Share

I Love You My Teacher
I Love You My Teacher
Penulis: Indhira Syah

Perkenalan

"Cieee ... yang mau ketemu calon suami, wajahnya berbunga-bunga nih!" Suara Sherly membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum menanggapinya. 

Sudah hampir sepuluh menit aku dan Sherly berada di sebuah kafe di bilangan Jakarta. Kami menunggu dua orang yang akan menemani makan siang. Bagiku, ini bukan makan siang biasa. Ya, karena tujuan dari pertemuan ini adalah perkenalan dengan calon suamiku. Calon? Entahlah.

Kemarin, tiba-tiba saja Sherly menelepon semenjak kurang lebih seminggu tidak ada kabar. Ia memintaku untuk berkenalan dengan seseorang. Awalnya aku menolak, tetapi Sherly bilang kalau temannya ini ingin sekali bertemu denganku. Pasalnya, Sherly sudah beberapa kali mempromosikan--menceritakan tentang--aku pada lelaki itu. 

Tak lama setelah pelayan membawa pesanan kami, dua orang yang ditunggu akhirnya datang. Setelah mengucap salam dan menyapa, kemudian mereka duduk.

"Maaf ya, kalau sudah menunggu lama," kata lelaki berbaju marun sembari menarik kursi, lalu duduk setelahnya. Diikuti pria berparas tampan di sebelahnya.

"Nggak lama kok. Iya, kan, Ri?" 

"Iya," jawabku dengan kepala mengangguk. 

Kami pun saling berkenalan. Teman Sherly namanya Bayu, dia teman satu kampus sewaktu kuliah. Bayu dan Sherly ingin menjodohkan aku dengan teman Bayu, Arkan namanya. 

Arkan? wajahnya itu, mengingatkanku dengan seseorang yang pernah kukenal. Dugaanku pun ternyata benar, aku memang mengenalnya. Pantas saja dari awal datang, wajahnya seperti tak asing bagiku. 

Bayu memperkenalkan Arkan denganku. Arkan adalah seorang guru di salah satu SMA Negeri di Jakarta Timur. Sekolah itu adalah tempatku menimba ilmu delapan tahun yang lalu. Tepat sekali, aku semakin yakin kalau ia adalah Arkan yang kukenal. Arkana Putra, seorang guru Bahasa Inggris. 

Wajahnya tak banyak berubah, alis tebal dan hidung mancungnya belum lagi sorot tajam matanya. Masih sama seperti enam tahun lalu saat ia menjadi guru baru di sekolahku. Kalian tahu kan? kalau ada guru baru, masih muda, dan wajahnya tampan, pasti bakalan jadi idola para siswi. 

Ingatanku kembali ke zaman di mana aku masih mengenakan seragam putih abu-abu. Waktu itu hari senin, Bahasa Inggris adalah pelajaran pertama setelah upacara selesai. Minggu lalu, Pak Arkan tidak mengajar karena sedang sakit. Hari ini, sejak di lapangan tadi aku tahu kalau Pak Arkan sudah masuk kembali. 

Seperti biasa,  Pak Arkan selalu menanyakan kabar kami sebelum mulai pelajaran. Khusus hari ini ia pun meminta maaf sebab minggu lalu tidak bisa masuk karena sakit. 

"Students, have you finished your home work?" tanya Pak Arkan sambil mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di white board. Tanpa menunggu jawaban, ia perintahkan kami untuk mengumpulkan PR. 

Aku mencari buku Bahasa Inggris di dalam tas, tetapi apa yang dicari tak kudapat. Sampai semua isi tas kukeluarkan. Tiba-tiba Pak Arkan datang menghampiri.

"Kenapa? Buku kamu ketinggalan lagi?"

"I-iya, Pak." Duh, gimana ini? sudah dua kali aku ketinggalan buku Bahasa Inggris. Aku baru ingat, setelah mengerjakan PR semalam ketiduran. Bukunya pasti masih ada di meja belajar. Kenapa sih, bisa sampai lupa lagi? 

"PR-nya sudah kamu kerjakan belum?"

"Sudah, Pak," jawabku dengan kepala menunduk. 

"Ok, sama seperti yang lalu, hukumannya kamu jadi asisten saya selama jam pelajaran berlangsung!"

"Iya, Pak!" 

Itulah perjanjian kami sekelas dengan Pak Arkan, waktu pertama kali ia menginjakkan kakinya di kelas ini. Jika ada yang tidak mengerjakan PR atau tidak membawa buku, maka harus dapat hukuman. Bagiku, hukuman ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Aku bisa menikmati wajah tampannya dari jarak lebih dekat. Ya, ada satu kursi yang disiapkan di depan meja guru untuk siswa yang dapat hukuman. Tentu saja dengan senang hati aku menempatinya. 

Selama pelajaran berlangsung, aku harus menggantikan Pak Arkan menulis di white board. Aku hendak melangkah ingin mengambil penghapus ketika tiba-tiba terjatuh akibat tali sepatu yang tak sengaja kuinjak. Refleks Pak Arkan menangkapku sebelum tubuh ini jatuh ke lantai. 

Oh my God! Ini seperti adegan di FTV yang sering kutonton. Sesaat mata kami saling bertatap. Sebelum akhirnya Pak Arkan melepaskan pegangannya pada tubuhku. Sontak teman sekelas bersorak riuh.

"Huuu ...."

"Mmm makasih, Pak!

"Benarkan tali sepatumu!"

"Iya, Pak!"

Kejadian itu masih sangat kuingat dengan jelas walau sudah enam tahun berlalu. Kini, ia ada di hadapanku, bukan sebagai guru. Namun sebagai calon pendamping hidupku. 

Ia tak banyak bicara, hanya sekali bertanya tentang pekerjaanku. Gaya bicaranya pun masih sama seperti dulu, kaku. Mungkin karena inilah ia belum menikah sampai sekarang di usianya yang sudah kepala tiga. Sulit sekali melihat senyuman di wajahnya. Guyonan Bayu pun hanya ia tanggapi dengan senyuman simpul. Ah, Pak Arkan semakin membuatku penasaran. 

"Riri, aku ke toilet sebentar ya," ucap Sherly.

Tak lama kemudian ponsel Bayu berbunyi tanda panggilan masuk. Bayu pun menjauh dari meja kami untuk menjawab teleponnya. Tinggallah aku dan Arkan berdua. Setelah beberapa menit saling diam, tiba-tiba ia bersuara. 

"Sepertinya mereka sengaja membiarkan kita berdua."

"Ya, mungkin mereka ingin memberikan waktu untuk kita ngobrol."

Hening. Kami kembali saling terdiam. Baiklah, sepertinya aku yang harus memulai. 

"Mmm ... rencana kamu apa selanjutnya setelah perkenalan ini?"

Mendengar pertanyaanku, ia menatapku lama. Ya, lama sekali seperti sedang mencari jawaban atas pertanyaanku tadi. Hingga akhirnya kalimat itu meluncur dari bibirnya. 

"Dua minggu lagi, aku akan datang ke rumah untuk melamarmu," ucapnya dengan mantap.

"Hah?" Aku terkejut. "Pak Arkan, yakin?"

"Ya. Kamu nggak mau? Oh, ya, jangan panggil bapak, Arkan saja." 

Aku hanya menjawab dengan anggukan. Ekspresinya kaku, membuatku gemas. Sekarang gantian aku yang menatapnya lama. Ia sepertinya sama sekali tak mengenaliku. Selain penampilanku yang berbeda, wajar saja bagi seorang guru yang tak ingat siswa dari sekian banyak jumlahnya. 

Aku mengenakan jilbab sejak semester akhir kuliah. Sementara di sekolah dulu aku masih mengenakan rok pendek. Tentu saja ia tak mengenaliku. Sedangkan penampilan Pak Arkan tidak ada yang berbeda, jelas aku mengenalnya.

Ada desiran aneh dalam dada ketika kami beradu pandang. Duh, kenapa wajahmu datar sekali, Pak. Mana senyummu? Tak apalah, nanti pasti aku bisa membuatmu tersenyum, lihat saja!

"Ehem ... jangan lama-lama liatnya woy, belum halal!" ucap Bayu sambil menepuk bahu Arkan, mengagetkannya. Membuatku terkekeh melihat ekspresi wajahnya tadi, lucu. 

"Gimana kelanjutannya, kawan?" tanya Bayu pada Arkan. 

"Gimana, Riri?" Arkan malah melempar pertanyaan Bayu padaku. 

"Tunggu Sherly datang ya," jawabku menetralisir rasa grogi yang tiba-tiba datang. 

Tak lama kemudian Sherly datang. 

"Sorry, ya, nunggu lama. Gimana, Ri pendekatannya?" 

Aku menatap Sherly, lalu pandangan beralih ke meja. Tiba-tiba lidah terasa kelu, seiring debaran di dada yang makin tak menentu. Kuaduk orange float di hadapan, memainkan sedotannya, berusaha menutupi rasa grogi yang masih menghinggapi. 

"InsyaAllah dua minggu lagi Arkan akan melamarku."

"Wah ... selamat yaa, Riri!" ucap Sherly sambil memelukku.

"Selamat, Bro! Akhirnya kawanku yang satu ini bakalan nikah juga," ucap Bayu sambil memeluk Arkan.

Suasana kafe mendadak terasa syahdu. Ditambah alunan lagu yang terdengar, menambah aura kebahagiaan di sekeliling kami semakin terasa. 

'Dengarkanlah wanita pujaanku

Malam ini akan kusampaikan

Janji suci kepadamu dewiku

.... '

*

Aku bekerja di kantor biro perjalanan. Semenjak maraknya penjualan tiket secara online, kantorku terkena imbasnya. Omset menurun, tetapi big boss masih bisa menanganinya. Bagian marketing yang tidak lain sang empunya beserta manajer dapat mengatasinya dengan ilmu pemasaran yang mumpuni. Aku hanya membantu sebisaku, mempromosikan paket wisata perjalanan di media sosial dan kepada teman-teman, terutama Sherly. Dia memiliki banyak l**k pertemanan yang menyukai traveling.

Kerjaan di kantor hari ini menumpuk. Menjelang akhir bulan, laporan dari berbagai cabang datang beruntun. Belum lagi, planning pembukaan cabang baru di Surabaya. Kepalaku terasa berat, seperti ditimpa beban. Pening. Aku memijat pelipis, sejenak memejamkan mata. Lalu mengatur napas, menghirup udara perlahan, kemudian membuangnya pelan-pelan. Rileks.

Daripada aku pusing memikirkan pekerjaan, lebih baik menepi sejenak. Cappucino adalah pilihan yang tepat. Aku bangkit, berjalan menuju pantry. Kantor ini memang sepi, hanya ada lima pegawai. Dua orang di bagian ticketing, aku bagian administrasi dan penjualan, satu orang kurir dan satu lagi manajer pelaksana harian.

Aroma cappucino membius indra penciuman, membuatku addicted. Entah sejak kapan aku ketagihan kopi ini. Bunyi ponsel mengusik ketenanganku. Ada pesan masuk dari seseorang.

[Riri, nanti sore bisa ketemuan?]

Pak Arkan. Mau apa, ya, dia? Mau ngajak dinner? 

[Ketemuan di mana?]

Tak lama kemudian ia membalasnya. Arkan ingin bertemu di salah satu mall dekat kantorku. Ia mengajakku memilih cincin untuk lamaran nanti. Katanya, kalau beli sendiri, khawatir ukurannya tidak pas di jari. Aku masih malu kalau jalan berdua.

[Aku boleh ajak Sherly, kan?]

[Tentu saja]

Baiklah, sore ini aku akan puas menatap wajah kaku Pak Guru lagi. Ahaaay.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status