“Aku akan menikah.”
Kalimat itu meluncur dari bibir Geral, menyusup seperti racun ke kerongkongan Yunda. Pahit dan membekukan. Bibirnya kelu. Pandangannya kosong, menatap nanar ke luar jendela besar yang membingkai kemilau kota di malam hari.
“Jadi kau sudah memutuskan?” tanyanya dengan suara parau.
Geral menggumam pelan, mengeratkan pelukannya. Dada bidangnya menempel di kulit punggung Yunda. Terasa hangat, tapi tak cukup mampu mengusir dingin yang menyelimuti hati perempuan itu.
“Aku tidak punya pilihan, Sayang. Kau tahu betapa pentingnya Grand Aurora bagiku.”
Jadi, Yunda tidak sepenting itu?
Namun, ia memilih diam. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi selama itu, Geral tidak pernah benar-benar berani mengakui siapa Yunda dalam hidupnya. Bahkan pada keluarga besarnya, ia tidak mampu memperkenalkan Yunda sebagai perempuan yang ia cintai, yang ingin ia bahagiakan sepenuh hati.
Di mata orang, Yunda tidak lebih dari sekadar sekretaris yang senantiasa membantu Geral melaksanakan tugasnya sebagai CEO Grand Aurora, sebuah pusat perbelanjaan mewah di pusat kota. Di siang hari, ia bekerja seolah ada garis yang melintang tegas di antara mereka, yang tidak akan pernah bisa dilewati satu sama lain. Namun, saat menjelang malam, tidak jarang garis itu menguap dalam pelukan dan cumbuan di apartemen yang dihuni Yunda sendirian.
“Ini tidak akan lama, Sayang. Begitu aku mendapatkan sebagian besar saham kakekku, aku akan menceraikan perempuan itu.” Geral berusaha meyakinkan.
“Bagaimana kalau dia tidak mau bercerai?”
Geral menghela napas, lalu membalikkan tubuh Yunda agar menghadap padanya. “Itu tidak mungkin. Kami tidak saling mencintai. Dia setuju menikah denganku karena ingin melindungi reputasinya.”
Hening. Yunda masih bergelut dengan setumpuk keraguan yang menyesakkan. Wanita mana yang rela melihat lelakinya menikahi wanita lain? Mereka akan tinggal seatap, bertemu setiap hari. Meski tanpa cinta, siapa yang menjamin tidak akan ada rasa yang perlahan timbul di antara mereka?
“Apa sudah tidak ada cara lain?” tanya Yunda akhirnya. Air mata mulai berkumpul di sudut matanya.
“Maafkan aku, Sayang.” Geral kembali mengeratkan pelukan. “Aku tidak punya pilihan. Kakekku tidak akan menyerahkan Grand Aurora sepenuhnya padaku kalau aku tidak bisa membangun keluarga sendiri.”
Kerongkongan Yunda makin pekat rasanya. Tapi ia bisa apa? Dia hanyalah perempuan biasa yang dibesarkan seorang janda beranak tiga di pinggiran kota. Dengan latar belakangan seperti itu, dirinya tidak akan pernah layak untuk diperkenalkan pada keluarga Geral.
Keluarga besar lelaki itu pasti akan menentang. Bagi konglomerat seperti mereka, pernikahan bukan sekadar penyatuan dua hati, tapi juga dua kerajaan yang bersatu untuk menjadi makin kuat dan saling memberi keuntungan. Dan yang paling tragis dari semua itu, jika Yunda memaksa untuk diakui, itu sama saja dengan menghancurkan semua kerja keras Geral selama ini.
Grand Aurora akan jatuh ke tangan Stevie, kakak sepupunya. Geral hanya akan menjadi pekerja bayaran yang sekadar diberi jabatan tanpa kuasa, yang bagi lelaki itu jauh lebih baik menjadi badut. Lebih buruk lagi, namanya bisa saja dicoret dari keluarga Nugroho karena dianggap telah menodai reputasi keluarga dengan menikahi perempuan dari kalangan bawah.
Yunda hanya punya dua pilihan: bertahan dalam persembunyian atau pergi meninggalkan lelaki yang dicintainya. Tapi pilihan kedua terlalu menyakitkan. Dia telah memberikan segalanya bagi Geral, dan lelaki itu adalah segalanya baginya.
****
Hari berlalu begitu cepat. Tanpa sempat Yunda perlambat, apalagi cegah, hari pernikahan itu pun akhirnya datang. Ballroom hotel telah disulap menjadi istana megah nan memukau. Langit-langit berhias lampu kristal berkilau bagai gugusan bintang, meja-meja bundar dibalut linen putih gading dengan rangkaian bunga segar di atasnya, dan alunan orkestra mengisi udara dengan nuansa klasik. Semuanya terlalu indah, terlalu menusuk.
Yunda hampir tak kuasa berpijak. Namun, ia berusaha menegakkan tubuh di atas sepatu hak berwarna krem, memandangi para tamu yang mulai berdatangan. Mereka saling sapa dan bertukar tawa seraya menanti kedua mempelai memasuki ruangan. Satu-satunya orang yang berharap ada petir yang menyambar dan meluluhlantakkan seisi gedung mungkin hanya Yunda seorang.
“Seharusnya kau tidak usah datang.”
Seorang pria jangkung bersetelan jas hitam rapi menghampiri Yunda. Nada suaranya datar, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
Yunda tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di antara gemerlap cahaya. “Bagaimana mungkin aku tidak datang ke pernikahan pimpinanku?”
“Kau baik-baik saja?” Wira menatapnya lekat.
Yunda hanya mengangguk pelan. Mereka berdua tahu, jawabannya tidak akan pernah baik-baik saja.
“Bagi Geral, hanya ada satu wanita di hidupnya. Kamu. Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan.”
Sebagai sahabat Geral sekaligus orang kepercayaannya, Yunda tahu Wira sedang berusaha menghiburnya. Yunda ingin percaya kata-kata itu. Bahwa sampai kapan pun, Geral hanya akan mencintainya meski secara resmi lelaki itu telah menjadi milik orang lain.
Seorang lelaki naik ke panggung di sudut ruangan, mulai memandu jalannya acara hingga momen yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dentuman musik perlahan berubah menjadi melodi yang meriah. Semua kepala menoleh ke arah pintu utama saat dua daun pintu yang menjulang tinggi terbuka perlahan.
Geral melangkah masuk dengan setelan tuksedo hitam. Di sampingnya, seorang wanita berjalan anggun dalam balutan gaun putih yang panjang menjuntai, berkilau setiap kali terkena cahaya. Senyuman mereka mengembang lebar, sesekali melambai kepada tamu di sisi kiri dan kanan.
Pandangan Geral terhenti di antara kerumunan. Matanya bertemu dengan Yunda.
Dunia seolah membeku. Tidak ada gemuruh tepuk tangan, tidak ada riuh tamu. Hanya mereka berdua. Saling menatap. Menghantarkan sekelebat luka dan cinta yang dipaksa bungkam dari sinar mata masing-masing.
Namun, tatapan itu tak berlangsung lama. Geral segera memalingkan wajah, kembali melangkah menuju altar. Menuju janji suci yang sebentar lagi akan mengubah segalanya.
Yunda nyaris tidak bisa bernapas. Dadanya sesak. Sebelah tangannya mencengkeram clutch hitam, berusaha menjaga dirinya tetap utuh meskipun hatinya sudah remuk.
Benar-benar remuk.
Kebahagiaan tampaknya sedang berpihak pada Rosa. Manajernya baru saja menyampaikan bahwa MAISON sedang mencari wajah baru untuk kampanye koleksi akhir tahun mereka. Dan, kabar baiknya, sebelum manajernya turun tangan mendapatkan proyek itu, pihak MAISON sudah lebih dulu menghubungi agensinya. Mereka meminta agar kerja sama dengan Rosa dipertimbangkan kembali.“Kau memang punya daya tarik yang luar biasa, Rosaline,” puji sang manajer sambil merapikan letak kacamatanya.Sebelah sudut bibir Rosa terangkat, “Anggap saja aku cukup beruntung dalam hal itu.”Dengan anggun, ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi ruang meeting. Sekelebat pikiran melintas, menancap cukup dalam, dan ia memutuskan membaginya dengan wanita di hadapannya.
Kalau bukan karena Geral, Rosa tidak akan repot-repot datang ke kediaman orang tuanya. Beberapa hari lalu, Geral memberi tahu bahwa ayah Rosa mengundang mereka makan malam. Wajar undangan itu tidak disampaikan langsung pada Rosa karena ayahnya tahu ia pasti akan menolak dengan beribu alasan.Dan kini, di sinilah Rosa. Duduk di meja makan panjang berbahan marmer. Di hadapannya, hidangan tersaji dengan mewah, tapi suasananya tetap terasa hambar. Geral duduk di sampingnya, sopan dan tenang seperti biasa.Kakak tertuanya datang bersama suami dan kedua anak mereka yang sejak tadi sibuk dengan gawai. Wanita yang sebentar lagi menginjak usia empat puluh itu berusaha tampil elegan dengan gaun satin berpotongan ramping, rambut disanggul tinggi, dan kalung mutiara yang terlalu mencolok untuk disebut berkelas. Sementara itu, kakak laki-lakinya datang bersama seorang wanit
Yunda menutup keran pancuran kamar mandi, lalu meraih bathrobe putih yang tergantung di balik pintu. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, ia melangkah menuju dapur dan menyalakan mesin pembuat kopi.Selagi menunggu perasan kopi memenuhi gelas, ia berjalan ke ruang tengah untuk mengambil ponselnya yang ia tinggalkan di atas sofa. Dia mengernyit saat melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Geral. Tidak biasanya lelaki itu menelepon sepagi ini.Jangan-jangan karena Yunda belum mengirimkan instruksi kepada Bibi Eva. Tapi ia tak mau ambil pusing. Toh, kemarin lelaki itu juga tak mengenakan pakaian sesuai arahannya.Yunda baru hendak menelepon balik ketika terdengar sandi pintu dimasukkan dari luar. Dia bergegas menghampiri vi
Langit sore itu berwarna tembaga. Awan-awan bergerak pelan, damai, dan tenang. Di tengah padang rumput yang membentang luas, Geral berdiri dengan kedua tangannya melambai ke udara.“Ayah! Ibu!” serunya riang gembira.Dari kejauhan, sebuah helikopter tampak mendekat. Baling-balingnya berputar cepat, menciptakan embusan angin yang membuat rerumputan di bawahnya menari liar. Suara mesinnya memekakkan telinga, tapi tak mampu menenggelamkan tawa Geral yang bergema penuh kerinduan.Namun, semuanya berubah dalam sekejap.Tanah di tempatnya berpijak bergetar aneh. Suara baling-baling itu tak lagi teratur, berubah seperti jeritan logam yang tergores keras. Helikopter yang tadinya terbang dengan tenang sekaligus gagah tiba-tiba oleng ke kanan, lalu menukik tajam.
Sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras semua tim, malam itu Geral mereservasi sebuah lounge bar eksklusif di puncak salah satu gedung pencakar langit. Suasana remang yang mewah, denting musik jaz yang lembut, dan kerlap-kerlip lampu kota dari balik jendela kaca besar menjadi latar sempurna untuk melepas penat.Berbeda dari rekan-rekannya yang larut dalam tawa dan sorak kegembiraan, Yunda justru memilih duduk di sudut ruangan. Segelas moktail berwarna cerah tergenggam di tangan, tapi aroma jeruk nipis dan potongan daun mint yang segar tidak berhasil menggugah seleranya.Dari sudut matanya, ia melihat Geral dikelilingi para kepala departemen dan manajer yang bergantian menyanjungnya. Namun, ada satu pemandangan yang cukup mengganggu: Rosa, yang sejak awal pesta tak pernah be
Benar yang dikatakan Rosa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kunjungan kali ini. Semuanya berjalan nyaris tanpa cela.Mr. Felix, pria paruh baya berkebangsaan Prancis, tiba di Grand Aurora tepat pukul sebelas siang. Dia datang bersama dua asistennya, dan langsung disambut oleh Geral, Rosa, serta beberapa eksekutif manajemen.“It’s a pleasure to welcome you to Grand Aurora, Mr. Felix,” ujar Geral, menjabat tangan pria berambut kekuningan itu dengan senyum hangat.“Thank you. I’ve heard quite a lot about this place,” sahut Mr. Felix, matanya menelusuri sekeliling lobi utama dengan penuh minat.Tepat