"...Cinta yang tulus itu membawa berkat, membawa keberuntungan, kebahagiaan, membuka jalan, membawa kebaikan. Kalian tidak usah takut kedepannya seperti apa. Kalian tinggal sepakati saja, yakini jalan itu dengan landasan cinta kalian, aku bisa jamin apapun nanti yang terjadi setelah ini, kalian pasti akan mendapatkan kemudahan. Aku dan mbak Hara, sudah merasakan dan mengalami itu" by : Mas Ian *Yeeey finally upload juga wkwkwk. Lagi sibuk dengan urusan dunia perempuan yang hampir kepala tiga a.k.a pencarian jati diri.
“Kalau besok-besok bapak berubah pikiran, masih bisa, loh, pak” ucapku pada pak Ferdian. Dia sedang sibuk mencari kunci motor di tas hitamnya. Setelah selesai membahas banyak hal termasuk tugas-tugasku di kampus, mas Ian pamit pulang duluan karena masih ada janji dengan mbak Hara. Kami berdua masih tinggal sebentar di kafe lalu akhirnya memutuskan untuk pulang setelah pak Ferdian sudah mulai terlalu dalam menjelaskan tugasku. Dia bahkan membuatkanku PPT. “Muffin...kamu lihat kunci motor tidak?” tanyanya tidak menghiraukan ucapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sepertinya ketinggalan di kafe. Kamu mau tunggu di sini saja. Biar aku yang kesana. Kamu pakai kipas portabel ini kalau kepanasan. Tadi baru kubeli buat kamu. Aku sering lihat kamu kepanasan kalau habis lari ke sana kemari sambill bawa-bawa makethmu” ucapnya manis sambil memberikan kipas juga permen karet. Ingin kupeluk saja rasanya pria ini tapi dia sudah keburu pergi setelah memberantakkan poniku. Melihat bagaimana ra
Bagaimana bisa hidup ini berlalu begitu cepat. Masa-masa indah menjadi kenangan. Tangis bayi di kamar persalinan sudah berganti menjadi keluh kesah di masa dewasa. Masa kanak-kanak berganti menjadi kesendirian. Hampir setiap hari keputusan diperlukan. Moment-moment hidup tidak lagi membuat antusias. Perlahan-lahan hidup pun tidak bergerak, hanya dunia yang terus bergerak tidak mau menunggu.Diantara awal perubahan hingga menuju titik terendah lagi, ada jembatan penghubung. Ada proses berbentuk jembatan menghubungkan awal dan akhir. Di jembatan itulah kehidupan kita yang sebenarnya terjadi. Di jembatan itulah awal mengantar kita ke akhir selangkah-demi selangkah. Awal dan akhir semuanya keputusan Tuhan. Akan tetapi, pilihan tetap di tangan kita sendiri.Jembatanku akan kubuka, kuceritakan pada kalian semua. Jembatanku penuh cerita. Jadi, akan kuambil yang terbaik menurutku untuk kuceritakan pada kalian.Jembatan itu...telah dibuka....***
Inilah pembelakaanku.Sebenarnya...ditengah-tengah perbincanganku dengan Ariana tadi, aku sudah sadar masih ada 1 Mata Kuliah lagi. Tetapi...saat mendengar curhatan Ariana tentang kedua orang tuanya yang sudah bercerai saat di Prancis, lalu dia lebih memilih kembali ke Indonesia tinggal di rumah neneknya yang tak jauh dari kampus, aku jadi tidak tega meninggalkannya. Setidaknya aku harus menghibur dan memberikan semangat padanya, karena saat dia merasa sangat terpuruk waktu itu aku sebagai sahabatnya tidak ada disampingnya.Barulah, saat temannya mengirimkan pesan bahwa dosen sudah datang, aku bisa melepaskan diri darinya. Tapi itu sudah 35 menit berlalu dari jam Mata kuliah si dosen brewok itu. Maka, sekencang apapun tadi aku berlari tetap saja terlambat.“Hufth...Tapi setidaknya, yah, seharusnya dia bisa menghargai usahaku yang tetap berusaha menghadiri mata kuliahnya. Apalagi aku mahasiswa baru. Harusnya para dosen-dosen itu bisa mentolerirlah. Di
Merantau jauh dari orang tua walau hanya beda provinsi, di satu sisi membuatku senang karna aku bisa bebas menjalani hari-hariku tanpa di awasi oleh orangtua, tanpa pertanyaan ini itu, tanpa larangan ini itu. Di sisi lain, segala sesuatunya benar-benar kulakukan sendiri dari mulai membuat sarapan, membersihkan kosan, mengisi listrik, memperbaiki kalau ada yang rusak dan sebagainya. Semua serba sendiri. Kalau di rumah orang tua dan pembantu sudah siap siaga, di sini tangan dan otakku harus siap siaga mengantisipasi segala sesuatu yang memerlukan perbaikan.Sesekali kalau lagi malas, membeli makan di luar sudah jadi salah satu kebiasaanku. Tak kusangka makanan di warteg, nasi padang, pecel ayam, fried chicken dan jajanan di pinggir jalanan bisa seenak. Selama ini orang tuaku tidak pernah mengizinkanku memakan makanan-makanan itu. Mereka bilang makanan-makanan itu tidak higienis.Kalau dari dulu aku tahu ada makanan seenak itu, aku pasti ti
Ada 3 unsur wajib dalam merancang bangunan. Unsur keindahan, unsur kekuatan dan unsur fungsi bangunan. Simple sekali memang. Seharusnya begitu. Tetapi bila yang menjelaskan itu adalah dia, si Mr. Brewok itu, semuanya memantul setelah menyentuh kulit jidatku. Belum sempat penjelasannya itu di proses di dalam otak, kulitku sudah mengusir mereka semua pergi seakan-akan itu akan membuat hidupku semakin tidak karuan. Tidak ada satu pun penjelasan darinya yang bisa kumengerti. Pikiranku sibuk mencari-cari cara bagaimana caranya menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Terutama menjelaskan curhatan colongan di perpustakaan. Hanya mata kuliahnya saja yang membuatku gelisah dan gusar. Padahal sebenarnya tidak ada kesulitan yang berarti. Mata kuliah lain yang bahkan tingkat kesulitannya ada yang jauh lebih tinggi saja masih bisa kukuasai meski megap-megap. Selama 1 bulan ini, di luar semua berjalan normal seperti biasa karena aku juga tidak mau bertemu dan tidak berusaha untuk bertemu dengannya. B
"Dia itu duda, Fin. Duda tanpa anak" ujar Ariana. Dia menginap di kosanku. "Ah serius lo? Tau dari mana?" tanyaku tak percaya pada Ariana. "Ya elah semua penghuni kampus juga tahu kali, kecuali elu kayanya" "Ia, tah? Apa karna aku udah terlanjur bete sama dia kali, ya?” “Maybe” “Trus istrinya kemana?" "Nah itu dia, sampai sekarang belum ada yang tau mantan istrinya siapa. Dia baru 2 tahun disini dan waktu dia pindah kesini juga dia udah jadi duda makanya ga banyak yang tau tentang hal yang privasi seperti itu" "Ooo jadi dia baru 2 tahun disini. Trus trus ada gosip-gosip apa lagi tentang dia?" "Hmm...wait...wait...wait...Lo suka, yah, sama dia?" tanya Ariana sambil mengunyah keripik singkong yang kami beli di supermarket tadi sore. “Suka? Sebel sih lebih tepatnya” “Sebel bisa kadi suka loh ujung-ujungnya” “Gila mana mungkinlah. Gue masih kecil, Nana” “Trus emang anak kecil ga boleh suka-sukaan gitu?” “Ya, ga sama dosen juga kali” “Itu kan menurut, lo. Coba deh menurut hati
Ada panggilan masuk dari bu Nilam saat aku mengantar Ariana ke pagar kosan. Dia menginap di kosanku lagi setelah kami pergi ke Dufan kemarin. Untung saja Ojek online Ariana sudah menunggu sedari tadi dan tidak perlu menunggu lama aku pun mengangkat panggilan itu. Oh ia aku dan bu Nilam sudah saling mengenal karena sering bolak-balik ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Bu Nilam ternyata orang yang ramah dan sangat asyik diajak ngobrol. Semua topik-topik pembicaraan bisa dia ikuti. Dari pembahasan yang sudah ketinggalan jaman hingga yang up to date. Kami berbincang hanya sekali-sekali dan tidak membahas hal-hal privasi. Dari bu Nilam juga aku berkenalan dengan Miss Gracelia Handoko, wanita yang lebih mirip artis dari pada jadi penghuni kampus, juga yang dikabarkan sedang PDKT dengan si Mr. Brewok tentunya. Saat tau dia adalah dosen Bahasa Inggris di fakultas Psikologi aku sempat benar-benar kagum padanya. Tapi, setelah mendengar cerita Ariana, rasa kagumku berkurang begitu saja. Sig
"Ck!! Ayolah, Fer. Dia itu mahasiswimu. Bahkan belum genap 20 tahun" batin dan otak Ferdi saling beradu pendapat membuat dirinya hanya terpaku. Sementara tangannya mengendalikan setir mobil. Dia tidak menyangka pelukan yang tidak disengaja di perpustakaan tadi bisa mengacaukannya. Dia hanya ingi mencoba akrab dengan Muffin setelah beberapakali pertemuan mereka tidak mulus. Mahasiswinya itu selalu menunjukkan ketidaknyamanan setiap kali mereka bertemu. Dia hanya ingin mencoba menetralkan kembali semuanya. Pelukan itu melebihi ekspektasi. "Fer, kamu kenapa?" tanya Grace pada Ferdian. Bukannya menajwab dia hanya diam tetap berusaha fokus menyetir di tengah-tengah kegaduhan nalarnya. "Fer kenapa sih kok dari tadi diam aja? Lagi mikirin apa, sih?" Grace semakin mendesak, tapi tetap saja ferdi diam dan lebih memilih menyimpan semua fikirannya. Grace yang sudah mengerti bagaimana watak pria disampingnya itu pun berhenti bertanya. Grace membuang wajah kesal keluar jendela mobil. "Grace..."