Share

G. Ferdian, M. Ars

Penulis: Mayht
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-10 14:04:37

Merantau jauh dari orang tua walau hanya beda provinsi, di satu sisi membuatku senang karna aku bisa bebas menjalani hari-hariku tanpa di awasi oleh orangtua, tanpa pertanyaan ini itu, tanpa larangan ini itu. Di sisi lain, segala sesuatunya benar-benar kulakukan sendiri dari mulai membuat sarapan, membersihkan kosan, mengisi listrik, memperbaiki kalau ada yang rusak dan sebagainya. Semua serba sendiri. Kalau di rumah orang tua dan pembantu sudah siap siaga, di sini tangan dan otakku harus siap siaga mengantisipasi segala sesuatu yang memerlukan perbaikan.

Sesekali kalau lagi malas, membeli makan di luar sudah jadi salah satu kebiasaanku. Tak kusangka makanan di warteg, nasi padang, pecel ayam, fried chicken dan jajanan di pinggir jalanan bisa seenak. Selama ini orang tuaku tidak pernah mengizinkanku memakan makanan-makanan itu. Mereka bilang makanan-makanan itu tidak higienis.

Kalau dari dulu aku tahu ada makanan seenak itu, aku pasti tidak akan melewatkan 19 tahun hidupku sebelumnya, ketakutan pada kata "tidak higienis". Well, kalau sampai ibuku tau, aku sudah pasti di tarik paksa pulang ke Bandung. Di fase kehidupan ini berbohong sesekali sudah tidak membuatku takut lagi.

Meski begitu, sebisa mungkin aku tetap konsisten dengan janjiku pada orang tuaku. Aku akan menjadi lebih dewasa, mandiri dan independent. 

"G.Ferdian. M. Ars" aku mengeja nama dosen yang tertempel di pintu kaca hitam transparan di depanku.

"Akhirnya kutemukan juga ruangan ini" aku melap keringat yang mengucur setelah dari tadi mondar-mandir celingukan mencari ruangan ini, dengan sapu tangan yang diberikan si dosen brewok kemarin. Aku belum bertemu dengannya lagi setelah kejadian memalukan di perpustakaan itu, makanya sapu tangan ini masih berada ditanganku. Aku tidak mau pusing-pusing berusaha mencarinya. Hidupku saat ini terlalu sibuk dengan tugas yang diberikan oleh dosen-dosen yang tidak punya belas kasihan. Baru pertemuan pertama saja tugas sudah menumpuk.

Tok...tok...tok

"Permisi"

Tidak ada jawaban dari dalam. Rasa kesal menjalar di sekujur tubuhku. Setelah berjalan menaiki tangga dari lantai 1 ke lantai 3, ternyata aku mendapatkan hasil yang nihil, OMG!!!! Kakiku tidak akan sanggup untuk turun dengan tangan hampa. Hari ini pokoknya aku sudah harus bertemu dospemku.

Kuketuk pintu kaca hitam itu sekali lagi. Sama saja tidak ada jawaban. Merasa tak akan ada orang yang akan membuka, ditambah lagi setelah mengintip menempelkan wajahku yang berminyak ke kaca hitam gelap itu, di dalam ternyata tidak ada orang. Aku memutuskan untuk datang lagi besok. Biar saja kakiku ini meraung-raung lagi menuruni seribu satu tangga turun. Kebetulan sekali memang hari ini, saat ini, jam ini, detik ini, lift gedung sedang perbaikan. Kebetulan sekali memang.

Mr. Brewok muncul berjalan kearahku sambil membaca buku tua yang sama sewaktu di perpustakaan, saat aku sudah membelakangi pintu.

"Mampus...saputangannya, kan, baru aku pake tadi. Belum dicuci lagi" aku menepuk jidatku "aku pergi aja deh" aku pun memutar arah dan bersiap-siap untuk lari.

"Hei...kau, sedang apa berdiri disitu?"

Ingin rasanya tak memperdulikan suara yang sangat dingin itu, tapi helllow dia itu dosenku. Terpaksa aku berbalik menghadapnya lagi.

"Eh bapak...selamat siang, eh, sore pak hehehe"

"Sedang apa?"

"Saya sedang menunggu dosen pembimbing saya pak"

Dia menoleh sebentar kearah ruangan dospemku dan kembali menatapku dengan jurus pembekunya.

"Tuhan keluarkan aku dari situasi ini, aku tidak suka kekikukan yang seperti ini" batinku pun ikut memberikan rasa prihatin. Sedari kemarin imageku sudah jelek dimatanya. Tidak ada lagi yang tersisa untuk terlihat seperti mahasiswa normal lainnya di depannya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia langsung memasuki ruangan yang kuketuk tadi, menutup pintu tepat di hadapan wajahku. Keningku berkerut. Kenapa dia masuk kedalam? Ada urusan apa dia dengan dospemku? Jangan-jangan dia mau melaporkan peristiwa terlambat 2 hari lalu? Sebenci itukah dia padaku? Aku kan masih mahasiswa baru. Benar-benar tidak ada toleransi di kampus bergengsi ini.

Atau jangan-jangan....

What!!!! Apa!!!!! Gak mungkin...ga mungkin. Cepat-cepat kugelengkan kepalaku.

Tapi kalau ia gimana?

Dia?! OMG!!!  Oh noo...tidaaaaaak....ayah ibu keluarkan aku dari kampus ini. Kampus tidak berkeprimahasiswabaru-an ini. Samar-samar kudengar suara musik klasik menyayat hati mengalun disekelilingku. Membuat kaki dan tubuhku kaku tak bisa bergerak. Setelah semua kejadian-kejadian memalukan yang kualami, mengapa aku harus terikat seperti ini padanya. Aku tidak bisa membayangkannya..tidak bisaaaa...!

Suara pintu terbuka terdengar dari ruangan itu membuyarkan kecamuk di kepalaku. Si Mr. Brewok keluar menyandang tasnya, mengunci pintu ruangan itu. Sepertinya dia sudah mau pulang. Aku hanya bisa diam terkaku tak bisa berbuat apa-apa. Tujuan utamaku datang ketempat ini untuk melakukan bimbingan sebagaimana mahasiswa baru lainnya lakukan. Semua niat itu...sudah lenyap terlupakan dengan kenyataan tak terduga ini. Selesai mengunci pintu, dia pun beranjak pergi melewatiku, tanpa memberikan respon atau ekspresi apa pun. Sudahlah, perkuliahan yang mulus lancar jaya sudah lenyap di depan mata. 

Setelah dia lenyap di telan tangga-tangga itu, aku segera mengintip kedalam ruangannya. Dari pintu kaca hitam transparan itu, mataku mmeicing fokus melihat foto seorang pria berjambang berwajah dingin sedang tersenyum memakai toga tertempel dengan elegan di dinding sudut kanan. Sudut yang luput olehku saat mengintip kedalam sebelum ini. Aku tak memperdulikan betapa cantiknya wanita yang ada disampingnya di foto itu. Yang menjadi fokusku adalah senyumnya yang manis kaku dan sangat berbeda dengan ekspresinya beberapa hari lalu. 

Hal yang yang paling penting, dia adalah dospemku. Dospem yang tidak di kenali oleh mahasiswinya sendiri. Dan...mahasiswinya itu adalah aku. Bahkan sejak awal kami bertemu di perpustakaan. Oh no!

Suara musik klasik  menyayat hati dikepalaku itu tadi mengalun semakin kencang, mengiringi bayangan-bayangan mengenai hari-hariku selanjutnya di kampus ini. Nilai D bahkan E berputar menari-nari seakan mengejekku.

"Glek!!! Aku menelan ludah, respon atas gambar-gambar yang terpampang di otakku itu. Tubuhku seakan mengecil dan ikut menari berputar-putar berpegangan tangan dengan kedua nilai D serta E itu. Kami bahkan saling tertawa, tersenyum dan berpelukan.

Mungkin ini adalah karma atas dosaku berbohong pada orang tua. Aku ingin cepat-cepat pulang ke kosan lalu tidur, lalu besoknya aku sudah di dunia antah berantah. Memulai hidup yang baru lagi.

***

Apa yang harus kulakukan? Apa??? Aku menekuk kakiku dan menekan dagu di lutut. Kucakar-cakar karpet bulu putih yang tak berdosa ini.

Insiden tadi sore di depan ruangannya masih sangat jelas terbayang. Terjadinya kedipan mata perpustakaan itu, kedipan mata pembekunya yang sampai saat ini tak bisa kumengerti apa maknanya, ekspresi datar wajahnya, senyum manisnya difoto itu juga....

"Aiiih Muffin...kenapa jadi itu yang kau pikirkan?" aku memukul-mukul kepala "Pikirkan tentang nasibmu selanjutnya, dia dosen dari salah satu mata kuliah yang kau kontrak, juga dosen pembimbingmu, dan kau...tidak mengenalinya. Pikirkan langkah selanjutnya Muffin pikirkan?? Aaakhhh!" aku semakin beringas mencakar-cakar karpet bulu itu. Tubuhku sudah berbaring tapi pikiranku masih bermain-main. Mataku nanar menatap tembok.

Ini memang salahku memilih dia. Kalau saja aku lebih teliti membaca Rencana studiku, kalau saja aku memilih dosen yang lain, mungkin saja nasibku bisa tertolong. Ya, entahlah apakah dosen lain juga akan setega dia mengusirku dari kelas. Tapi setidaknya dosen lain bukan dosen pembimbingku. 

Mulut lancang ini yang dengan lancarnya menyebutnya dosen tidak bertanggung jawab tepat di depan wajahnya tadi mendadak panas membara. Sekarang aku mengerti mengapa dia tersenyum seperti itu. Senyum aneh. Senyum misterius. Senyum penuh kelicikan.

"Apakah ini awal nasibku menjadi mahasiswa abadi nantinya?" Pikirku. Nilai D dan E yang menari denganku tadi kini muncul lagi. Mereka memanggil-manggil namaku. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Air mataku menetes. Tiba-tiba pintu besar muncul di belakang mereka dan dengan sigap mereka berdua membukakan pintu itu. Dalam sekejap cahaya terang memenuhi seluruh ruangan. Ditengah-tengah silaunya cahaya itu, mataku menangkap pria si pemilik kedipan mesum itu berjalan keluar. Jari telunjuknya mengarah padaku. Senyumnya licik. Tiba-tiba di tangannya sudah ada pistol hitam. AKu menggerak-gerakkan tubuhku yang tiba-tiba kaku. Sekuat tenaga ku kerahkan tapi tidak ada artinya. Air mataku kembali menetes lebih deras saat pelatuk pistol itu sudah di tarik olehnya. Kupegang dadaku yang mengucurkan darah. Nafasku sesak. Inikah ajalku? Inikah akhir hidupku? Bukannya menolong, mereka semua malah tertawa sambil berkacak pinggang. Aku jatuh kelantai dan...

Ponselku berbunyi nyaring membuatku terbangun. Seluruh tubuhku berkeringat. Aliran udara dari hidung dan jantungku sudah tidak beraturan. Aku segera mengambil ponsel. Tulisan alarm berderet menghiasi layar. Pukul 05.25. Setelah diusir dari kelas kemarin itu, aku menyetel alarm sebanyak 5 kali berturut-turut setiap 5 menit. Volumenya maksimal. Aku tidak peduli tetangga kamar akan terganggu. Kuliahku sudah hampir amblas dari hari pertama,tidak ada waktu memikirkan kenyamanan mereka lagi.

Kakiku goyah saat mulai bangkit dari kasur. Kamar mandi seketika menjadi sangat jauh. Seperti berjalan di gurun pasir panas terik. Keringat membuat rambutku lepek, padahal baru kemarin aku keramas. Mimpi itu membuat pekerjaanku bertambah lagi. Ke-Ra-Mas. Keramas adalah pekerjaan yang tidak kusukai. Keramas adalah musuh besarku. Mengapa kita harus keramas jika nantinya rambut kita akan kotor lagi?, pikirku setiap kali akan keramas. Itu salah satu mantra wajib sebelum rambut sepinggangku ini kuguyur air. Seluruh tubuhku menjadi kaku seketika ketika air itu sudah menyentuh kulit kepalaku. Aku benci keramas. Aku benci Mr. Brewok. Aku benci menjadi dewasa. Mungkinkah aku juga membenci diriku yang tidak bisa menghadapi semua ini dengan cara yang dewasa?. Diriku yang ada di kaca di hadapanku menatap datar seakan mengatakan bahwa dia sudah muak dengan semua drama-drama di pagi hari ini. Dia pergi meninggalkanku.

"Menjadi dewasa itu memang tidak menyenangkan" teriakku padanya. Dia tidak perduli lalu menghilang. Air mataku menetes. Hatiku perih sekali. Dulu semua masalah apa pun itu, ayah dan ibu pasti selalu membantu membereskannya. Sekarang, terlalu malu rasanya jika meminta bantuan mereka lagi. 

"Bisakah aku kembali saja ke masa kecilku dulu?" bisikku pada diriku sendiri. Nafasku semakin berat saat aku menyadari hari ini jadwal kuliahku full dari pagi sampai sore. Kembali kusesali mengapa aku mengambil jadwal seperti ini. Kemarin kau terlampau bersemangat. AKu sangat yakin bisa menanggungnya. Tetapi, kenyataannya akulah si mahasiswa yang salah pilih itu. Rasa semangat kemarin entah kemana perginya. Beban SKS semester ini seperti berton-ton rasanya beratnya.

"Si Mr. Brewok G. Ferdian itu juga...kenapa asal main tandatangan aja? Kenapa dia tidak memberikan masukan-masukan. Kenapa.....?" suaraku bergema hampa di kamar mandi. Terdengar suara tembok di pukul berkali-kali. Kesabaran tetangga kosanku pasti sudah habis.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • I Love You, Mr. Brewok   Pertanyaan Aneh Di Parkiran Mall

    “Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra

  • I Love You, Mr. Brewok   Sepakat Melalui Bahasa Cinta

    Bahasa-bahasa cinta tidak akan jadi penghalang untuk berita apapun, baik dan buruk ketika akan disampaikan pada kekasih. Bahasa-bahasa cinta ada dalam setiap nada dan ritme dari dua pasang insan yang tulus saling mencinta. Bahasa-bahasa cinta jadi jembatan diskusi tentang masa depan. Ferdian mencoba mencari cara mendapatkan bahasa-bahasa yang tepat untuk mengutarakan rencana masa depannya kepada Muffin. Dia sampai harus meminta bantuan mas Ian menemani agar penjelasan apapun nanti yang dia berikan, tidak melenceng, tidak membuat masalah semakin runyam. “Fer, udah tenang aja. Muffin itu termasuk dewasa untuk seumurannya. Cara berpikirnya sudah mulai matang” “Aku tau, mas” “Nah, ya udah. Apa yang kau gelisahkan? Itu kopimu sampai dingin. Seruput dulu” mas Ian menyodorkan gelas kopi Ferdian, memaksanya meminum kopi hitam kental. Ferdian menerimanya setengah hati sambil terus memeriksa pintu masuk kedai kopi modern kesukaan anak-anak muda Jakarta. Mall sore itu tidak terlalu ramai di h

  • I Love You, Mr. Brewok   Not Enough

    “Grace, ini semua sudah tidak bisa diselamatkan lagi” “Aku masih belum rela, bu Nilam” Bu Nilam menghempaskan nafas sabar sambil mengelus rambut Grace yang sedang menangis di pangkuannya. Di ruang tamu rumah bu Nilam, Grace menangis tersedu-sedu. “Beberapa dosen dan mahasiswa sudah mulai curiga, bu. Kalau sampai hubungan mereka benar-benar terpublish, aku semakin tidak siap untuk berpisah dengan Ferdian” “Apa Ferdian benar-benar sudah memikirkan keputusannya itu?” Grace mengangguk, bangkit duduk berlinang air mata. “Ferdian akan mengalah” “Dia benar-benar mengatakan itu?” “Dia akan mengejar impiannya lagi. Jadi Arsitek. Dia akan meninggalkanku sendirian, bu” Grace menumpahkan lagi tangisnya di pangkuan bu Nilam. “Kenapa baru sekarang kamu mengakui semua ini, Grace? Dulu kamu selalu mengeluh ini itu tentang Ferdian, saya sampai bingung sendiri hubungan kalian itu sebenarnya apa. Saya bukannya memihak mereka, tapi Ferdian juga berhak menentukan kebahagiaannya sendiri begitu juga

  • I Love You, Mr. Brewok   HE IS MY MAN!

    Langit mendung menggelayut. Jalanan sepi. Hanya ada aku dan Miss Grace berdiri sejajar di depan halte busway tempat biasa aku dan Mr. Brewok bertemu. Lewat bu Nilam, tiga hari setelah Promise Ring, Miss Grace bermaksud ingin bertemu denganku. Berdua saja. Aku tidak tahu apa yang akan kami bicarakan disini, tapi aku tahu pasti Mr. Brewok sedang mengintai dari kejauhan sana. Mobilnya itu sangat ketara meski dari jarak jauh. Meski Miss Grace meminta agar Mr. Brewok tidak diberitahu mengenai pertemuan ini , aku yakin bu Nilam tidak akan tahan menyimpan informasi ini darinya. Angin sore melewati kami berkali-kali, dihempas orang-orang yang sesekali berlalu-lalang. Sudah 30 menit berlalu, belum ada pembicaraan apapun setelah sapaan selamat sore yang sama-sama kami ucapkan tadi. AKu mulai merasa dia sedang mengulur-ulur waktu. Awalnya aku kikuk berada di samping miss Grace, menebak-nebak dan mengira-ngira kapan ini semua akan dimulai. Sudah pasti Promise Ring akan masuk ke dalam pembahasan i

  • I Love You, Mr. Brewok   Promise Ring

    “Surprise...!!!” Ariana, Bu Nilam, Mas Ian dan Mbak Hara meneriakkan Surprise begitu penutup mataku dibuka. Mereka memakai Kemeja putih dan celana cream, sama seperti yang aku dan Mr. Brewok pakai. Bedanya mereka memakai topi kerucut ulang tahun dan pernak-pernik warna-warni lainnya, meniupkan terompet kertas. Lagu Selamat Ulang Tahun terdengar dari speaker dari meja bulat kecil yang menempel di tiang sisi kanan di iringi suara mereka menyanyikan lagu yang sama. Sempat mematung sebentar, lalu akhirnya aku ikut tertawa, memandang bahagia mereka satu persatu, bernyanyi sambil tepuk tangan memeriahkan suasana. Mr. Brewok memeluk pinggangku ketika wajah bahagiaku meminta penjelasan “Happy Birthday sayang” bisiknya “Maaf surprisenya baru sekarang” ucapnya lagi memberikan buket bunga berwarna pink salem. Glitter dan pita-pita indah menghiasi. Aroma bunga asli menambah semerbak keindahan pria yang menjadi kekasihku di mataku. Kupeluk dia memancing suara teriakan mereka riuh bercampur denga

  • I Love You, Mr. Brewok   Menikah?

    “Memangnya kamu punya target menikah di umur berapa?” “Umur 30?” “....” “....” “Ok” “Ahahahahaha...Got you...” Muffin bergelayut di tangan dan bahu Ferdian di bawah langit sore Taman Situ Lembang. “Dasar kamu...” Ferdian balas mengelus rambut Muffin. Angin sejuk, air mancur dan landaian rumput hijau di depan mereka tampak seperti taman di pegunungan dingin. Lautan manusia-manusia tidak terlihat oleh kemesraan itu. Duduk di kursi kayu berwarna-warni di antara begitu banyak orang, mereka berusaha untuk terlihat biasa saja meski di dalam hati ada rasa takut kalau-kalau ada yang mengenali. Muffin sangat bosan ketika Ferdian mengajak jalan ke Mall lagi. Setelah permasalahan mereka selesai dengan pelukan itu, hubungan Muffin dan Ferdian semakin erat. Hampir setiap hari menyempatkan waktu untuk bertemu. Mall selalu menjadi tujuan utama mereka. Lebih simple dan praktis, semuanya ada di dalam, lebih aman juga, ucap Ferdian ketika Muffin bertanya kenapa pergi ke Mall. Memang sesekali me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status