Share

Malam Pertama ?

Warning! 21+

Bab 5

Malam Pertama?

Aku harus berbuat apa setelah ini? Rasanya masih malu untuk ... aahhh ....

Aku mendengkus, kesal! Memangnya hanya kamu saja yang mau? Lihat saja nanti! aku bakalan habisin kamu, Arkana Putra. Duh! Ngomong apa, sih aku!

Aku ambil baju yang akan kukenakan nanti di hadapannya. Aku menyeringai tipis, membayangkan ekspresinya nanti ketika melihat penampilanku. We'll see ....

.

Selesai melipat mukena, aku hendak ke luar kamar menuju dapur. Perutku sudah meminta untuk diisi. Minimal segelas teh hangat sebagai energi untuk memulai aktivitas pagi. Namun, langkah kaki ini terhenti saat Arkan menarik lenganku pelan. Arkan baru saja selesai mengaji. 

"Mau ke mana?" tanyanya menyelidik.

"Ke dapur, aku laper. Mau sekalian aku bikinin kopi?" 

"Saya nggak biasa ngopi pagi." Arkan mulai merapatkan tubuhnya. Membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Padahal belum pemanasan juga, eh. Apa sih Riri!

"Te-terus, bi-biasanya minum apa?" Duh, kenapa jadi gemetar begini, sih! Padahal tadi aku berniat ingin menantangnya.

Bukannya menjawab, Arkan malah membungkam mulutku dengan bibirnya seraya membingkai wajahku. Aku yang tidak siap, hanya bisa menelan ludah, pasrah. 

Beberapa detik aku dibuat mematung olehnya. Jangan tanya bagaimana kabar jantungku? Hampir saja ia lepas saking cepatnya berdetak. Pasokan oksigen serasa tercekat di kerongkongan. Akhirnya Arkan melepas pagutannya, aku bernapas lega.

"Maaf." Arkan berbalik, wajahnya tampak memerah.

Tanpa membuang waktu, aku beranjak ke luar kamar meninggalkan Arkan dengan debaran di dada yang mulai mereda. 

Di dapur, ada Mama yang sedang memasak nasi goreng.

"Duh, harumnya ... bikin perut tambah keroncongan." Aku meraih dua gelas di rak, kemudian membuat teh manis hangat.

"Arkan mana? Ajak sarapan, sebentar lagi matang nih." ucap Mama seraya menuangkan kecap ke wajan yang berisi penuh nasi goreng.

"Kayaknya, kita mau sarapan di kamar aja deh, Ma. Nggak pa-pa, 'kan?" Aku hentikan mengaduk gelas teh, agar suara pelanku terdengar Mama.

Mama menoleh sesaat, lalu tersenyum penuh arti. Ia lalu kembali mengaduk nasi gorengnya sampai benar-benar matang sempurna. 

"Makan yang banyak, biar ada tenaga." Mama menyikut lenganku sambil senyum-senyum tidak jelas.

"Apaan sih, Mama ...." Aku berpaling, agar Mama tidak melihat wajahku yang mulai memanas. Lebih baik segera menyiapkan sarapan.

"Aku ke kamar, ya, Ma." Sambil membawa nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh manis, aku kembali ke kamar dengan perasaan yang entah. Grogi, gemetar, juga ... malu. Begini, ya, rasanya jadi pengantin baru.

 

"Jangan lupa kunci kamar." Terdengar suara Mama setengah berteriak. Ish malu-maluin, semoga Haikal nggak dengar. Aku menoleh sesaat, tampak Mama masih cekikikan sendirian. Ish, senang sekali godain anaknya. Hadeeh.

Aku buka pintu kamar perlahan, khawatir nampan di tanganku terjatuh. Tampak Arkan sedang duduk di ranjang dengan kepala bersandar, melakukan video call dengan seseorang. Aku letakkan nampan di nakas. Lalu menuju pintu, menutup dan tak lupa menguncinya.

"Udahan dulu, ya, De." 

"Tapi beneran ntar sore ke sini, ya. Awas lho!" Suara Nindi terdengar begitu manja.

Setelah video call berakhir, Arkan meletakkan ponselnya di nakas. Sebenarnya aku ingin bertanya, ada perlu apa Nindi sampai video call pagi-pagi begini. Namun, aku urungkan, khawatir merusak suasana hati.

"Kita sarapan, dulu, yuuk." Aku mengambil sepiring nasi, lalu menyerahkannya pada Arkan. 

Arkan menerimanya, tetapi langsung diletakkan kembali. Ia mengambil segelas teh, lalu meneguknya hingga tersisa setengahnya. 

"Kok, nggak dimakan?" 

"Nanti saja, kamu, duduk sini!" Arkan menyuruhku untuk duduk di sampingnya.

Aku hendak mengambil piring, tetapi suara Arkan menghentikan tanganku. "Makannya nanti aja, 'kan udah saya bilang." Seperti biasa, nada bicaranya datar. 

Ish, aku kira kamu yang makannya nanti. Dasar Pak Guru kaku! Apa kamu tidak bisa bersikap sedikit hangat seperti perlakuanmu pada Nindi? Sayangnya, aku hanya bisa mengumpat dalam hati.

Dengan langkah terpaksa, aku menghampiri Arkan, duduk di sampingnya bersandar pada kepala ranjang. Aku mengambil bantal, lalu kuletakkan di pangkuan. Sesaat kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sepertinya begitu. 

"Kamu harus bayar utang sekarang." Ia menoleh, menatapku dengan tatapan yang ... entah, sulit kutebak.

"Tapi perutku lapar, aku ... ma-makan dulu, ya."

"Aku lebih lapar, sudah menahannya sejak semalam."

Deg! Aku merasa tertampar. Teringat kejadian semalam, saat aku menolaknya. Bukan, bukan menolak, aku hanya menundanya sampai aku merasa siap. Lagi pula, semalam itu aku tidak mandi, kan malu kalau aroma ketiakku tercium. Aku hanya tidak ingin meninggalkan kesan pertama yang buruk. Jaga image. 

Aku harus bagaimana? Ya ampun, baru kuingat. Aku mengenakan pakaian double. Duh! Bakalan tambah malu kalau sampai terjadi sekarang. 

"A-Arkan, aku haus. Boleh minum dulu, 'kan?"

Tanpa menjawab, ia langsung mengambil segelas teh yang masih utuh, lalu memberikannya padaku. Aku meminumnya hingga tandas. Kemudian, Arkan mengambil gelas di tanganku dan meletakkannya kembali di nakas.

Aku teringat ekspresi wajahnya saat penolakan semalam. Saat itu juga, aku hanya bisa meminta maaf, lalu berbaring memunggunginya. Entah apa yang ia rasakan, apa yang ada dalam pikirannya. Yang jelas, aku menyesal karena tersadar kalau aku telah berdosa, hingga tidurku tidak nyenyak semalaman.

Sekarang, aku tidak boleh menundanya lagi. Kembali aku teringat sesaat setelah selesai menunaikan salat Sunah dua rakaat tadi malam. Arkan mencium puncak kepala, lalu memegang ubun-ubunku seraya merapalkan doa. Aku merasa ada yang bedesir di hati.

"Riri ...." Suara Arkan membuyarkan lamunan. Arkan meraih daguku, kemudian mendekatkan wajahnya. Kalau sudah seperti ini, rencana yang kubayangkan sejak tadi bakalan gagal.

Aku hanya menurut dan pasrah dengan apa yang ia lakukan setelahnya. Arkan berhak atas diriku. Aku juga tidak ingin kembali mendapat laknat malaikat. Begitu isi salah satu hadist yang pernah ku dengar dari tausiah seorang ustadz.

*

Arkan terus saja memandangiku yang tengah menyisir rambut. Aku bisa melihatnya dari pantulan cermin. Ah, aku masih malu mengingat ekspresi Arkan ketika tahu kalau aku mengenakan lingeri di balik baju yang kupakai tadi. 

"Cara pakainya bukan seperti ini," ujarnya tadi, seraya menahan tawa.

Ah ... malam pertama yang benar-benar memalukan, untukku. Tunggu, bukan malam pertama, karena ini sudah pagi, 'kan?

"Mau duduk di situ terus? Sini!" Arkan menepuk tepi ranjang.

Kenapa sih, dia senang sekali memerintah? Mentang-mentang seorang guru. Aku menghampiri, lalu duduk di sisinya. Arkan mendekatkan wajahnya, lalu membisikkan sesuatu. "Boleh nambah, nggak?" Sontak aku menarik wajah, menggeser duduk agar menjauh.

"Apaan sih, kamu?!" Aku memalingkan wajah.

"Rambutku aja masih basah," lanjutku.

"Kalau begitu, nunggu rambutmu kering." 

Aku menoleh, melihatnya sedang menahan tawa. Refleks kuambil bantal, lalu melempar ke arahnya. Ia tak sempat menghindar, tawanya pecah. Ish, apanya yang lucu?

"Aku cuma bercanda, Sayang."

Apa yang dia bilang tadi? Sayang? Aku mendekatinya perlahan. Ingin memintanya untuk mengulang ucapan yang tadi.

"Coba ulangi! Aku nggak dengar."

"Nggak ada siaran ulang." Arkan berdiri, lalu berjalan ke arah pintu. Sebelum membukanya, ia menoleh lalu kembali berucap, "Saya tunggu di teras, ya. Temani saya jalan-jalan. Siap-siap gih, pakai jilbab." Tanpa menunggu jawaban dariku, ia langsung melesat ke luar.

*

Suasana komplek lumayan ramai, mengingat ini hari minggu. Banyak anak-anak yang bersepeda, atau sekedar lari berkejaran dengan temannya. Ada beberapa ibu yang sedang menyuapi anaknya di atas sepeda roda tiga. Sesekali aku menyapa mereka. Ada juga yang menyapaku sambil menggoda. "Duh, pengantin baru bukannya diam di kamar," ucap Bude sayur keliling langganan Mama sambil cengengesan. Kami hanya menanggapinya dengan senyuman.

Aku dan Arkan berjalan beriringan mengitari sekeliling komplek perumahanku. Embusan angin terasa dingin menerpa wajah. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Memang, cuaca agak sedikit mendung.

"Ri, nanti sore kita ke rumahku, ya." Arkan berucap, tatapannya lurus ke depan. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Mau ngapain?"

"Kita menginap di sana, cuma semalam aja, kok."

Aku mengiyakan permintaannya. Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang Nindi. Awalnya, Arkan hanya menjawab seperlunya. Namun, lama-lama seperti ada sesuatu yang ia tutupi dariku. Terdengar dari nada bicaranya yang agak ragu. Juga ekspresi wajahnya ketika mengatakan hal itu. Aku bisa melihat dari sorot matanya.

Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggilku dari arah motor yang sedang melaju. Orang itu mengentikan laju motornya, lalu menyapaku lagi.

"Riri, 'kan?" Ia bertanya, terdengar agak ragu.

"Iya. Romi apa kabar?" Aku menghentikan langkah, begitu juga Arkan.

"Baik, kamu nanti ikutan reuni nggak?" 

Reuni? Aku tidak mendapatkan info terupdate. Memang, sih pernah ada wacana alumni SD tempatku menimba ilmu akan mengadakan reuni akbar.

"Aku belum tau, memangnya kapan?"

"Minggu depan. Ayolah, ikut. Bareng Karin sama Najwa."

"Aku ... harus minta izin suamiku dulu." Aku melirik Arkan. 

Setelah berkenalan dengan Arkan, Romi kembali melajukan kuda besinya itu. Dan kami, melanjutkan perjalanan menuju arah pulang.

*

Aku dan Arkan sedang menonton televisi saat ponsel Arkan berdering. Padahal, baru saja aku menyandarkan kepala di bahunya. Terpaksa kuangkat kepala, lalu bergeser sedikit memberi jarak, karena Arkan harus merogoh sakunya. Setelah mendapatkan benda pipih itu, ia menempelkannya di telinga.

"Iya, Abang ingat."

Pasti Nindi lagi. Mengganggu saja! Aku harus tuntaskan rasa penasaranku tentang Nindi. Setelah ini, akan kutanyakan lagi. Arkan tidak boleh menutupi apa pun dariku.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status