aku tidak nyaman. Kenapa dia bertanya aku sudah menikah atau belum. Apa dia tidak bisa membedakan wanita sudah menikah atau masih gadis? Apakah aku nampak sudah sangat tua sehingga dia bertanya seperti itu?"Udah," jawabku berbohong lagi.Mungkin dengan mengatakan sudah menikah dia tidak akan terlalu ramah lagi seperti saat ini."Oh ..." jawabnya."Kenapa tidak diantar sama suami. Kalau saya punya istri kelak, tidak akan saya biarkan dia kemana-mana sendirian. Kasian. Apalagi malam-malam begini. Syukur-syukur bertemu orang baik seperti saya, coba kalau teman sebangku kamu lelaki berotak mesum. Pasti kamu sudah digeranyanginya,"Dih ... dia mengaku lelaki baik? Padahal barusan dia sengaja tidur dipundakku. Apa itu namanya lelaki baik-baik? Tidak sadar diri."Gak sempat. Lagi banyak kerjaan," jawabku ketus.Ternyata jawabanku tidak juga membuatnya diam. Lelaki yang bernama Sidik bercerita lagi. Tentang keluarganya dan masa depannya.Dia juga bercerita tentang kekasih yang telah mengkhianati disaat dia sedang melaksanakan pendidikan. Aku tidak tahu dia mengikuti pendidikan apa dan juga tidak mau tahu makanya tidak ada niat untuk menanyakan. Memangnya gue pikirin?Malam, semakin larut. Dalam bus ini rasanya cuma kami berdua saja yang masih terjaga.Hanya kami berdua yang masih bersuara, sementara yang lainnya sudah terlelap larut dalam mimpinya.Ciiit.Suara decitan rem mobil secara mendadak, membuat penumpang jadi berteriak histeris."Bang, hati-hati! Jangan ngebut! Ingat keselamatan penumpang! Kalau ngantuk istirahat saja dulu!" teriak lelaki disebelahku. Dia menegur pak supir yang ugal-ugalan mengemudi bus tanpa memikirkan kenyamanan penumpang."Kalau pelan-pelan, tidak akan sampai," jawab sopir membuat Sidik kesal."Sampai kemana, Bang. Rumah sakit apa kuburan." Lagi-lagi mereka berdua beradu argumen."Kalau kamu keberatan, turun saja. Satu orang penumpang berkurang tidak masalah bagi kami. Aku akan mengembalikan uangmu dua kali lipat," cicit supir itu dengan sombongnya."Kurang ajar dia." Tak berapa lama Sidik bangun dan menghampiri supir dan menghentikan laju bus tersebut."Bang, jangan dilayani. Dia sedang dalam pengaruh narkoba," ujar lelaki yang duduk disebelah supir tadi, menambah suasana semakin gaduh."Apa?" tanyanya dengan mata melotot."Gila ini supir. Gara-gara dia sendiri bisa hilang nyawa puluhan orang!" Maki Sidik lagi."Berhenti di Polsek," perintahnya."Kamu mau turun di polsek. Tidak ada kantor polsek dekat sini. Jauh!" bentak pak Sopir."Jauh moyangmu! Cepat berhenti!" perintahnya lagi."Bagaimana mengenderai bus umum sementara dia sendiri konsumsi narkoba. Apa tidak tau kalau berkendara itu membutuhkan pikiran yang sehat dan cerdas karena harus mengontrol keselamatan!" ujar Sidik dengan wajah memerah menahan amarah."Siapa yang mengkonsumsi narkoba. Jangan main tuduh saja kau!""Udah, aku bilang berhenti disini. Dan kamu ikut saya ke kantor polisi," perintah Sidik. Dia bergerak cepat memborgol kedua tangan pak supir. Entah dari mana lelaki berhidung mancung itu mendapatkan borgol tersebut."Eh apa-apaan ini," ujar supir bus berusaha melepaskan diri dari cengkeraman lelaki berambut cepak tersebut."Anda telah membahayakan keselamatan penumpang. Segera ikut saya!" Setelah bus berhenti, dia menarik tubuh pengemudi bus itu dengan kuat sehingga dia bangun dari bangku supir. Kemudian Sidik menarik kasar supir tadi hingga keluar dari dalam bus. Ternyata diluar sudah ada tiga orang pria berpakaian seragam coklat menunggunya."Cek urine," perintahnya pada tiga polisi tadi.Memangnya Sidik ini siapa? Berani-beraninya memerintahkan polisi tadi. Apa jangan-jangan dia polisi juga? Atau tentara? Tapi kalau dia polisi atau tentara, kenapa dia cerewet sekali ya? Biasanya mereka itu, sedikit berbicara tetapi banyak bertindak."Maafkan Mayra tidak bisa melayani Mas seperti seorang istri pada umumnya!" ujarku tergugu tatkala melihat mas Sidik mencuci baju sendiri.Biasanya selain ada ibuku dan ibu mertua, dirumah kami juga juga membayar tukang cuci.. Tapi hari ini izin libur karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggal. Sementara ibuku dan ibu mertua sudah pulang."Gak apa-apa, Sayang!" Mas Sidik masuk ke kamar dan merebahkan diri disisiku dan meraih tangan ini kemudian diletakkan dipipinya."Kasian Mas. Gara-gara Mayra jadi begini!" Aku berbalik arah tidur menatap kearah suamiku."Menurut Mas, tidak ada yang perlu dikasihani, sudah biasa dalam berumah tangga kita saling membantu, May. Kalau Mas sakit siapa yang bantu? Pasti istri kan?" tanyanya dengan suara lemah lembut seraya mengelus pucuk kepalaku. Mas Satria meraih pundak ini dan meletakkan didadanya."Sayang, Mas tidak pernah merasa Kamu repotkan. Jadi jangan pernah merasa bersalah, ya?" Mas Satria mengecup pucuk kepalaku, lama. Tuhan ... terim
"Mas, Mayra pendarahan!" aduku pada mas Siddik yang sedang berbaring ditempat tidur. Tadi aku juga ikut berbaring disebelahnya, tapi aku bangun hendak ke kamar mandi. Tiba-tiba dikejutkan tatkala melihat darah banyak bercecetan di lantai."Apa?" Mas Siddik tersentak dan langsung bangun dari pembaringannya. "May, jangan banyak gerak dulu!" ujar mas Siddiq panik seraya membawa tubuh ini ke ranjang untuk tidur. Walaupun aku berjalan pelan tapi darah masih menetes juga."Tidur aja ya? Begini saja, nyamankan?" Aku hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Mas Siddik. Lelakiku mengambil bantal dan menyangga kaki ini. Mungkin untuk menghentikan pendarahan.Pandangan mata sudah mulai kabur, aku sudah mulai hoyong. Tatapanku juga berkunang-kunang dan mutar. Tuhan ... selamatkan aku dan bayiku."Mas kerumah dan-ki dulu!" pamitnya seraya berlari keluar rumah. "Bu, tolong lihat istri saya sebentar. Istri Saya pendarahan!" teriak mas Siddik terdengar sampai ke telingaku."Iya, ya, Om. Saya
"Dek, sini!" Mas Siddik menepuk sofa disebelahnya untuk aku duduki.Aku melangkahkan kaki menuju sofa dimana mas Siddik duduk saat ini. Kulihat suamiku tidak seperti biasanya. Entah apa gerangan yang membuat suamiku bersedih hati."Mas kenapa agak lain hari ini? Mas sedang ada masalah?" tanyaku ragu-ragu. Biasanya kalau pulang dinas mas Siddik selalu tersenyum bahkan sering bercanda. Ada saja bahan yang sehingga membuat aku tertawa. Dia juga suka sekali meledek perutku yang semakin membuncit ini. Katanya kayak badut. "Nampaknya Mas sedang bersedih?" Aku kembali bertanya."Hmmm ... Adek ingat Nasir?" Mas Siddik mengusap sudut matanya. Aku tahu dia hendak menangis tetapi mungkin dia malu jika dihadapanku."Nasir yang mana? Yang membantu Mas keluar dari markas kelompok bersenjata itu, ya?" tanyaku dan mas Siddik mengangguk lemah."Kenapa dengan om Nasir, Mas?" Aku membaca ada sesuatu yang tidak mengenakkan telah terjadi pada pria berdarah Aceh tersebut."Tadi malam dia ditembak oleh ora
"Loh siapa ini ndusel-ndusel kayak anak kucing?" kelakarku saat melihat Mayra bangun tidur langsung memeluk tubuh ini. Dia kelihatan sangat manja. Semakin hari tingkah Mayra semakin membingungkan. Tadi malam katanya aku ini bau sehingga membuat dia muntah-muntah. Sekarang malah kayak anak kangguru menempel sama induknya. Tidak bisa dilepas. Entah apa maunya."Mas wangi banget. Adek jadi kepingin ciumin terus!" ujarnya seraya mengendus-endus leher dan ketiakku. Betul-betul membuat aku tidak mengerti tingkah ibu hamil yang satu ini."Wangi dari mana? Mandi aja belum apalagi sikat gigi. Nafas Mas masih bau naga!" ujarku hendak beranjak dari tidur tetapi ditahan oleh Mayra."Jangan pergi. Adek masih kangen, candu mencium aroma tubuh Mas. Peluk!" ujarnya dengan nada manja. Aku yang masih kaget melihatnya terpaksa juga memeluknya."Gak mual dekat-dekat dengan Mas? Katanya Mas bau?" tanyaku keheranan."Gak bau kok. Tadi malam bau banget, sekarang malah wangi!" ujarnya dan Mayra masih ndusel-
"Mas Siddik!" Aku berteriak histeris tatkala melihat pria yang selama ini aku nanti-nantikan sudah berada dihadapanku."Mayra, Mas pulang, Sayang!" ujar mas Siddik dengan suara gemetar.Kenapa mataku melihat sosok mas Siddik sedang mendekati diri ini? Apakah itu betukan suamiku atau hanya ilusiku saja?Nampaknya aku sangat merindukan pria itu sehingga bayangan dia terus saja menghantui pikiranku."Mas?"Aku merasa semua ini hanya mimpi atau hanya halusinasiku saja? Tidak mungkin mas Siddik yang telah gugur hidup kembali. Disini saja, kami sedang mengirim doa untuknya, masak tiba-tiba dia hadir diacara tahlilan dia sendiri? Sangat tidak lucu."Hai, aku suami kamu!" Pria itu mengibaskan tangannya didepan kedua mataku."Kamu suamiku? Mas, Adek tidak sedang bermimpi, kan?" Aku mendekatinya. Pria itu memakai baju compang camping bagaikan seorang pengemis."Kamu sedang tidak bermimpi, Sayang! Nih pegang!" Mas Siddik meraih tanganmu untuk menyentuh pipinya. Aku masih ragu juga, bisa jadi ka
"Banyak-banyak berdoa, May. Siapa tau mas Siddik masih hidup tapi tidak tau jalan pulang. Bisa jadi dia tersesat dalam hutan, kan?" Jenny berusaha menghiburku selama ini tidak ada satupun di rumah ini ataupun semua pihak yang mengerti isi hatiku kecuali Kak Jeni."Aku juga berpikir begitu kak bisa jadi 'kan, mas Siddik di itu masih hidup dan dia tidak tahu jalan pulang!"Perasaanku sebagai istrinya, mengatakan jika imamku itu masih hidup."Kita berdoa saja May. Nanti malam kita baca Yasin bersama, memohon kepada Allah semoga suami kamu ditemukan dalam keadaan hidup atau mati." Kak Jenny tidak bosan-bosannya memberikan aku semangat. Sehingga dengan kehadirannya sedikit membuatku terhibur. Walau kadang disaat sedang sendirian aku kembali menangis mengingat suamiku yang baru beberapa bulan kami hidup bersama dan sudah direnggut kebahagiaan oleh takdir.***Sementara itu, sersan Siddik dan praka Nasir akhirnya sampai juga di tepi jalan. Mereka mengendap-ngendap karena banyaknya lalu lala
Hari ini malam kedua acara kirim doa dirumahku. Para ibu-ibu udah mulai berdatangan untuk membantu memasak segala keperluan nanti malam."Kasian om Siddik ya. Padahal dia prajurit berprestasi. Tidak akan mungkin kalah jika melawan pemberontak." bisik bu Saidi pelan tapi masih bisa aku dengar."Mungkin istri dan anaknya ini bikin hidup dia sial terus ya! Gak bisa dipake!" Anita melirik sinis kearahku. Jika bukan sedang dalam situasi berkabung aku sudah merobek mulutnya hingga hancur lebur. Bila perlu mulut dia kupindahkan sekalian kebawah, disekitar bokong aja. Lebih terhormat anus dibandingkan mulutnya. Wanita berhati iblis memang begitu ya, tidak memiliki hati nurani sedikitpun."Iya. Dia wanita pembawa sial!" ujar bu Saidi seakan mengaskan perkataan adiknya."Hust ... bu Saidi gak boleh ngomong begitu! Mereka sedang dalam keadaan berkabung, jangan ditambah lagi dengan kata-kata yang membuat bu Siddik semakin terpuruk!" tegur bu Danu yang berdiri disebelah bu Saidi. Mereka berdua mem
"May, makan dulu. Dari kemarin kamu belum makan, loh!" Ibu menawari makan siang karena sejak kemarin pagi perut ini belum terisi satu sendok pun makanan.Padahal ibu tadi membeli nasi padang kesukaanku tapi diri ini belum berselera untuk menyentuhnya. Saat ini, yang aku inginkan hanyalah kehadiran mas Siddik. Hanya dia yang bisa membuat aku bahagia. Hanya dia yang bisa membuat aku berselera makan."Mayra tunggu mas Siddik pulang aja, Bu!" Aku yakin suamiku akan pulang dalam waktu dekat ini. Aku yakin pria itu tidak akan meninggalkan aku sendiri di dunia ini. Apalagi sebentar lagi akan hadir buah cinta kami berdua meramaikan rumah mungil kami."Gak boleh gitu, May. Kamu harus makan walaupun sedikit. Kasian bayi dalam kandunganmu!" nasehat ibuku. Beliau datang kemari setelah mendapat berita hilangnya mas Siddik dari ibu mertua. Mereka semua begitu percaya jika mas Siddik sudah tidak ada. Tapi aku tidak semudah itu mempercayainya. Sebelum jenazah mas Siddik ditemukan aku tetap mengangg
Pov authorEmpat hari kemudian situasi keamanan sudah kondusif. Beberapa wilayah sudah tidak masuk dalam status siaga lagi. Atasan mereka memerintahkan untuk mencari keberadaan Siddik.Tim regu yang pernah menjadikan Siddik sebagai komandan regunya menawarkan diri untuk mencari keberadaan pria yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu.Mereka harus tetap waspada karena para musuh tidak akan mundur sebelum diberikan kemerdekaan untuk enuh oleh pemerintah."Aku kok gak yakin sersan Siddik masih ada!" tanya salah satu rekan pada kopda Romi."Kenapa kamu bicara seperti itu? Kita harus optimis!" jawab sersan Ridwan dsn menjatuhkan bobot tubuhnya diatas tanah.Mereka sudah mencari keberadaan sersan Siddik kesana kemati tetapi mereke tidak menemukan juga."Hei, bukankan ini punya Danru?" prada Sucipto mendapatkan kalung milik sersan Siddik tergeletak diatas tanah. Kopral Romi kaget dan langsung menghampiri prada Sucipto yang memegang dogtag atas nama serka Siddik."Iya. Ini punya Danr