Pesta telah usai. Begitu pula senyum yang sempat menghiasi wajah Geral telah menghilang. Kini, ia berada di presidential suite bersama wanita yang secara hukum telah menjadi istrinya.
Rosaline atau yang kerap disapa Rosa berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya yang masih berbalut gaun pengantin. Dia adalah seorang model sekaligus selebriti papan atas. Hidupnya bergelimang kemewahan dan sorotan kamera.
Meski dibesarkan dalam keluarga kaya raya—pemilik sebuah perusahaan elektronik ternama—Rosa ingin menjalani hidup sesuai keinginannya sendiri. Melakukan apa yang ia suka, termasuk tidak ingin dikekang dalam ikatan sebuah pernikahan. Namun, ia akhirnya menerima perjodohan keluarganya demi satu tujuan: menepis rumor yang menudingnya sebagai wanita simpanan seorang sutradara terkenal yang telah beristri.
“Hari ini melelahkan. Aku mau istirahat. Sampai bertemu besok,” kata Geral, berlalu menuju sebuah pintu lain di kamar.
“Setidaknya bantu aku melepaskan gaun merepotkan ini,” dengus Rosa.
Geral menoleh sejenak, lalu meringis, “Ingat, aku hanya bersedia menjadi suamimu di depan orang. Bukan di saat berdua seperti ini. Jadi urus saja sendiri.”
Tidak ingin mendengar suara perempuan itu lagi, Geral menarik gagang pintu yang menghubungkan ke suite lain. Setelah mengunci pintu, ia segera mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, menekan sebuah nama yang membuatnya gelisah sejak tadi. Suara operator otomatis menyambutnya, membuat rasa cemasnya makin menjadi-jadi.
Dia menggeram pelan sebelum kembali menempelkan ponsel ke telinga, menghubungi nomor lain.
“Apa kau bersama Yunda?” sergah Geral begitu mendengar suara Wira di seberang.
“Tidak. Dia pulang duluan tadi.”
“Seharusnya kau menemaninya.” Geral mendesah frustrasi.
“Mauku juga begitu, tapi dia bilang ingin sendiri. Dan, aku bisa mengerti.”
Geral menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke dinding. Dadanya terasa sesak oleh rasa bersalah.
“Aku butuh bantuanmu,” ucapnya lirih.
****
Semilir angin menyapu tepian sungai, membawa aroma air dan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Di kejauhan cahaya kota berpendar, memantul samar di permukaan air yang tenang. Sebuah jembatan besar menggantung megah di atasnya, dilintasi kendaraan yang lalu-lalang. Dunia tetap berjalan, tidak peduli ada jiwa yang sedang runtuh di tepian.
Yunda duduk termenung di bangku beton, masih mengenakan gaun off-shoulder berwarna champagne yang menonjolkan leher jenjang dan tulang selangkanya yang menegang menahan dingin. Jemarinya menggenggam leher botol kaca yang terbuka. Sesekali ia menenggaknya, memberikan sensasi terbakar di tenggorokan. Rasanya pahit, cukup membuat kepalanya sedikit ringan. Namun sayang, tidak cukup untuk melupakan.
Malam ini terlalu pekat. Tidak ada yang bisa mengusirnya, bahkan bintang pun enggan muncul di langit. Mata Yunda sudah sembap dan perih, tapi rasanya ia masih terus ingin menangis.
Langkah kaki terdengar dari kejauhan. Awalnya pelan, lalu mendekat perlahan. Yunda enggan menoleh. Mungkin hanya pengunjung lain yang datang menikmati malam atau pelari yang kebetulan melewati jalur itu.
Namun, langkah itu berhenti tepat di sampingnya.
“Yunda…”
Suara itu…
Yunda menengadah. Seorang lelaki berdiri di sana, mengenakan jaket dan topi hitam. Setengah wajahnya bersembunyi di balik masker gelap, tapi Yunda terlalu mengenal sinar mata itu.
Dia memalingkan wajah, “Kau seharusnya ada di kamar hotelmu. Bersama istrimu.”
Tak ada balasan hingga ia merasakan jaket disampirkan ke bahunya. Hangat. Samar-samar, tercium aroma kayu cendana bercampur jeruk bergamot dari jaket itu.
Geral duduk di sampingnya. “Aku sampai mencarimu ke rooftop kantor, ternyata di sini.”
Yunda tak berniat menyahut, seperti halnya Geral yang tak mengindahkan ucapannya. Hening merambat cepat di antara mereka, membiarkan kepiluan tumbuh dan mengeras dalam diam.
“Apa aku harus berhenti?” Suara Geral terdengar dalam.
Yunda menoleh. Mata mereka bertemu. Tatapan Geral berkaca-kaca, tak berkedip seolah ingin menyampaikan lebih dari yang bisa diucapkan. Mereka sudah sejauh ini, berkorban begitu banyak. Meski hatinya menjerit ingin menyerah, Yunda tidak ingin menjadi penghalang bagi Geral untuk mewujudkan impian.
Inilah jalan yang ia pilih, dan ia akan menanggungnya.
Segaris senyum terukir di wajahnya. Dia menggeleng pelan, “Maafkan aku sudah seperti ini. Aku janji, mulai besok kau tidak akan melihatku bersedih lagi.”
“Jangan.” Suara Geral menggetar. “Aku tidak mau kau bersedih di belakangku. Panggil aku kapan pun kau butuh. Dan… katakan jika aku benar-benar harus berhenti. Aku akan melakukannya.”
Keheningan kembali menyelimuti. Tatapan Geral makin dalam menembus manis Yunda. Sebelah tangannya kemudian menangkup pipi wanita itu dengan hangat.
“Aku tidak peduli kalau harus kehilangan segalanya, asalkan bukan kamu.”
Kalimat itu menghunjam tepat ke dada Yunda, menggetarkan setiap sisi rapuh dalam dirinya. Dia ingin percaya bahwa suatu hari nanti, cinta mereka tidak perlu disembunyikan dari dunia.
Perlahan, Geral mendekat dan mengecup lembut bibirnya. Yunda memejamkan mata, menyambut kecupan itu dan membiarkannya berubah menjadi lumatan demi lumatan yang manis di antara suara angin yang berbisik lembut.
Dalam hati, Yunda berjanji pada dirinya sendiri. Dia akan bertahan. Selama atau sesingkat apa pun badai yang menerpa, ia akan tetap di sana. Di sisi Geral.
Yunda sudah terbiasa memulai harinya sebelum matahari sepenuhnya terbit. Setiap pukul lima, matanya akan terbuka dengan sendirinya, bahkan sebelum alarm ponselnya berbunyi.Hidupnya berjalan dalam pola yang nyaris sama setiap hari: bangun, mandi, menyeduh kopi hitam tanpa gula, lalu merias diri. Di sela rutinitas itu, ada satu hal yang tak pernah ia lewatkan, yaitu mengirim pesan singkat kepada kepala pelayan di rumah Geral untuk menyiapkan pakaian dan aksesori apa saja yang akan dikenakan lelaki itu.Namun, pagi ini berbeda. Dia belum melakukannya. Ada keraguan yang memenuhi benaknya. Geral telah menjadi suami orang. Bagaimana jika istrinya telah mengambil alih tugas itu? Bagaimana jika hari ini Geral datang ke kantor dengan setelan yang sama sekali tidak mengikuti arahannya?Yunda tidak ingin menelan pahitnya kekecewaan. Tapi semua prasangka itu sekejap sirna kala Geral menghubunginya.“Kau baik-baik saja?” Suara Geral terdengar cemas di seberang.“Ya, ada apa?”“Kau tidak mungkin k
Geral baru saja melangkahkan kaki ke dalam kamar ketika sebuah bantal melayang tepat ke wajahnya. Tidak sakit, tapi cukup mengejutkan. Tidak pernah ada manusia yang seberani ini padanya.“Aku sebenarnya ingin melemparmu dengan vas bunga,” ucap Rosa dengan nada sinis.Geral menarik napas panjang, “Karena kau sudah kurang ajar, aku tidak akan minta maaf.”“Aku tidak butuh permintaan maaf darimu!” bentak Rosa, berdiri tegak dengan tangan di pinggang. “Dan asal kau tahu, kaulah yang lebih kurang ajar! Meninggalkanku sendirian di hotel hanya beberapa jam setelah pesta, lalu mengurungku di sini bersama orangmu yang menyebalkan. Kau juga mengabaikan telpon dan pesanku, Brengsek!”Geral memilih diam, enggan membuang energi meladeni perempuan yang—dalam pandangannya—lebih mirip nenek sihir daripada seorang artis papan atas.“Baiklah,” ucap Geral akhirnya. “Kau mau terus mengomel di sini atau ikut pulang denganku?”Rosa mendengus. Dia mencopot kacamata hitam yang bertengger di kepalanya, lalu m
Semua orang mengenalnya, Ayunda Anindya Kusuma. Gadis peraih beasiswa penuh yang tak hanya memikat lewat prestasi, tapi juga parasnya yang tenang sekaligus teduh. Sejak awal semester, namanya melambung di antara para mahasiswa baru di kampus bergengsi itu.Tidak terhitung berapa banyak laki-laki yang berusaha menarik perhatiannya. Mulai dari cara yang paling sederhana hingga paling mencolok. Geral termasuk salah satunya. Seorang lelaki tinggi yang lumayan tampan—setidaknya, itu kesan pertama Yunda padanya.Hari itu, langit sedang tidak bersahabat. Awan kelabu menggantung sejak siang dan akhirnya menumpahkan hujan deras menjelang sore. Lorong-lorong gedung fakultas dipenuhi mahasiswa yang berteduh meski sebagian akhirnya nekat menerobos hujan.Yunda berdiri memeluk buku-bukunya, menyesal telah mengabaikan nasihat teman sekamarnya untuk membawa payung. Kini, ia hanya bisa menunggu dengan gelisah karena sejam lagi ia harus masuk kerja paruh waktu.“Sedang menunggu langit berubah pikiran?
Mobil terus melaju seiring bertambahnya kerutan di kening Yunda. Malam makin larut, dan ia mulai sadar ini bukan jalan menuju apartemennya.“Kita mau ke mana?” tanyanya pelan, melirik lelaki di sampingnya.Geral menyunggingkan senyum, menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Coba tebak.”Yunda mengalihkan pandang ke luar jendela. Jalanan ini tak asing baginya. Jalur yang biasa ia lewati setidaknya satu-dua kali dalam sebulan.“Ini jalan ke bandara, Geral.”Lelaki itu kembali tersenyum, kali ini tanpa berkata apa-apa. Yunda memilih diam sembari menanti ke mana lelaki itu hendak membawanya. Dan benar saja, mobil berhenti di area parkir bandara.Geral segera turun, berlari kecil ke sisi kiri mobil, lalu membukakan pintu untuknya. Yunda melangkah turun diiringi sekelebat ragu sekaligus bingung. Terlebih saat melihat Wira berdiri tidak jauh dari sana—masih mengenakan setelan jas biru tua dari pesta tadi. Lelaki itu menghampiri mereka sambil menyeret dua buah koper abu-abu.“Selamat
Pesta telah usai. Begitu pula senyum yang sempat menghiasi wajah Geral telah menghilang. Kini, ia berada di presidential suite bersama wanita yang secara hukum telah menjadi istrinya.Rosaline atau yang kerap disapa Rosa berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya yang masih berbalut gaun pengantin. Dia adalah seorang model sekaligus selebriti papan atas. Hidupnya bergelimang kemewahan dan sorotan kamera.Meski dibesarkan dalam keluarga kaya raya—pemilik sebuah perusahaan elektronik ternama—Rosa ingin menjalani hidup sesuai keinginannya sendiri. Melakukan apa yang ia suka, termasuk tidak ingin dikekang dalam ikatan sebuah pernikahan. Namun, ia akhirnya menerima perjodohan keluarganya demi satu tujuan: menepis rumor yang menudingnya sebagai wanita simpanan seorang sutradara terkenal yang telah beristri.“Hari ini melelahkan. Aku mau istirahat. Sampai bertemu besok,” kata Geral, berlalu menuju sebuah pintu lain di kamar.“Setidaknya bantu aku melepaskan gaun merepotkan ini,”
“Aku akan menikah.”Kalimat itu meluncur dari bibir Geral, menyusup seperti racun ke kerongkongan Yunda. Pahit dan membekukan. Bibirnya kelu. Pandangannya kosong, menatap nanar ke luar jendela besar yang membingkai kemilau kota di malam hari.“Jadi kau sudah memutuskan?” tanyanya dengan suara parau.Geral menggumam pelan, mengeratkan pelukannya. Dada bidangnya menempel di kulit punggung Yunda. Terasa hangat, tapi tak cukup mampu mengusir dingin yang menyelimuti hati perempuan itu.“Aku tidak punya pilihan, Sayang. Kau tahu betapa pentingnya Grand Aurora bagiku.”Jadi, Yunda tidak sepenting itu?Namun, ia memilih diam. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi selama itu, Geral tidak pernah benar-benar berani mengakui siapa Yunda dalam hidupnya. Bahkan pada keluarga besarnya, ia tidak mampu memperkenalkan Yunda sebagai perempuan yang ia cintai, yang ingin ia bahagiakan sepenuh hati.Di mata orang, Yunda tidak lebih dari sekadar sekretaris yang senantiasa membantu Geral melaksanakan