Share

Ice Wall (Resep Menghadapi Masalah)

Ada 3 unsur wajib dalam merancang bangunan. Unsur keindahan, unsur kekuatan dan unsur fungsi bangunan. Simple sekali memang. Seharusnya begitu. Tetapi bila yang menjelaskan itu adalah dia, si Mr. Brewok itu, semuanya memantul setelah menyentuh kulit jidatku. Belum sempat penjelasannya itu di proses di dalam otak, kulitku sudah mengusir mereka semua pergi seakan-akan itu akan membuat hidupku semakin tidak karuan. Tidak ada satu pun penjelasan darinya yang bisa kumengerti. Pikiranku sibuk mencari-cari cara bagaimana caranya menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Terutama menjelaskan curhatan colongan di perpustakaan. Hanya mata kuliahnya saja yang membuatku gelisah dan gusar. Padahal sebenarnya tidak ada kesulitan yang berarti. Mata kuliah lain yang bahkan tingkat kesulitannya ada yang jauh lebih tinggi saja masih bisa kukuasai meski megap-megap.

Selama 1 bulan ini, di luar semua berjalan normal seperti biasa karena aku juga tidak mau bertemu dan tidak berusaha untuk bertemu dengannya. Biarlah aku tidak bimbingan, biarlah aku bimbingan setelah di tegur olehnya, sudah terlanjur membuatnya kesal biarlah dia kesal sampai akhir.

Aku juga lebih banyak menyendiri, hanya sesekali saja kekantin bersama Nadia yang kebetulan kami satu kelas di kelas Dasar-dasar Struktur dalam Arsitektur, selebihnya kami sama-sama sendiri. Jadwal kami sama hanya di kelas itu. Sedangkan Ariana berada di fakultas Psikologi dan gedungnya jauh dari gedung fakultas Teknik. Paling-paling kami bertemu bila kebetulan jam mata kuliah kami sama-sama selesai. Kita janjian di perpustakaan, taman kampus atau kantin. Kadang-kadang di warung soto depan kampus. Dia juga sesekali menginap di kosanku. Aku tidak bisa menginap di rumahnya karna neneknya sedang kambuh sakitnya. Alzheimer. Terakhir kali aku kesana, neneknya mengamuk menyangka aku orang jahat. Dia sampai membawa pisau dapur mengejarku yang bahkan belum masuk ke rumahnya. Bukan hanya aku, kadang neneknya juga tidak mengenal Ariana dan menyangka akan menyakitinya. Dia akan mengamuk, menangis, menendang-nendang sampai beliau lelah sendiri dan tertidur. Barulah Ariana keluar rumah sekedar refreshing, jalan-jalan di kompleknya atau ke kosanku menginap, menceritakan semuanya. Seandainya kami ada di fakultas yang sama dengan jadwal yang sama pula aku pasti akan menemaninya setiap hari setiap waktu. Menyemangatinya dan mendukungnya. Tapi, tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Dia juga sering sekali menolak bantuanku menemaninya. Dia jauh lebih tertutup,sangat berbeda dengan Ariana yang kukenal dulu. Itu juga salah satu alasan kami sudah tidak sedekat dulu lagi. Ariana wajahnya selalu bersedih saat kami bertemu. Aku sudah menyarankan agar dia pindah saja atau sekalian ngekost bareng denganku, toh, di rumah ada Paman dan istrinya yang mengurus neneknya, tapi paman dan ibu Ariana tidak mengizinkan. Pamannya juga sudah berjanji pada Ibunya untuk menjaga Ariana.

Oh, iya, masih ada Rinjani,temanku di kelas Pengantar Arsitektur. Kami selalu duduk bersama. Saling menunggui mengambil kursi jika salah satu dari kami telat masuk. Dan lagi, hanya itu jadwal kami yang sama. Sungguh menyedihkan. Ada beberapa orang yang jadwalnya sama denganku di beberapa kelas, tapi mereka biasanya sudah berkelompok. Hanya sesekali saja kami ber say hi. Aku juga merasa kurang bisa akrab dengan mereka saat pertamakali bergabung. Mereka terlalu menonjol dimana pun berada. Baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Aku kurang nyaman dengan mereka. Itu saja. Selebihnya mereka sangat baik padaku. Beberapa kali aku diantar pulang oleh salah satu dari anggota kelompok mereka. Ken Douglas. Itu pun hampir selalu kutolak. Ada cerita aneh diantara kami yang sebenarnya sangat tidak ingin aku ceritakan.

Dia pernah menembakku waktu kegiatan MOS jurusan masih berlangsung. Walaupun itu hanya permainan tapi sukses membuatku jadi sedikit menjauh darinya. Sepulang dari MOS dia menelponku. Tentu saja aku kaget. Aku tidak pernah memberikannya nomor Handphoneku. Saat kutahu itu dia, aku langsung mematikan panggilannya. Keselamatanku akan terancam bila aku dekat dengannya. Itu terlihat dari banyaknya tatapan-tatapan menusuk dari wanita-wanita lain yang seakan ingin menelanku hidup-hidup saat permainan tembak-menembak itu terjadi. Bulu romaku merinding saat di toilet kampus ada beberapa maba yang menyikutku saat kami berpapasan. Itu pasti alarm tanda bahaya, pikirku. Jadi, aku tidak akan mau bermain-main dengan idola mereka itu. Aku masih ingin selamat dan sukses menjadi seorang Arsitek.

Lagian aku belum pernah pacaran. Jangankan pacaran, jatuh cinta aja belum pernah. Alasan klise dan terpenting adalah aku belum mau mencerai-beraikan fokusku untuk cinta-cintaan seperti itu. Aku mau fokus dulu belajar di semester awal ini. Apalagi setelah insiden "Seorang Maba Terancam Menjadi Mahasiswa Abadi Setelah Tidak Mengenali Dosen Pembimbingnya, Bahkan Mengata-ngatai Dosen tersebut Tepat Di Wajah Sang Dosen". Sudah bisa dipastikan kedepannya, langkahku harus hati-hati sekali. Aku penasaran sampai semester berapa aku akan bertahan di sini.

"Kau tau...? Kita 1 dospem"

Sekejab mataku membelalak saat Ken Douglas sudah duduk di kursi depanku. Dua alasan : Dia adalah mahkluk berbahaya, membuat nyawaku terancam jika dekat-dekat dengannya dan kami satu dosen pembimbing. Ya, lengkap sudah penderitaanku. Info ini sangat berguna sekali untuk kemajuan perkuliahanku.

"Masa?"

"Bapak G. Ferdian M. Ars, kan?"

"Ajeee gileee takdir apa lagi ini?" kata-kata itu bergema nyaring di dalam tempurung kepalaku. Syaraf-syarafku nyaris rontok.

"Bimbingan bareng yuk...kemarin aku udah hubungin bapaknya, trus bapaknya menyuruh kita datang jam 3"

"Menyuruh kita?"

"Iya, beliau nanyain kamu, aku kenal atau enggak. Ya, aku bilang aja kenal. Kan kita emang kenal, kan?" tingkah manisnya mengedip-ngedipkan mata itu, kalau saja tidak ada fans-fansnya, mungkin saja aku akan senang dan terbang ke awan. Sunggguh, tapi aku benar-benar harus menghindarinya.

"Kalau kamu duluan aja boleh, ga? Aku nyusul sorean atau besok janjian lagi, gitu"

"Hm...kayanya ga bisa deh. Soalnya yang belum konsultasi kita doang. Yang lain udah selesai dari kemarin"

"Serius? Kita berdua doang?"

"Iya, kita berdua"

Glek!!! Jam 3 nanti, 2 orang pria yang ingin kuhindari akan berkumpul dalam 1 ruangan. Kalau dipikir-pikir lagi, ini kesempatan juga sih, setidaknya aku tidak sendirian menghadapi si Mr. Brewok itu. Ken Douglas bisa jadi tamengku nanti.

Segera saja kuanggukkan kepala tanda menyetujui tawarannya. Bukan sekedar tawaran biasa tapi tawaran yang wajib diambil kalau tidak ingin semakin menambah keburukan namaku di depan si dosen brewok itu.

***

Pukul 15.15

Kami berdua hanya bisa duduk diam, menunduk dan kaku dibangku kayu didepan mejanya. Meja si dosen Brewok. Kami terlambat 15 menit dari waktu yang ditentukan. Sebagai hukuman tidak langsung, dia membekukan kami berdua dengan 2 pedang freezer yang keluar dari matanya.

"Saya sangat tidak suka dengan manusia-manusia seperti kalian"

Bulu kudukku berdiri tegang. Suara dingin itu jelas sekali sama seperti saat dia mengusirku dari kelasnya.

"Ma..maaf pak tadi dosennya...."

"Orang-orang yang paling saya benci di dunia ini adalah, orang-orang yang suka sekali melontarkan seribu satu alasan atas kesalahannya, dan juga...tentu saja orang yang suka mengeluh dan menjelek-jelekkan dosennya"

Tenggorokanku tercekat. Nafasku seakan-akan sudah habis. Kalimat terakhir itu sudah pasti sindiran untukku. Aku meremas-remas ujung kemejaku.

"Tapi...karena kalian masih baru, untuk kali ini saya akan beri toleransi"

Kami menghembuskan nafas lega.

"Tapi tidak untuk selanjutnya...Tidak ada toleransi di kesalahan kedua. Terutama kamu Muffin"

"Uhuk...uhuk...uhuk...ma...maaf pak....Uhuk..uhukk" Ken menyenggolku di tengah-tengah batuk. Tenggorokanku sedari tadi tercekat dan gatal. Aku tidak bisa menahannya lagi. Si Dosen Brewok itu menggeser botol air mineral kedepanku. Aku mengambilnya setelah dia memberi kode dengan gerakan kepalanya.

"Terimakasih, pak" ucapku. Botol yang tadinya penuh kini sudah hampir setengahnya kosong.

"Saya sudah membicarakan mengenai keterlambatanmu, 3 hari lalu pada pak Djoko. Untung saja beliau bersedia memakluminya, jadi saya harap minggu depan jangan kamu ulangi lagi, mengerti?"

"Ia pak mengerti...saya berjanji tidak akan terlambat lagi, pak" ucapku bersemangat tersenyum padanya. Tetap saja gunung es diwajahnya itu tidak terpengaruh. Senyumku terbuang begitu saja.

30 menitan kemudian pembicaraan kami selesai. Kami sudah banyak dibekali olehnya mengenai semester-semester yang akan kami jalani. Dia juga menyinggung kami untuk lebih mengenal dosen-dosen di kampus. Kalau perlu menghafal semua nama-nama dosen sampai staf-stafnya sekaligus. Dia sesekali akan menanyakan pada kami mahasiswa bimbingannya untuk mengetes apakah sudah melakukan permintaanya itu atau tidak. Tanpa ragu, aku langsung mengangguk mengerti sementara Ken mengangguk kebingungan.

Kami pun pamit pulang. Saat aku salim padanya-Si Ken Douglas itu entah kenapa tiba-tiba salim pada si Mr. Brewok. Aku dan beliau sama-sama terkejut dan mau tidak mau aku pun ikut melakukan hal yang sama. Itu memang sopan sekali dan aku juga terbiasa melakukan hal yang sama di sekolah dulu, tapi tetap saja ini awkward karena sejak hari pertama di kampus ini, aku jarang menemukan orang melakukan hal tersebut- kurasakan tangannya yang sangat hangat, berbanding terbalik dengan imejnya yang dingin. Jantungku terpacu dengan cepat.

"What's wrong with you? Plis, dia itu dosenmu, Muffin. Jangan macam-macam"

Diluar aku ber-high five dengan ken setelah akhirnya satu tugas berat ini sudah selesai. Kami tak habis-habisnya berbicara mengenai bimbingan tadi. Ken juga tidak habis-habisnya mempertanyakan tujuan permintaan si Dosen Brewok itu. Aku? Tentu saja memberikan alasan yang bisa masuk akalnya, yang bisa menutup mulutnya itu agar aku tidak kelepasan menceritakan alasan yang sebenarnya sudah sangat pasti kutahu. Ken Douglas tutup mulut berbahayamu itu!.

Saat kami menginjakkan kaki ditangga kedua terakhir dilantai dasar, aku terhenti "Oh my God...aku lupa, Ken. Kamu pulang duluan aja, deh. Aku masih ada urusan sama pak Ferdi, ok, bye" tanpa menunggu jawaban Ken aku langsung berlari lagi keatas, kelantai 3 yang membuat suara berisik dari hentakan kakiku menggema ke segala arah.

Nafasku masih tersenggal-senggal saat Mr. Brewok sudah ada didepanku, dilantai ujung, bersiap-siap menuruni tangga. Ekspresi dinginnya itu tidak berubah sama sekali.

"Selamat sore, pak"

"Ada apa lagi?"

"Ini, pak" aku merogoh tas mengambil saputangan warna hitam bergaris coklat yang diberikannya kemarin.

"Saya ingin mengembalikan sapu tangan ini, pak. Dan...terimakasih sebelumnya" aku menaiki satu tangga, memajukan tangan berisi saputangan itu padanya.

"Hanya itu?"

Tanganku turun karna tak kunjung di sambut olehnya "I...iya, pak"

Alisnya terangkat menuntutku berpikir keras apa ada sesuatu yang kulewatkan. Hingga akhirnya aku paham apa yang dia maksud.

"Saya...juga mau minta maaf, pak. Kemarin saya sudah lancang sekali menjelek-jelekkan,bapak"

"Bagus. Trus...?"

"Saya tidak akan mengulanginya lagi, pak"

"Ok. Saya maafkan. Semoga itu bisa jadi pembelajaran buat kamu kedepannya"

"Baik, pak. Terimakasih. Saputangannya, pak"

"Ambil saja"

Lalu dia pergi begitu saja melewati tanganku yang masih tersodor. Harum parfumnya yang segar dan manly menyebar di hidungku. Dia berlalu tapi kali ini aku lega. Akhirnya masalah-masalah itu selesai. Entah itu akan tetap mempengaruhi nilaiku atau tidak, tapi setidaknya aku sudah meminta maaf dan dia sudah memaafkan. Beban itu hampir setengahnya terangkat dari tumpukan sudut hatiku. Aku bernafas lega menyender ke dinding.

Kesabaran adalah kunci dari semuanya. Menghadapi langsung adalah langkah pertama. Berani mengakui kesalahan adalah senjata utama. Masalah pun terurai. Perlahan-lahan selesai lalu menghilang. Beban pun terangkat. Sesak pun berkurang.

Kini, aku menyadari itu semua. Tadi, saat mengakui kesalahan itu, tidak membutuhkan waktu yang banyak. Sangat singkat malah. Akan tetapi, dampaknya sangat nyata. Lega sekali. Tangis dan kegelisahan kemarin adalah bumbu-bumbunya. Hal wajar bagi manusia biasa apalagi manusia yang baru beranjak dewasa ini. Resep menghadapai masalah itu harus kutanamkan kedalam pikiranku mulai dari sekarang. Kelak, aku yakin akan berguna.

Walaupun dia sedingin es, tapi dia juga ikut andil memberikanku pengalaman yang berharga ini. Pengalaman yang sangat berguna ini. Sebagai ucapan terimakasih ingin rasanya kukirim berember-ember air panas kerumahnya hingga ice wallnya itu mencair, atau kalau perlu aku akan membangun kapal Titanic versiku lalu akan kutabrakkan padanya agar ice wallnya itu hancur berkeping-keping. Mr. Brewok!!!

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status