Share

Curhat

"Dia itu duda, Fin. Duda tanpa anak" ujar Ariana. Dia menginap di kosanku.

"Ah serius lo? Tau dari mana?" tanyaku tak percaya pada Ariana.

"Ya elah semua penghuni kampus juga tahu kali, kecuali elu kayanya"

"Ia, tah? Apa karna aku udah terlanjur bete sama dia kali, ya?”

“Maybe”

“Trus istrinya kemana?"

"Nah itu dia, sampai sekarang belum ada yang tau mantan istrinya siapa. Dia baru 2 tahun disini dan waktu dia pindah kesini juga dia udah jadi duda makanya ga banyak yang tau tentang hal yang privasi seperti itu"

"Ooo jadi dia baru 2 tahun disini. Trus trus ada gosip-gosip apa lagi tentang dia?"

"Hmm...wait...wait...wait...Lo suka, yah, sama dia?" tanya Ariana sambil mengunyah keripik singkong yang kami beli di supermarket tadi sore.

“Suka? Sebel sih lebih tepatnya”

“Sebel bisa kadi suka loh ujung-ujungnya”

“Gila mana mungkinlah. Gue masih kecil, Nana”

“Trus emang anak kecil ga boleh suka-sukaan gitu?”

“Ya, ga sama dosen juga kali”

“Itu kan menurut, lo. Coba deh menurut hati lo yang paling dalam, gimana?”

“Kenapa jadi bahas itu, sih, Na. Kan aku Cuma nanya doang”

“Ya, karna ekspresi lo saat cerita tadi tuh bukan eskpresi seorang mahasiswa yang lagi sebel sama dosennya”

“Trus ekspresi apaan dong?”

“Kaya ekspresi apa yah namanya? Susah ngejelasinnya. Pokoknya bukan kaya lagi sebel, deh”

“Hah, tau ah. Jutek gitu masa aku bisa suka sama dia”

“Makanya waktu masih sekolah usahain pacaran walau cuma sekali doang. Biar kalau udah gede gini ga bingung-bingung lagi”

“Iya, deh yang ratunya pacaran”

Ariana tertawa geli. Sedari SMP dia sudah sering berpacaran. Aku biasanya jadi tameng atau jadi kotak pos untuk pacar-pacarnya. Orang tuanya sama ketatnya dengan orang tuaku. Bedanya dia lebih berani memberontak dan aku lebih memilih jalan aman.

“Kalau lo salaman sama seseorang dan tangannya dia terasa hangat, maksudku hangatnya tuh beda. Di dada lo itu kaya langsung berdebar-debar gitu. Itu bisa ga di jadiin ciri-ciri suka?”

“Nah, itu dia” Ariana menjentikkan jarinya di depan hidungku “Berdebar-debar”

“Berdebar-debar?”

“Salah satu simtom utamanya”

“Berdebar-debar?”

“Iya. Trus apa lagi. Coba ceritakan lebih detil lagi”

“Kembang api?”

“Kembang api?”

“Aku ga tau itu kedipan atau apa ya waktu di perpus, tapi kedipannya itu bikin kepalaku jadi kaya ada pesta kembang api tahun baruan gitu”

“Aku ga ngerti maksudmu, tapi udah pasti itu juga salah satunya”

“Tapi itu waktu aku pertama kali ketemu dia. Masa udah jatuh cinta aja?”

“Damn it. Seriusan waktu pertamakali ketemu?”

“Iya. Di perpustakan”

“Wow....”

“Wow?”

“First love at first sight”

“What? No way . Ga, mungkinlah secepat itu”

“Uuuuu,,,,semakin anda menolak kenyataan itu maka semakin nyatalah perasaan anda nantinya saudara Muffin”

Aku terdiam, Ariana tertawa menang.

"Hmm...Kayanya, sih" bola mataku berputar menanggapi pernyataan yang aneh itu. Aku juga tidak tahu akan perasaanku. Kuakui belakangan ini dia selalu terselip di pikiran saat-saat menjelang tidur, saat akan mandi, makan, belajar, saat buku mata kuliahnya menyempil dari rak buku, ketika melihat sapu tangannya yang mendekam di laci tempat tidur, saat akan berangkat ke kampus, saat memasuki kampus apalagi saat mata kuliahnya akan di mulai sampai selesai bahkan saat sudah kembali lagi kekosan. Apa hal-hal itu sudah bisa menjamin bahwa aku menyukainya? Apa itu sudah cukup untuk bisa dibilang suka? Apa itu tidak terlalu sepele dan sedikit?

“Cieee...akhiirrrrnyaaaa” Ariana memelukku kencang sekali sampai nafasku sesak dan memintanya melepaskan pelukan dan gelitikan-gelitikannya.

“Mama Diana harus tahu ini”

“Heh, awas ya kalau sampai mamaku tau” Ariana terbiasa memanggil bunda dengan namanya. Bunda yang meminta karna Ariana suka sekali dengan nama Bundaku yang sama dengan nama idolanya, Princess Diana.

“Mama Diana harus tahu ini, Muffin”

“Soto satu kali seminggu?”

“Plus Ice cream Sundae”

“Deal”

“Deal”

Dia pun tertawa licik melepas jabatan tanganku. Aku mencubit lengannya membuatnya berhenti tertawa. Kami pun saling balas membalas cubitan.

***

"Berarti lu harus siap bersaing dengan berjubel-jubel wanita di luar sana. Terutama Miss Grace"’

Aku tersedak. Ariana segera mengambil tisu dan air mineral dari nampan lalu memberikannya padaku. Setelah deal-dealan tadi dia langsung menuntut membelikan Sundae lalu memaksaku makan di tempat, di salah satu restoran makanan cepat saji terkenal se Indonesia bahkan dunia.

"Miss grace?"

“Yup”

“Teman semejaku pernah cerita kalau di kampus kita gossipnya ada sesama dosen yang pacaran. Apa itu mereka berdua?”

“Betulll”

“Aku kok, ga tau ya”

“Dia duda aja lo ga tau. Padahal udah berapa bulan ini kita masuk kuliah”

“Iya, sih”

“Makanya rileks dikitlah, Fin. Jangan terlalu fokus belajar. Nikmati dunia ini”

Jauh di dalam hatiku bisa merasakan kegetiran dalam kalimat Ariana itu. Mungkin saja sebenarnya itu dia tujukan bukan hanya padaku tapi pada dirinya sendiri juga. Dia mencoba menghibur dirinya sendiri.

“Pasti lo juga ga tau kan kalau dia itu populer banget. Khususnya di fakultas Psikologi ya. Di fakultas lain ga tau deh”

“Kalau di fakultasku kayanya populer karna jutek, deh”

“Kalau di fakultasku, waah kalangan cewe-cewe, mah, suka genit-genitan ke dia kalau lagi nyamperin Miss Grace”

“Nyamperin?”

"Ia nyamperin. Gosip-gosipnya ni, yah, katanya mereka itu lagi PDKT. Lo emang ga pernah liat mereka sering pulang bareng? Trus ke perpus bareng, ke kantin bareng. Akh pokoknya kalau ada waktu kosong pasti bareng-bareng. Dan satu lagi, mereka memang pindah dari Universitas yang berbeda tapi pindah bareng di tanggal dan tahun yang sama kesini. Jadi yah, boleh dibilang gosip mereka PDKT itu sekitar 80% bisa dipercayalah"

"Lu ga lagi becanda, kan, na? Ia sih, aku pernah beberapa kali lihat mereka pulang bareng naik mobilnya si Mr. Brewok. Tapi yah, bukan cuma Miss grace. Bu Nilam juga sering. Pulang bertiga juga sering katanya. Soalnya kata bu Nilam rumah mereka bertiga arahnya sama. Trus waktu aku tidur di perpus juga, kan, mereka bareng, tuh”

"Tuh kamu tahu. Ya, aku ga kenal siapa bu Nilam itu. Yang pasti di fakultasku karna Miss Grace itu salah satu dosen kami jadi cerita-cerita kaya gitu tuh udah kesebar banget. Mobilnya si Brewokmu itu aja kami udah sampai hapal. Sorry, Fin gue bukannya mau menghalang-halangi perasaan lo. Gue nyeritain itu emang sesuai seperti apa yang gue dengar, tapi kalo soal benar atau engga, aku ga bisa jawab. Gimana kalo lo tanya langsung sama mereka?" ucap Ariana asal sambil terus menyendok Ice Cream ke mulutnya.

“Ngaco, wuu...” Kujitak kepalanya.

“Ahahahaha”

“Habisin, tuh ice cream. Kita pulang aja, deh. Udah ga mood”

“Ckckck berarti bener dugaan gue. Lo bukan Cuma sekedar ngefans doang”

“Ngefans? Ga bakalan mungkinlah gue ngefans sama dosen galak kaya gitu”

“Berarti suka?”

“Nehi-nehi”

“Cinta?”

“Na, kita pulang aja deh. Lo lama-lama makin ngaco”

Kembali dia tertawa. Entah sudah berapakali dia menertawaiku. Di satu sisi aku malu dengan betapa ketinggalannya pengalamanku jika dibandingkan dengannya. Tapi di sisi lain aku lega karna Ariana masih bisa tertawa lepas seperti itu.

"Ck! Padahal kalau gue memang benar-benar suka dia, berarti ini pertama kalinya gue suka seriusan sama cowo, Na"

Ariana menghentikan kunyahannya dan merangkulku. Kami berdiri di pinggir jalan menunggu taksi online yang akan mengantar kami pulang datang.

"Lagian kenapa sih kamu suka sama si duda berjambang itu? Seleramu payah. Gue aja males ngeliat dia. Mukanya jutek gitu kaya yang lo bilang"

"Biarin! Lagian emang kita bisa nentuin gitu kita suka sama siapa?”

“Ya, bisalah. Kecuali kalau jatuh cintanya tiba-tiba atau pandangan pertama kaya lo. Susah nentuinnya emang” Ariana tertawa lagi.

“Aishhh. Ga percaya”

"Yee dikasih tahu malah ngeyel. Lagian dia itu dosen, bro. Kalau pun seandainya dia juga suka samamu ga bakalan deh kalian bisa bersama. Bisa-bisa kalian dikeluarkan dari kampus, mau lo di DO. Kan, peraturan kampus, dosen sama mahasiswa di larang pacaran setelah insiden “Carnaval”. Tau, kan insiden itu?”

"Ia, tau. Yang Dosen pacaran sama mahasiswa trus nilainya di bagus-bagusin, kan?”

“Betul. Syukurlah kalau yang itu kamu tau”

“Heh gini-gini sedikit banyaknya kau tetap tahu kok legenda-legenda kampus”

“Tpai dosen lu sendiri engga tahu”

“Ishhh Nanaaa” kucubit lengan Ariana dan dia tidak henti-hentinya tertawa.

“Trus gimana dong?"

"Gini deh, Fin...” Taksi online yang kami pesan datang memotong pembicaraan kami. Kami bergegas masuk karna udara malam semakin dingin. Di mobil Ariana menyambung kembali ucapannya yang terpotong.

“Semoga perasaan lo itu cuma sementara, Fin. Itu karna kalau serius, udah pasti ga bakalan kesampaian. Gue bukannya ga mau mendukung, loh"

Aku mengangguk mengerti.

"Selain saingan terberatmu si Miss Grace, ya seperti yang aku bilang tadi, dia itu dosen dan lo mahasiswa. Kalau pun seandainya si Brewok itu membalas perasaan lo, udah pasti harus ada yang berkorban"

Aku mengangguk lagi.

"Lo yang keluar dari kampus atau si Brewok. Kecuali kalian tadinya beda universitas kalau itu, mah ga ada yang melarang. Gitu"

“Setuju” wajah sedihku membuat Ariana memelukku lagi. Kali ini lebih lembut. Walaupun terkadang dia seperti orang lain yang tidak kukenal karna masalah-masalah yang dihadapinya, dia tetap saja Ariana yang kukenal dulu yang bila aku kebingungan terhadap sesuatu, dia pasti orang pertama tempatku bertanya. Dia juga orang yang sejauh ini paling kompeten bila menjelaskan sesuatu. Berdiskusi dengannya adalah hal yang paling menyenangkan. Mungkin itu yang membuat kami tetap dekat meski sudah jarang bertemu.

Setelah membahas si Mr. brewok kami pun membahas hal-hal lainnya. Mulai dari yang serius sampai yang ngalor ngidul. Dari cita-cita, impian sampai tentang tetangga rumahnya yang suka sekali menyetel musik kencang-kencang. Satu hal yang aku sadari, Ariana yang walau pun memiliki masalah dalam kehidupan keluarganya tapi dia tetap fokus dan konsen terhadap cita-citanya. Sedari dulu dia memang selalu bisa bersikap dewasa. Berbeda denganku yang sangat kekanak-kanakan. Tapi karena perbedaan itulah kami selalu bisa akrab. Dulu kami sudah seperti anak kembar yang kemana-mana selalu bersama. Sedari dulu juga aku sangat ingin bisa sedewasa dia dalam menghadapi apapun.

Hal lainnya yang baru kusadari saat aku sudah sampai di kamar kosanku, bahasa kami sudah benar-benar bercampur. Aku, kamu, lo, gue. Astaga kami sudah benar-benar menghayati hidup di Jakarta ini. Ini mungkin akan dianggap sebagai tanda seseorang yang mulai lupa dengan 'kulitnya' seperti kata pepatah itu tapi sebenarnya aku bisa menyanggah dengan menyatakan bahwa ini justru adalah tanda awal bahwa aku dan Ariana sudah mulai menunjukkan keberhasilan kami beradaptasi dengan lingkungan baru kami. Ini perlu di apresiasi juga. Anak-anak muda yang baru saja ikut bercebur ke dalam alur dunia yang sesungguhnya ini sudah mulai menunjukkan keberhasilan-keberhasilan kecil.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status