Share

Resah dan Gelisah

"Abang nganterin souvenirnya besok aja, ya?" Nindi memohon, bukan, tepatnya merengek manja pada Arkan dengan mimik wajah yang dibuat-buat. Ish, lebay deh.

"Lagian ngapain juga sih, datang ke sini segala? Biasanya juga Abang yang nganter dari kemarin-kemarin. Emang dasar ganjen!" lanjutnya.

"Nindi!" Mata Arkan membulat, tangannya menutup mulut adiknya yang seperti rem blong itu. Lalu, ia menyuruh Nindi untuk meminta maaf padaku. Namun, Nindi hanya mengerucutkan bibir, menggerutu tidak jelas. Gadis bertubuh mungil itu terus saja merangkul lengan Arkan dengan mesranya.

Kali ini ucapan Nindi benar-benar membuatku geram, ditambah tatapan sinisnya tadi. Berhasil membenarkan prasangkaku selama ini, kalau Nindi memang sangat menyebalkan.

Aku memang menahan diri untuk tidak membalas ucapannya, tetapi dalam hati terus saja memaki. Mungkin Arkan menyadarinya begitu melihat ke arahku. Entah rupa wajahku seperti apa, yang jelas aku juga tidak bisa menyembunyikan kekesalan ini.

"Maaf banget, ya, Ri. Tunggu sebentar." Arkan bangkit, menarik kasar lengan Nindi, lalu berjalan ke ruang tengah. 

Aku menarik napas, lalu mengembuskannya kasar. Baru kali ini ada yang berani memakiku secara terang-terangan. Seorang gadis di bawah umur, yang tak lain adalah calon adik iparku sendiri. Lihat saja, apa yang akan dilakukan Abang kesayangannya itu?

Aku sampai tak menyadari kalau mereka sudah hilang dari pandangan. Padahal tadi, Arkan masih terlihat berdiri di dekat meja makan. Mungkin, ia sedang memarahi adiknya di kamar, atau malah mengalah demi ... adik satu-satunya yang menyebalkan itu.

Pelipisku tiba-tiba saja berdenyut, refleks kupejamkan mata. Lalu, tangan kananku menekan pelan sambil memijitnya perlahan. Dari arah dalam terdengar derap langkah mendekat.

"Neng Riri, kenapa? Pusing?" 

"Eh, Ibu ... nggak kok. Saya nggak pa-pa." Aku menyunggingkan senyum, meski terpaksa.

Bu Rukmini ternyata mendengar semuanya. Ya, ia sengaja tetap berada di dalam karena tidak ingin suasana menjadi semakin runyam. Wanita berambut panjang ini mengatakan kalau Nindi paling tidak bisa dimarahi di depan orang lain. Ia tahu betul karakter anak bungsunya itu.

"Ibu harap, Neng Riri bisa maklum dengan sikap Nindi tadi. Sebenarnya Nindi itu anak yang manis dan penurut. Ia hanya takut kalau nanti berada jauh dari Arkan." Bu Rukmini mengusap pundakku sambil tersenyum.

Jadi, Nindi hanya ingin membuatku kesal dengan menunjukkan rasa tidak sukanya. Dan ia memang berhasil. Entah apa yang ada dipikiran gadis empat belas tahun itu. Mungkin ia terlalu banyak menonton sinetron di televisi.

Akhirnya aku pamit pulang. Arkan belum juga kembali, apa sangat sulit membujuk adiknya itu? Padahal aku menunggunya di sini.

"Kamu nggak nunggu Arkan dulu, Neng?"

"Nggak usah, Bu. Salam aja, buat Nindi juga." Aku melangkah keluar, lalu bergegas meninggalkan rumah Arkan dengan motor matic kesayangan.

*

Sudah lebih dari sepuluh menit Pak Penghulu menunggu. Aku sudah berkali-kali menghubungi Arkan, tetapi ponselnya tidak aktif. Aku mulai cemas, memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ayah berusaha menenangkanku. Begitu juga dengan Mama. Mungkin ada satu kendala di jalan, katanya.

Aku berusaha mengusir berbagai pikiran negatif. Namun, tetap saja hatiku resah. Padahal, semalam aku masih berkirim pesan dengannya. Arkan bilang kalau semua persiapan sudah beres. 

Sejak tadi, aku masih duduk diam di kamar, sendiri. Sengaja aku meminta Mama agar berjaga di luar untuk menyambut kedatangan keluarga Arkan.

"Ri, gimana? Ada kabar nggak?" Sherly menghampiriku.

Aku menggeleng, dalam hati masih terus berdoa. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Arkan dan keluarganya. Tak lama berselang, dari arah luar terdengar riuh suara salawat dan tabuhan rebana. Pertanda kalau keluarga Arkan sudah tiba. Alhamdulillah.

Akad nikah berlangsung khidmat. Arkan mengucapkan ijab kabul dengan lancar dan lantang. Aku bersyukur, ada perasaan haru menyelimuti hati. Saat kumeraih dan mencium tangan kekar itu untuk pertama kalinya. Bibir itu melengkung sempurna, memperlihatkan senyum terindah yang selama ini kudamba.

Aku belum melihat Nindi sejak melangkah keluar dari kamar. Apa ia tidak datang? Ah, mana mungkin di hari bersejarah Abang kesayangannya ini, ia tidak hadir.

Setelah sungkeman kepada kedua orang tua, tibalah saatnya aku dan Arkan duduk di pelaminan. Menerima ucapan selamat dari semua tamu undangan. Pertama, MC memanggil keluarga dan kerabat Arkan untuk naik ke pelaminan.

Semua keluarga dari pihak Bapak dan Ibu mertuaku datang dan memberikan ucapan pada kami. Termasuk Bang Arya--kakaknya Arkan--dan istri beserta kedua anaknya. Nindi turut memberikan ucapan padaku, sesaat terdengar begitu terpaksa. Namun, bisikan Arkan membuat bibir mungil itu tersenyum dan kedua tangannya memelukku. 

"Maafin Nindi, ya, Kak," ucapnya lirih, tetapi telingaku dapat mendengarnya.

*

Aku merebahkan tubuh yang terasa sangat lelah, setelah seharian berdiri menyalami para tamu undangan. Arkan masih di luar, menemani beberapa teman kuliahnya yang belum lama datang. Jam di dinding menunjukkan pukul 21.15. Rasa kantuk mulai menyerang, beberapa kali aku menguap. Rasanya malas sekali ingin beranjak ke kamar mandi. Mata ini sudah sangat lelah dan lama kelamaan mulai terpejam.

Aku seperti merasakan tepukan halus di pipi. Makin lama semakin intens, dan terdengar suara seseorang memanggil namaku. Aku mengerjap perlahan, lalu mulai tersadar kalau tadi ketiduran. Refleks aku bangkit, karena begitu mataku terbuka, wajah Arkan-lah yang pertama kulihat.

"Maaf, aku ketiduran." Aku mengusap wajah, memastikan apa ada jejak basah di pipi. Malu rasanya kalau Arkan tahu, istrinya ini ileran saat tertidur.

"Kamu kecapean, sampai belum sempat ganti baju." katanya sembari menyentuh kakiku.

"Iya, aku ngantuk banget tadi."

Wajah Arkan terlihat segar, apa dia habis mandi? Ia mengenakan kaus dan celana panjang selutut. Rambutnya tampak sedikit basah. 

"Ya udah, mandi gih. Belum salat Isya juga, 'kan?"

Mandi? Tengah malam begini? Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Berpikir sejenak, alasan apa yang aku berikan untuk menolak perintahnya barusan. Tunggu, perintah? Baru juga beberapa jam ia menjadi suamiku. Aku bukan anak kecil yang diperintah untuk mandi. Lagi pula, sudah hampir jam dua belas malam. Bisa kedinginan aku.

Baiklah, Arkan tidak perlu tahu aku mandi atau tidak. Aku beranjak ke lemari untuk mengambil baju ganti. Lalu, membawanya keluar menuju kamar mandi yang berada di antara kamarku dan kamar Haikal.

*

Aku merasakan seperti ada beban yang menimpa di perut. Juga terdengar dengkuran halus di telinga. Arkan? Refleks kubuka mata yang sebenarnya masih terasa sangat berat. Namun, saat kesadaranku penuh, tubuhku langsung bergeser menjauh. Pria di sampingku ini tidurnya nyenyak sekali. Ia tak bergerak sedikit pun saat tangannya kusingkirkan dari perut.

Kupandangi wajah polosnya. Ya, kata seorang teman, jika ingin tahu wajah manusia tanpa dosa lihatlah ketika orang itu sedang tidur. Entah apa yang mendasari pemikirannya itu. Kalau diperhatikan dengan seksama, Arkan lebih dominan mirip dengan ibunya. Hanya postur tubuh yang tinggi dan tegap menurun dari bapaknya.

Ingin sekali kusentuh wajah tampan pria yang berstatus suamiku ini. Aku beringsut mendekat, menyentuh pipinya perlahan. Oh Allah, wajah ini yang dulu seringkali kupandangi diam-diam. Apalagi saat menjalani hukuman darinya jika tidak mengerjakan PR. 

Duh, aku jadi teringat ekspresi wajahnya saat ... maafkan aku, Pak Guru yang tampan. Aku masih merasa bersalah atas kejadian semalam. Jujur, aku pun sulit memejamkan mata, resah dan gelisah karena merasa berdosa telah melalaikan kewajiban.

"Maafin, aku, ya." Tanpa sadar aku menyentuh bibirnya, tiba-tiba saja Arkan memegang pergelangan tanganku, padahal matanya masih terpejam.

"Arkan, kamu udah bangun, ya?" Aku menelan ludah, berusaha melepas pegangannya. Namun, malah semakin kuat. Lalu dalam hitungan detik aku sudah berada dalam pelukannya.

"Tuh, 'kan, pura-pura tidur, bangun nggak! Lepasin ...!" Aku mendorong pelan tubuhnya, tetapi tenagaku kalah kuat. Arkan masih saja memejamkan matanya.

Terdengar Azan Subuh berkumandang. Akhirnya, ada alasan untuk aku terbebas dari dekapannya.

"Arkan ... aku mau salat." Kembali aku dorong tubuhnya perlahan. Syukurlah, ia melepaskan rengkuhannya. Ia lalu berbalik memunggungiku. 

Saat aku beranjak dari kasur hendak membuka lemari, ia berkata, "Kamu masih punya utang sama saya." Aku menoleh, Arkan masih di posisinya berbaring ke kiri tanpa melihatku.

Aku tahu apa maksudnya .... 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status