Share

Lamaran

Benda di pergelangan tangan menunjukkan pukul 16.40. Aku dan Sherly berkeliling di lantai dasar mall ini, sambil sesekali melihat ke arah depan toko perhiasan dekat pintu masuk. Namun, Arkan belum juga menampakkan batang hidungnya. Mulai bosan, akhirnya aku putuskan untuk menunggu di depan toko perhiasan.

"Kita tunggu di sini aja, ya," pintaku pada Sherly.

"Ok, aku ikut aja. Eh, Ri, mending kita lihat-lihat aja dulu, cincinnya."

Benar juga apa kata Sherly, sambil menunggu Arkan yang katanya sekitar lima menit lagi sampai. Aku mulai menyusuri etalase emas toko ini. Sebenarnya aku tidak begitu menyukai perhiasan, apa pun itu. Melihat emas berjejer di depan mata, tak ada ketertarikan sama sekali. Kalau disuruh memilih, pasti aku tak bisa menentukan pilihan. Semua tampak cantik mengkilap.

"Ri, lihat deh yang paling atas, ke-dua dari ujung kanan, itu cocok untuk kamu," ujar Sherly, jarinya menunjuk ke arah pojok etalase.

"Iya, ya. Aku mah nggak bisa milih, terserah Arkan aja, yang penting ukurannya pas."

"Ish kamu mah, udah yang itu aja, simple tapi manis. Cocok melingkar di jari kamu."

Untuk urusan ini, aku serahkan pada Sherly dan Arkan. Aku terima beres saja, lain hal kalau aku menyukai perhiasan. Pasti sudah kupilih sesuai seleraku. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang dari belakang.

"Riri, Sherly, maaf, ya nunggu lama." Arkan datang dengan rambut yang sedikit berantakan, anak poninya berjejer tak beraturan di keningnya. Mungkin ia tak sempat merapikannya karena terburu-buru. Wajahnya basah dengan keringat, terlihat ... maskulin. Uhhh. Merasa diperhatikan, ia langsung menunduk.

"Gak pa-pa kok, Riri jadi bisa lihat-lihat dulu, mana yang mau dipilih," sahut Sherly.

"Oh, ya? Kamu pilih yang mana, Ri?" Arkan bertanya, matanya menyusuri barisan cincin dalam kaca.

"Yang ke-dua dari pojok kanan atas," jawab Sherly bersemangat.

Sebenarnya yang mau lamaran siapa sih? Emang dasar Sherly, hufftt. Tak salah aku mengajaknya, dia paling mengerti sahabatnya ini. 

"Benar, yang itu?" tanya Arkan meyakinkan.

"Iya, cincinnya simpel, aku suka." Terpaksa aku berbohong, demi menjaga perasaan Arkan. Bukankah menyenangkan orang lain itu berpahala?

Arkan meminta pegawai toko mengambil cincin yang kupilih untuk mencobanya. Pegawai itu memberikan cincin padaku, lalu aku pakai di jari manis sebelah kiri. Ukurannya pas sekali. Pilihan Sherly memang pas. Akhirnya cincin itulah yang dibeli Arkan.

Setelah membayar dengan sejumlah uang, Arkan mengajak aku dan Sherly ke food court. Dengan halus, aku menolaknya. Aku bilang padanya kalau tadi kerjaan di kantor sangat banyak , aku lelah dan ingin cepat pulang.

*

Dua minggu berlalu, hari yang dinanti telah tiba. Aku menatap pantulan wajah di cermin. Riasan tipis yang sangat sederhana tetapi tampak memesona. Ya, aku jarang sekali berhias. Kata Mama, wanita yang biasa polos tanpa make up, wajahnya akan terlihat pangling. Gamis brokat dipadu dengan jilbab crepe diamond. Warna pastel mendominasi pakaian dan hiasan ornamen di dinding ruang tamu.

Aku tetap menunggu di dalam kamar, sebelum acara penyerahan cincin. Dari dalam terdengar suara perwakilan keluarga Arkan. Adik dari papanya Arkan yang memperkenalkan dirinya itu, menjelaskan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah ini. Acara berlanjut perkenalan dengan masing-masing anggota keluarga.

Kini, tiba di acara inti, yaitu pemberian cincin. Aku keluar kamar, menuju ruang tamu. Dalam sekian detik, semua mata tertuju padaku, tak terkecuali Arkan. Ia terlihat takjub, mungkinkah ia terpesona? Penampilan Arkan tak ada yang istimewa, sama seperti biasa. Hanya saja wajahnya memancarkan aura kebahagiaan. Ya, akhirnya aku berhasil membuatnya tersenyum. Andai aku bisa mengabadikan momen langka tadi, hihii. 

Aku duduk bersimpuh di samping Mama. Arkan berada tepat di depanku, berjarak sekitar dua lantai. Di sampingnya, ada calon ibu mertuaku. Arkan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berwarna merah. Ia membukanya, lalu mengambil cincin untuk kemudian di berikan pada Ibunya Arkan.

Sekarang giliran Ibunya Arkan yang memakaikan benda kecil berbentuk lingkaran itu pada jari manis sebelah kiri tanganku. Alhamdulillah, acara berjalan dengan lancar. Di penghujung acara setelah makan-makan, kedua keluarga sepakat untuk melanjutkan ke tahap pernikahan dua bulan kemudian.

*

Sebulan mendekati acara, Bayu memberi kabar kalau Arkan jatuh sakit. Kata Bayu, Arkan terlalu bersemangat mengurus persiapan pernikahan sampai sering menunda makan. Sudah tiga hari calon suamiku itu terbaring lemah di rumah. Gejala typus kata dokter yang memeriksanya. Bayu mengajak aku dan Sherly untuk menjenguknya.

Kami bertiga menjenguk Arkan sore hari sepulangnya dari kantor dengan menumpang mobil Bayu. Begitu sampai di rumah Arkan, ada motor matic terparkir di halaman depan. Sepertinya ada tamu yang datang, entah siapa. Setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu. Ibunya Arkan menyambut kedatangan kami.

"Eh, Neng Riri dan temannya, silakan masuk," ucapnya ramah.

Tanpa basa basi, kami bertiga pun langsung masuk. Betapa terkejutnya aku, melihat pemandangan yang tak mengenakan. Arkan duduk bersandar di sofa dengan mata terpejam. Di sebelahnya duduk seorang wanita cantik yang sedang memeras kain waslap untuk mengompres. Siapa dia?

"Arkan, ada Neng Riri datang," ucap Ibunya Arkan, lalu mempersilakan kami duduk.

Mendengar ucapan Ibunya, Arkan segera membuka mata dan menaruh waslap yang tadi sudah ditempelkan pada keningnya oleh wanita berambut panjang itu. Si wanita, tersenyum melihat kedatangan kami.

"Bayu, Riri, Sherly ke sini kok gak ngabarin dulu?" Arkan mengabsen kami.

"Biar surprised, Bro." Bayu menimpali.

"Arkan, ini untukmu." Aku memberikan bungkusan berisi buah dan beberapa makanan, kuletakkan di meja.

"Makasih, ya."

"Ini pasti yang namanya Riri, kan? Kenalin, aku Sandra, sepupunya Arkan." Tanpa diminta, tiba-tiba saja wanita ini memperkenalkan dirinya. Ia mengulurkan tangan, dan langsung aku sambut sembari tersenyum simpul. Jarak kami memang dekat. Aku duduk di pinggir sofa dekat dengan Sandra yang duduk berdempetan dengan Arkan di sofa tunggal.

Oh, sepupu. Sedekat itukah mereka?

"Maaf, ya, waktu lamaran kemarin aku nggak bisa datang," lanjutnya.

"Iya, gak pa-pa," jawabku.

"Aku ke dalam dulu, ya." Sandra melenggang ke dalam membawa baskom kecil berisi air dan waslap.

Arkan mengatakan kalau sebenarnya, ia hanya butuh istirahat seharian. Besok pasti sembuh, asalkan makan dan minum obat yang teratur. Lalu, mengalirlah obrolan ringan seputar pekerjaan antara Bayu dan Arkan.

"Ayo diminum dulu, seadanya saja, ya."

 Mamanya Arkan dan Sandra membawa minuman dan beberapa makanan untuk kami.

"Maaf, ya, Bu, jadi ngerepotin," celetukku.

"Iya, Bu. Kami nggak lama, kok. Cuma ingin tahu kondisi Arkan." Sherly menyikut lengan kananku.

"Nggak repot, Neng. Lha ini, apa?" Ibunya Arkan mengambil bungkusan di meja.

"Itu dari teman-teman, Bu," sahut Arkan.

"Uwa, Sandra pulang, ya. Arkan, pamit dulu, ya, semuanya." Sandra menganggukkan kepala, kemudian berlalu meninggalkan kami.

Setelah beberapa menit ngobrol, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Melihat kondisi Arkan yang masih lemas, harus banyak istirahat. Bu Rukmini--Ibunya Arkan--menahanku di ambang pintu. Ia memaksa supaya aku tetap tinggal untuk makan malam bersama.

"Ya, Neng? Kapan lagi bisa makan bareng. Sebentar lagi Nindi pulang, kalian bisa kenal lebih dekat." Nindi itu adiknya Arkan.

Sherly menatapku dengan isyarat mata, menyuruhku untuk mengiyakan ajakan Bu Rukmini. Dengan berat hati, aku terima tawarannya. Bayangan soto ayam dengan kepulan asapnya, taburan bawang goreng dan sedikit perasan jeruk nipis buatan Mama yang menanti di meja makan, menguar seketika. Ya, padahal aku sudah menahan liur sejak Haikal--adikku--mengirim gambarnya melalui pesan w******p beberapa menit yang lalu.

Sherly dan Bayu pamit. Tinggallah aku di sini dengan perasaan yang ... entah. Bu Rukmini mengajakku ke dalam. Arkan sudah berada di kamarnya sejak kami berpamitan tadi. Jadi, ia tidak mengetahui kalau aku masih di sini.

Azan Magrib berkumandang, aku meminta izin untuk ke kamar mandi. Ketika sedang berwudhu, tiba-tiba saja pintu kamar mandi digedor, membuatku kaget.

"Nindi, buruan! Abang mules nih!" seru Arkan dari balik pintu.

Duuh, Pak Arkan! Segera kupercepat merapikan jilbab. Seiring detak jantung yang berdegup cepat, entah efek kaget atau apa. 

"Nindi ...!"

Perlahan kubuka pintu. Baru setengah terbuka, ia langsung merangsek masuk. Lalu, wajahnya tampak terkejut begitu badan kami bertabrakan. Matanya membulat sempurna. Ekspresi wajahnya membuatku menahan tawa.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status