Mobil terus melaju seiring bertambahnya kerutan di kening Yunda. Malam makin larut, dan ia mulai sadar ini bukan jalan menuju apartemennya.
“Kita mau ke mana?” tanyanya pelan, melirik lelaki di sampingnya.
Geral menyunggingkan senyum, menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Coba tebak.”
Yunda mengalihkan pandang ke luar jendela. Jalanan ini tak asing baginya. Jalur yang biasa ia lewati setidaknya satu-dua kali dalam sebulan.
“Ini jalan ke bandara, Geral.”
Lelaki itu kembali tersenyum, kali ini tanpa berkata apa-apa. Yunda memilih diam sembari menanti ke mana lelaki itu hendak membawanya. Dan benar saja, mobil berhenti di area parkir bandara.
Geral segera turun, berlari kecil ke sisi kiri mobil, lalu membukakan pintu untuknya. Yunda melangkah turun diiringi sekelebat ragu sekaligus bingung. Terlebih saat melihat Wira berdiri tidak jauh dari sana—masih mengenakan setelan jas biru tua dari pesta tadi. Lelaki itu menghampiri mereka sambil menyeret dua buah koper abu-abu.
“Selamat bersenang-senang,” ujar Wira, menyerahkan dua paspor pada Geral. Masing-masing diselipi selembar tiket pesawat.
“Thanks, Bro.” Geral menepuk pelan lengan Wira.
“My pleasure.”
Tanpa menunggu, Yunda merebut kedua paspor itu dari tangan Geral. Dahinya berkerut saat memeriksanya.
“Maladewa?” tanyanya dengan nada terkejut. “Apa maksudnya ini? Kenapa kita tiba-tiba mau ke sana?”
Tatapan Geral sejenak berpindah ke Wira. Sekilas, sorot matanya tampak nakal.
“Aku ingin menghabiskan bulan madu denganmu.”
Yunda ternganga, “Kau sudah gila? Bagaimana dengan istrimu?”
Geral menarik napas, menangkup wajah Yunda dengan kedua tangannya. “Dengarkan aku, Sayang. Kita akan pergi berdua. Menikmati waktu bersama. Hanya kau dan aku. Jangan cemaskan apa pun, apalagi memikirkan orang lain. Fokus saja padaku, okay?”
Yunda bergeming, merasakan kehangatan menjalar dari telapak tangan Geral ke kulit pipinya. Semuanya terlalu mendadak dan… terlalu berisiko. Geral baru saja menikah pagi ini dengan seorang publik figur. Bagaimana jika mereka ketahuan? Itu bisa jadi skandal besar.
Namun di sisi lain, ia tidak bisa menampik bahagia yang tiba-tiba menerjang dadanya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bepergian berdua dengan kekasihnya. Biasanya hanya perjalanan dinas yang terkadang ditengahi Wira atau staf lain.
Sekali lagi, Yunda mencoba percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mungkin ini juga cara Geral menebus rasa bersalah karena menikahi wanita lain. Dan, Yunda ingin menghargai usahanya.
Senyum pun mengembang di wajahnya. Dia mengangguk pelan dengan pipi yang merona.
****
Kabin pesawat terasa begitu tenang. Cahaya lampu meredup lembut, menciptakan nuansa keemasan yang hangat. Kursi mereka berada di sisi jendela, terpisah dari penumpang lain dengan sekat elegan yang memberikan privasi sempurna.
Pesawat telah mengudara selama beberapa jam. Setelah makan malam mewah berupa steik wagyu dan tart lemon, mereka merebahkan kursi masing-masing hingga membentuk tempat tidur berdampingan. Yunda telah berganti pakaian yang lebih nyaman—sweter putih dan celana hitam berbahan jin. Namun, entah mengapa, matanya sama sekali tidak bisa terpejam.
Geral menarik selimut bulu angsa hingga menutupi tubuh Yunda.
“Nyaman?” tanyanya lembut.
Yunda mengangguk dengan senyuman kecil. Tubuhnya mungkin rileks, tapi pikirannya masih terus berputar. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
“Kau bilang apa pada istrimu?” tanyanya akhirnya.
Sekilas, wajah Geral terlihat tidak senang. “Namanya Rosa. Aku tidak suka kau menyebutnya seperti itu saat kita sedang berdua.”
“Baiklah, maafkan aku. Jadi, kau bilang apa padanya?”
“Tidak ada. Aku di kamar yang berbeda dan pergi begitu saja.”
Yunda menarik napas dalam, berusaha menahan desah yang nyaris meluncur. “Kalau besok pagi dia mencarimu, bagaimana? Berita tentang pernikahan kalian sudah tersebar di mana-mana meskipun identitasmu dirahasiakan. Tapi bagaimana kalau ada paparazi yang memotretnya meninggalkan hotel sendirian?”
“Sayang,” Geral menatapnya penuh kesabaran, “jangan berpikir sejauh itu. Aku tidak bodoh. Semua sudah kuatur. Besok pagi Wira akan membawanya ke Paris, dan aku akan menyusul dua hari lagi. Setelah itu, kami akan pulang bersama seolah baru saja kembali dari bulan madu.”
Yunda memandangi wajah Geral di bawah temaram lampu kabin. Kecemasannya ternyata tak beralasan. Dia lupa Geral adalah sosok yang sangat berhati-hati dan selalu memperhitungkan setiap detail keputusannya. Itulah alasan kakeknya lebih memilih Geral menjadi CEO Grand Aurora dibanding Stevie, kakak sepupunya.
“Kau percaya padaku, kan?” Geral meraih tangan Yunda yang berada di atas selimut, menggenggamnya hangat.
Yunda tak menjawab. Hanya menatapnya lama-lama sebelum mengangguk pelan. Dia lalu memiringkan tubuh, membiarkan kepalanya bersandar di dada Geral.
Dengkuran halus mesin pesawat menjadi irama yang cukup menenangkan. Geral merengkuhnya dalam pelukan, membelai rambutnya lembut.
“Tidurlah. Saat bangun nanti, kita sudah berada di surga kecil kita,” bisiknya mengecup pelipis Yunda.
Pelan-pelan, napas Yunda mulai teratur. Detak jantung Geral di telinganya membuatnya merasa jauh lebih tenang. Kekhawatiran itu pun menguap seiring lelap yang perlahan datang menjemput.
Pita emas digunting serempak, disambut tepuk tangan meriah dan kilau confetti yang berhamburan di udara. Siang itu, gerai MAISON resmi berdiri di tengah-tengah kemewahan Grand Aurora.Lampu kristal berkilau dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke interior butik yang dirancang dengan nuansa putih gading dan emas yang elegan. Barisan kamera berjejer rapi, menyorot setiap momen. Para tamu undangan memenuhi ruangan dengan percakapan hangat dan gelas sampanye yang beradu ringan.Para petinggi Grand Aurora, perwakilan MAISON dari Paris, hingga artis-artis papan atas tampil memukau dalam balutan busana terbaik mereka. Namun, sorotan sesungguhnya jatuh pada Rosa.Kehadirannya bagai pusat gravitasi. Dia tampil anggun dalam balutan koleksi terbaru MAISON: gaun satin berwarna midnight blue dengan potongan berbentuk hati di bagian dada, dihiasi detail kristal halus yang berkilauan setiap kali ia bergerak. Potongan gaunnya jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya hingga ke lantai, memberi
“Apa karena sekarang kau sudah diakui Geral, kau jadi berani memintaku menemuimu?” Rosa menyunggingkan senyum sinis, sorot matanya menancap tajam pada Yunda.“Saya tidak akan minta bertemu kalau Anda tidak lebih dulu mendatangi keluarga saya,” jawab Yunda, berusaha terdengar tegas.Rosa menyeringai, bersedekap dengan angkuh.“Ah… jadi aku bisa ketahuan secepat itu, ya?”“Mau apa Anda menemui Ibu saya?”“Aku hanya penasaran,” suara Rosa terdengar pelan, tapi beracun. “Ingin tahu wanita seperti apa yang berani mengikat Geral diam-diam.”Matanya menelusuri Yunda dari ujung kepala hingga kaki dengan senyum yang kian sinis, “Sepertinya aku bisa sedikit mengerti kenapa Geral sama sekali tidak punya nyali memperkenalkanmu pada keluarganya.”Yunda menelan ludah, berusaha menahan gejolak di dadanya. Tiba-tiba ia merasa terlalu kecil di hadapan Rosa.“Itu urusan kami berdua. Tidak perlu Anda campuri.”Rosa terkekeh, sama sekali tidak terlihat tersinggung.“Kalau aku jadi dirimu, lebih baik aku
Lantai khusus luxury brands di Grand Aurora sudah lengang malam itu. Semua butik telah tertutup rapat. Hanya deretan papan penutup sementara di depan gerai baru yang menjadi pusat keramaian.Dari celah terbuka, cahaya lampu kerja memancar terang. Suara bor listrik, dentuman palu, dan instruksi singkat saling bersahutan. Beberapa teknisi terlihat merapikan kabel lampu sorot yang digantungkan di plafon tinggi, sementara yang lain lalu-lalang mengangkut boks-boks besar berisi koleksi MAISON.Geral berdiri dengan jas masih melekat di tubuhnya meski dasinya sudah longgar. Sebelah tangannya terselip di saku, sorot matanya tajam menelusuri setiap sudut yang sedang dikerjakan. Di sampingnya, Yunda mencatat cepat di tablet, berusaha menangkap setiap detail yang ia sebutkan.“Pak Direktur, signage utama sudah tiba di gudang siang tadi,” lapor seorang supervisor. “Masih sementara perakitan. Kemungkinan baru bisa dipasang besok “Geral mengangguk singkat, “Pastikan selesai paling lambat besok pag
Jeffrey menyambut dengan senyum lebar ketika Rosa menjejakkan kaki ke kantornya.“Aku sebenarnya ada rapat dengan tim produksi, tapi demi dirimu, aku menundanya,” ujar lelaki itu bangga.Rosa tidak peduli pada rayuan itu. Dia mengeluarkan sebuah map dari tas dan meletakkannya di atas meja. Di halaman depan terpampang beberapa foto seorang gadis cantik.“Aku ingin kau mendekatinya,” ucapnya lugas. “Dia seorang konten kreator rendahan. Kalau kau memberinya iming-iming ketenaran, aku yakin dia akan tergiur.”Jeffrey menyipitkan mata, lalu mulai membolak-balik lembar demi lembar data perempuan itu. Dari raut wajahnya, Rosa tahu ia tertarik.Meski belum pernah bertemu secara langsung, Rosa akui Winda memang cantik. Visualnya memenuhi standar para pemburu bintang seperti Jeffrey.“Kau ini aneh, Sayang,” goda Jeffry sambil menutup map sebentar. “Kau paling benci kalau aku main-main dengan perempuan lain. Tapi sekarang kau malah menyodorkan mangsa padaku.”Rosa menyeringai dingin, “Lucu sekal
Geral meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja, lalu menyalakan layar ponsel untuk mengecek jadwal hari ini sebelum meninggalkan ruang makan.“Permisi, Tuan.” Seorang pelayan menghampiri dengan sopan. “Apakah sarapan untuk Nyonya mau diantarkan ke kamar seperti kemarin, atau disiapkan di sini saja, Tuan?”Kening Geral sedikit berkerut. Sejak kejadian malam itu, ia jarang pulang ke rumah dan memilih tidak peduli dengan apa pun yang dilakukan Rosa. Namun, dari penjelasan pelayan, ia baru tahu kalau Rosa sudah dua hari tidak keluar kamar. Makanannya selalu diantar ke sana, bahkan sempat meminta obat pereda nyeri.Geral sebenarnya enggan ambil pusing, tapi sebagai tuan rumah ia juga tidak bisa sepenuhnya mengabaikan.“Biar saya saja yang antar ke kamar,” ucapnya.Bersama senampan makanan, ia pun menaiki tangga menuju kamar dengan niat sekadar menengok keadaan wanita itu sebelum berangkat ke kantor.Geral mengetuk pintu kamar penghubung. Tak lama, suara Rosa terdengar dari dalam.“Letakk
Dengan langkah berat, Rosa memasuki ruang kerja ayahnya. Aroma kayu tua bercampur asap cerutu langsung menyergap inderanya, menambah beban yang sudah menyesakkan dada. Lelaki berpostur besar itu duduk tegak di balik meja kayu jati ukir. Sorot matanya dingin tanpa sedikit pun senyum.“Duduk,” ucapnya singkat. Dia bangkit untuk berpindah duduk ke sofa.Rosa menuruti meski setiap serat tubuhnya berteriak ingin kabur. Dia tidak pernah suka terjebak dalam ruang dan waktu yang sama dengan ayahnya. Karena sosoknya yang seharusnya melindungi justru hadir dalam memori Rosa sebagai sumber luka dan lara.Sejenak, pandangan Rosa berkunang. Ingatannya menyeret kembali ke suatu malam kelam ketika tubuhnya dipenuhi lebam. Saat itu, gosip murahan tentang dirinya tersebar di media. Dia dirumorkan menjadi wanita simpanan seorang sutradara ternama. Tidak ada bukti, tidak ada kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan, tapi ayahnya sama sekali tidak peduli.Ayahnya bahkan tidak memberinya kesempatan menje