Sebagai penutup pertemuan, malam itu MAISON mengadakan jamuan di salah satu ruang gala mereka yang megah. Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit berpendar lembut, memantul di permukaan meja panjang yang dipenuhi hidangan lezat. Deretan gelas anggur berkilau, menunggu disentuh oleh tuan-tuannya.Ketika Rosa tampak sibuk bercengkerama dengan beberapa orang di sudut ruangan, Yunda buru-buru menggeser duduknya mendekat ke Geral.“Anda baik-baik saja?” tanyanya cemas.Sejak tadi ia perhatikan lelaki itu terlihat lebih letih dari biasanya.Geral mengangguk lemah, “Sepertinya aku kurang tidur. Mataku benar-benar berat.”“Mau saya bantu menyampaikannya pada Bu Rosa agar Anda bisa segera kembali ke hotel?”“Tidak usah,” jawabnya lirih. “Aku masih bisa menahannya.”Yunda menggigit bibir, menahan diri. Ada dorongan kuat untuk menyentuh wajah Geral, sekadar memberinya kekuatan. Namun ia paham betul posisinya sekarang.Saat acara berakhir dan rombongan berpamitan, tak butuh waktu l
Geral menyesap espresso, meninggalkan pahit sekaligus pekat yang kuat di lidah. Dia berharap itu bisa menjadi cara ampuh menahan kantuk yang menyerang. Semalam ia sulit tidur gara-gara ucapan Rosa berhasil mengendap terlalu dalam di pikirannya.Sekilas pandangannya beralih ke meja lain di restoran hotel. Di sana, Wira dan Yunda duduk bersama menikmati sarapan, sementara ia duduk bersama Rosa agak jauh dari sana.Meski Wira kini sudah memiliki kekasih, dan bahkan mendukung penuh hubungannya dengan Yunda, tetap saja bayangan lama tak bisa sepenuhnya ia enyahkan. Bagaimanapun, sahabatnya itu pernah bersaing dengannya untuk mendapatkan hati Yunda.“Kita memang sahabat, Kawan. Tapi aku akan terus terang padamu bahwa aku juga tertarik pada gadis itu,” ujar Wira suatu hari, tepat setelah Geral dengan jujur mengakui ketertarikannya pada seorang gadis berparas cantik di kampus.Geral meringis, menganggap remeh, “Memangnya dia kenal padamu?”Wira tertawa, tawa yang lebih terdengar mengejek. Ali
Sejauh mana pun ia pergi, sedalam apa pun ia bersembunyi, Rosa tahu tak akan pernah bisa lari dari Jeffrey. Satu-satunya cara untuk lepas dari bayang-bayang lelaki itu hanyalah dengan melenyapkannya. Andai semudah itu, Rosa sudah melakukannya sejak lama.Malam ini, ia akhirnya membiarkan kakinya melangkah ke sebuah apartemen—yang baginya tak lebih dari neraka berlapis kristal—milik Jeffrey. Pandangannya terpaku pada lampu gantung yang berkilau di langit-langit kamar, sementara tubuhnya diguncang oleh lelaki biadab itu.“Kau membuatku gila, Rosa…” desah Jeffrey di telinganya.Rosa tetap diam, berusaha menahan diri sekuat mungkin meski beberapa kali desahan terpaksa lolos dari bibirnya.“Hahh… hahh…” Deru napas Jeffrey makin menusuk pendengarannya.Rosa memejamkan mata, pasrah menerima guncangan demi guncangan. Jemarinya mencengkeram punggung Jeffrey, berharap agar kuku-kukunya menancap dalam hingga meninggalkan luka yang akan selalu mengingatkan lelaki itu pada kebiadabannya.Meski hat
Cumbuan demi cumbuan memenuhi kabin sempit itu. Napas mereka saling memburu tanpa henti. Geral menarik Yunda ke pangkuannya seolah ingin meniadakan jarak di antara mereka. Jemari Yunda yang semula menangkup wajahnya kini merayap ke tengkuk, merasakan otot-ototnya menegang di bawah sentuhannya.“Yunda…” Suara Geral parau, terhenti di antara desah yang berat. Tatapannya berkilat, penuh hasrat sekaligus luka. “Aku tidak bisa melepaskanmu. Tidak akan.”Yunda hanya menjawab dengan ciuman lain—lebih berani, lebih menuntut. Tangannya meremas kerah baju Geral, menariknya makin dalam ke pusaran rasa yang tak lagi bisa dihentikan.Hangat jemari Geral menjalari punggungnya, lalu perlahan beralih ke dada membuatnya makin haus akan sentuhan. Yunda menggigil, bukan karena dingin, melainkan karena menginginkan lelaki itu lebih dan lebih.“Mau pindah ke hotel?” bisik Geral.Yunda menggeleng, “Aku tidak mau memberi contoh buruk ke adikku karena tidak pulang malam ini, Sayang.”“Kau tidak keberatan… ki
Keheningan merambat pekat, menyesakkan ruang di antara keduanya. Geral terdiam seakan seluruh udara tersedot habis oleh kalimat yang baru saja terlontar. Tatapannya membeku, menancap lurus di wajah Rosa.“Jangan pernah ucapkan kata-kata seperti itu, Rosa,” ucapnya kemudian. Dingin dan menusuk.Rosa menelan ludah, menyadari betapa gegabah dirinya.“Aku berterima kasih atas semua bantuanmu. Tapi kuharap garis di antara kita masih cukup jelas untuk tidak dilewati,” imbuh Geral.Ucapan itu menampar Rosa lebih keras dari yang ia duga. Jantungnya merosot ke perut, meninggalkan rongga kosong yang terasa dingin.Tanpa memberi kesempatan bagi Rosa untuk menyusun kembali reruntuhan jiwanya, Geral memutar tubuh. Suara langkahnya menggema di telinga Rosa sebelum akhirnya punggungnya yang tegap menghilang di balik pintu kamar.Tidak seperti dirinya, Geral sama sekali tidak menginginkannya. Sedikit pun.****Yunda meletakkan buket bunga krisan putih di antara dua pusara yang berdampingan. Nama yang
Mobil meluncur mulus di jalan tol, ditemani suasana siang yang makin matang. Suara mesin terdengar stabil, tapi di dalam kabin, pikiran Rosa justru berisik. Ucapan Kakek Nugroho masih berputar-putar, tak mau enyah.“Ucapan kakekmu tadi—” ia akhirnya memberanikan diri membuka mulut.“Tidak usah dipikirkan,” sergah Geral cepat, seolah enggan membicarakan hal semacam ini lebih jauh. “Aku sudah memberi alasan yang logis tadi, dan kupikir kakekku bisa menerimanya.”Rosa mengangguk-angguk. Sejujurnya, banyak yang ingin ia utarakan, tapi tenggorokannya terasa kering. Kalimat-kalimat itu makin tenggelam ketika Geral kembali buka suara.“Ada yang ingin kubicarakan soal keberangkatan kita ke Paris nanti.”Rosa menoleh. Sinar matanya menyiratkan bahwa ia menunggu Geral melanjutkan ucapan.“Kau yakin akan ikut? Jujur saja, aku merasa MAISON hanya menggunakan kami untuk bisa bekerja sama denganmu. Seperti yang kau katakan, kau pernah menolak menjadi BA mereka.”Geral menarik napas pelan, menatap l