"Maaf, Pak! Eh ... Arkan." Aku menutup mulut. Sesaat matanya tak berkedip. Lalu, aku langsung melesat keluar meninggalkannya. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu ditutup agak kencang. Aku menghela napas sambil mengelus dada. Hufft.
Selesai salat, aku merapikan jilbab yang berantakan. Kamar Nindi ini sangat nyaman, dengan nuansa hijau yang menyejukkan mata. Dari mulai dinding, sprei, meja belajar sampai sisir yang tergantung di cermin, semua berwarna hijau.
Setelah penampilan rapi, aku beranjak ke ruang depan, kemudian duduk di sofa. Sudah lewat magrib, belum ada tanda-tanda Nindi pulang. Pak Hamka--bapaknya Arkan--juga belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, dulu aku tak pernah berani pulang sekolah lewat dari jam lima sore. Mungkin saja, Nindi sedang ada tugas sekolah yang urgent.
"Lho, Neng Riri kok malah duduk di sini? Ayo, ke dalam, kita makan. Sudah lapar, 'kan?" Bu Rukmini menghampiri, lalu menarik lenganku pelan.
Di dalam, terlihat Arkan sedang duduk. Tangannya sibuk menuangkan minuman ke dalam gelas yang berjejer. Ruang tengah rumah ini memang menyatu dengan ruang makan. Begitu masuk, pandanganku dapat melihat meja makan yang letaknya di sudut ruangan tidak jauh dari lemari televisi.
Bu Rukmini menarik kursi di sebelah Arkan. Lalu, menyuruhku untuk duduk. Tanpa menjawab, aku langsung mendaratkan pantat di kursi yang hanya berjarak satu lantai dengan Arkan. Ia sama sekali tidak menoleh atau pun bersuara. Sikap dinginnya ini mulai membuatku bosan.
"Cukup, Bu." Arkan mengambil piring berisi nasi dari tangan Ibunya.
"Makan yang banyak, Bang. Biar kamu ada tenaga."
Pria di sampingku ini masih saja kaku. Apa dia masih malu dengan kejadian tadi? Mana ada seorang guru yang irit bicara seperti ini?
"Neng Riri makan yang banyak, ya. Ayo, jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri." Bu Rukmini memberikan piring yang sudah berisi nasi.
"Makasih, Bu."
Sayur lodeh, bakwan udang, tahu, dan sambal. Sungguh menggugah selera makan, membuatku menelan air liur. Oh, ya, tidak ketinggalan kerupuk kaleng seribuan yang tersimpan manis dalam toples bening di sudut meja. Bagaimana aku mengambilnya? Jujur saja, aku masih malu.
"Kerupuknya, Neng." Seperti tahu pikiranku, Bu Rukmini mengambilkan toples kerupuk yang sudah dibuka. Dengan senang hati aku mengambil satu kerupuknya. Lagi, tak lupa kuucapkan terimakasih.
Kami makan dalam suasana yang hening. Hanya terdengar suara denting alat makan. Bu Rukmini sesekali melirik ke arah anaknya yang tampak malas-malasan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Nasi dalam piringku masih separuh ketika terdengar suara gaduh dari depan. Tak lama kemudian, muncul seorang gadis berseragam putih biru berbalut jaket hijau.
"Ibu ...." panggil gadis berambut ikal sebahu itu, menghampiri kami.
"Kebiasaan deh, bukannya salam dulu."
Nindi nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih bersih. "Tadi udah, Bu, begitu buka pintu. Ibu aja nggak dengar." Lalu, ia mencium tangan ibunya.
"Abang ganteng, gimana sekarang? Udah kuat adu panco belum?" Nindi mengalungkan tangannya ke leher Arkan dari belakang. Terlihat ... manja. Ia lalu mengacak-acak rambut abangnya itu.
"Nindi ...!" Akhirnya Arkan bersuara. Ia merapikan rambutnya dengan jari.
Nindi tergelak sambil berlalu ke kamar. Bu Rukmini yang memperhatikan hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku sampai tidak menyadari kalau Pak Hamdan sudah berdiri di depan lemari TV, karena asiknya melihat perlakuan Nindi pada Arkan. Ia sedang melepas jam tangan, lalu menyimpannya di samping TV.
"Pak ...." Aku menganggukan kepala seraya tersenyum.
"Silakan dilanjut, makannya. Bapak mau mandi dulu." Pria berbadan tegap itu berlalu.
Pak Hamdan bekerja di sebuah hotel berbintang lima sebagai supervisor security--kepala keamanan. Menurut penuturan Ayahku, tahun depan beliau sudah mulai pensiun. Ayah menceritakan padaku sesaat setelah keluarga Arkan pulang waktu lamaran tempo hari. Ia bilang, Pak Hamdan itu jago bela diri. Apa keahlian pria berusia lima puluh lima tahun itu menurun pada anaknya? Aku jadi membayangkan Arkan sedang berlatih karate. Hihii.
"Neng, kenapa? makanannya nggak enak, ya?"
"Eh, nggak kok, Bu. Enak, sambalnya mantap." Aku mengacungkan jempol.
"Bu, tadi pakai mukenaku, ya?" Nindi ke luar dari kamar, berjalan ke arah kami.
"Itu, tadi ibu kasih pinjam Neng Riri."
Nindi menatapku dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan. Sejak tadi, ia belum menegurku sama sekali. Ia mengedarkan pandangan ke meja makan. Lalu, tangannya mengambil bakwan udang dan langsung menggigitnya.
Setelah menghabiskan suapan terakhir, aku berkata, "Makasih, ya, Nin, mukenanya." Nindi tidak merespons. Ia masih asik mengunyah makanan di tangannya.
Aku hendak membereskan piring, lalu membawanya ke watafel untuk dicuci. Namun, Bu Rukmini melarangku. Katanya, biar Nindi saja, karena sudah menjadi tugasnya di rumah.
"Nanti aja, Bu, sekalian kalau aku udah makan." Ia berlalu menyusul Arkan ke kamar, masih dengan bakwan di tangannya.
"Bu, tolong siapkan sarung Bapak." Pak Hamdan datang dari arah dapur. Ia baru saja selesai mandi. Sepertinya, lelaki paruh baya itu ingin menunaikan Salat Magrib.
"Ibu tinggal sebentar, ya." Bu Rukmini beranjak ke kamar.
Ok, aku harus tunjukkan kepada Bu Rukmini, kalau aku ini adalah calon menantu idaman. Uhuuk. Aku melangkah ke dapur membawa piring kotor untuk dicuci. Saat hendak melewati kamar Arkan, aku mendengar gelak tawa suara mereka. Entah lelucon apa yang mereka tertawakan. Sepertinya mereka sangat akur.
*
Tiga hari sejak makan malam di rumah Arkan. Baru tadi subuh aku berkomunikasi lagi dengannya. Kesibukan di kantor, membuatku fokus menyelesaikan tugas sebelum masa cuti. Hari pernikahan tinggal dua minggu lagi.
Persiapan sudah sembilan puluh persen, hampir selesai. Pagi ini sebelum ke sekolah, Arkan akan mampir ke rumah membawa sebagian undangan. Sebagian lagi Arkan yang mengurusnya.
Aku masih duduk menunggunya di teras. Sambil menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Mama. Tak lama kemudian, terdengar deru mesin motor. Arkan datang bersama ... Nindi. Ia membuka pagar, lalu masuk menghampiriku.
Buru-buru kutelan pisang yang masih kukunyah, lalu berdiri menyambutnya. Tanpa membuka sepatu, Arkan meletakkan bawaannya di teras.
"Ini undangannya ada sekitar tiga ratusan lebih." Arkan menatapku sekilas. "Saya langsung pergi, ya, Nindi udah kesiangan."
"Tunggu ...!" Refleks aku menyentuh lengannya saat ia berbalik pergi.
"Kamu ... udah sehat?"
"Seperti yang kamu lihat," ucapnya datar. Ia berlalu meninggalkanku.
Masih kulihat dari sini, tempatku berdiri. Nindi tampak erat sekali memeluk Abangnya itu. Ia menyenderkan kepalanya di punggung Arkan. Posisi yang ... sangat nyaman bagi sepasang kekasih yang sedang berboncengan motor. Aku kok gemas, ya?
*
Hari Selasa, empat hari menjelang akad adalah hari terakhir aku bekerja. Karena, besok aku sudah mulai cuti. Setelah berpamitan pada Bos dan teman-teman, aku melangkah pergi. Ada sesuatu yang membuat langkahku berat, entahlah. Ah, mungkin aku saja yang berlebihan.
Aku akan mampir ke rumah Arkan untuk mengambil souvenir. Perjalanan dari kantor menuju rumah Arkan, ramai lancar. Hanya memerlukan waktu kurang lebih setengah jam lamanya.
Aku sengaja tidak mengabari Arkan. Mau tahu bagaimana responnya ketika aku datang. Aku melangkah pelan-pelan agar suara ketukan sepatu tak terdengar. Sebelum mengucap salam dan mengetuk pintu, aku merapatkan telinga ke daun pintu. Mencoba mendengar apa ada suara orang bercakap-cakap. Sunyi.
"Assalamu'alaikum." Kuketik pintu, sekali.
Belum ada jawaban. Aku ulangi sampai tiga kali. Terdengar ada jawaban salam dari dalam. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Wajah teduh dengan senyuman tulus menyambutku.
"Neng Riri, silakan masuk."
Aku mencium tangannya, kemudian melangkah ke ruang tamu. Aku duduk di sofa, sementara Bu Rukmini ke dalam, memanggil Arkan. Sengaja aku pindah duduk mengarah ke ruang tengah. Ingin melihat apa yang di lakukan Arkan karena terdengar suara cekikikan sejak aku masuk.
Benar saja. Aku kembali melihat kemesraan seorang adik dengan kakaknya. Mereka sedang makan sesuatu ... saling menyuapi satu sama lain. Ish, bikin aku ... cemburu. What? Kuralat, mungkin aku hanya, entahlah.
Mereka sempat melirik sekilas ke arahku setelah Bu Rukmini berbicara sesuatu entah apa tak begitu terdengar. Arkan menghentikan aksi menyuapi adiknya yang manja itu. Ia berdiri, lalu berjalan ke arahku. Menyusul Nindi di belakangnya.
"Riri, ada apa, ya?" Arkan duduk, Nindi mengikut di sampingnya. Ia merangkul mesra lengan Arkan, seolah-olah tak ingin pisah barang sedetik.
"Aku mau ambil souvenir. Supaya kamu nggak usah repot mengantar ke rumah. Kebetulan, aku pulang lebih cepat karena besok sudah mulai cuti, jadi sekalian mampir ke sini."
"Kamu yakin bisa bawa? banyak lho." Arkan tampak berpikir.
"Bisa aja, sebanyak apa sih? Bisa diikat di jok belakang, 'kan?"
Nindi menunjukkan rasa tidak sukanya atas kedatanganku. Terlihat dari wajahnya yang jutek dan tatapan matanya yang sinis.
"Begini saja, biar saya antar kamu, ya."
"Nggak boleh! Abang kan udah janji mau nganterin aku ke mall, gimana sih!"
Oh, My Allah! Calon adik iparku ini, benar-benar ....
Bersambung
Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t
Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,
Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."