Mayzura terbangun dari pingsannya dan membuka mata perlahan. Ia terkejut ketika melihat dirinya berada di sebuah kamar yang terasa asing. Lebih tepatnya dia terbaring di atas ranjang berukuran king size yang entah milik siapa. Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. Mayzura berusaha menajamkan penglihatan. Di sekeliling kamar bernuansa hitam putih ini dia hanya seorang diri, diterangi lampu tidur dari arah nakas. Namun, Mayzura bisa melihat sedikit cahaya matahari dari sela-sela tirai yang tertutup. Menandakan bahwa ini mungkin masih siang atau menjelang sore hari. Perlahan-lahan, Mayzura mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk. Hanya saja ia merasa kesulitan karena pakaian yang menempel di tubuhnya lumayan berat. Tatkala mengamati dirinya sendiri, gadis itu baru tersadar bahwa ia masih memakai gaun pengantin. Mayzura pun coba mengingat-ingat apa yang terjadi dan mengapa ia sampai pingsan. Bukankah tadi ia masih berdiri di depan altar untuk mengucapkan sumpah pernikahan? Lal
Bagaikan terbakar api, wajah Gavindra langsung merah padam. Begitu pula dengan darahnya yang serasa mengumpul di ubun-ubun. Bagaimana tidak. Mayzura telah menginjak-injak martabatnya berkali-kali. Tak hanya pingsan di upacara pernikahan mereka, istri yang baru saja dinikahinya itu juga telah menolaknya. Dan lebih gilanya lagi, Mayzura malah mengaku secara terang-terangan bahwa dia mencintai pria lain. Sungguh, kejadian ini begitu dramatis sama seperti kisah novel yang ditulis sendiri oleh Mayzura. Gavindra pun menatap nyalang pada istri kecilnya itu. Ingin rasanya ia mencekik Mayzura atau menyeretnya keluar dari kamar. Namun, melihat betapa beraninya gadis ini mengakui perasaannya, Gavindra jadi berpikir ulang. Mungkin lebih baik ia bermain-main dulu dan membuat Mayzura tersiksa secara batin maupun fisik. Dengan demikian, penghinaan yang diterimanya akan terbayar lunas. “Bagus! Kamu memang tidak boleh mencintaiku, karena bagiku kamu sama seperti wanita bayaran. Ayahmu sendiri yang
Betapa pun keras Mayzura berusaha, tetap saja ada cairan bening yang lolos dari sudut matanya. Namun Gavindra seolah tak peduli. Lelaki itu malah semakin mendekat, hingga Mayzura terpaksa menahan kaki Gavindra dengan kedua tangannya. “Saya mohon, Tuan, saya tidak bisa melakukan ini,” ulang Mayzura. Berharap Gavindra masih memiliki sedikit rasa peri kemanusiaan. “Bangun, aku paling benci wanita yang cengeng! Kamu pikir aku akan mendengarkan omong kosongmu ini? Sekarang lakukan tugasmu sebagai seorang istri!”Campuran antara gairah dan kebencian membuat kepala Gavindra seakan ingin meledak. Tentu saja dia berhak meminta haknya sebagai suami. Selama Mayzura terikat padanya, maka ia akan memanfaatkan kekuasaan ini sebaik mungkin. Merasa tak sabar lagi, Gavindra menghentakkan kakinya hingga genggaman tangan Mayzura terlepas. Hanya dengan satu tangan, lelaki itu berhasil memaksa Mayzura untuk bangun dan menyeretnya menuju ranjang. Gavindra lalu mendorong tubuh sang istri dan menghempaska
Sembari menunggu dalam ketidakpastian, Mayzura berusaha melepas gaun pengantin yang masih menempel di tubuhnya. Meskipun sedikit kesulitan, Mayzura berhasil meloloskan gaun itu. Kemudian, ia menyalakan kran shower hingga maksimal untuk membersihkan tubuh. Berulang kali, Mayzura membasuh wajah dan rambutnya untuk meluruhkan segala jejak kepedihan yang ada. Namun, linangan air matanya justru kembali meluncur deras, bercampur dengan aliran air hangat yang mengucur dari shower.Sembari meraba bibirnya yang kebas dan membengkak, Mayzura teringat akan ciuman pertamanya dengan Sadewa. Awalnya, ia marah besar, tetapi setelah itu ia justru terbayang-bayang akan ciuman tersebut. Bahkan, jantungnya tak henti berdebar-debar bila berdekatan dengan Sadewa.Berbeda dengan sekarang. Luka yang dibuat Gavindra memang terasa perih, tetapi jauh lebih sakit lagi luka yang tertoreh di dalam batinnya. Kini, Mayzura merasa bagaikan rumput liar yang tak berharga. Kapan pun Gavindra ingin menginjak atau mencab
Usai menyampaikan titahnya mengenai Mayzura, Gavindra langsung masuk ke kamar sembari membanting pintu. Meninggalkan suara berdebum yang berdengung di gendang telinga Mayzura. Tidak ada sedikit pun keluhan yang terucap dari bibir Mayzura, karena semua ini adalah murni kesalahannya yang telah menyakiti hati Gavindra. Malam pertama yang mestinya dilalui oleh pasangan pengantin dengan penuh cinta, kini justru berubah menjadi malapetaka. Wajar saja jika pria yang telah menjadi suaminya itu mendepaknya dan berniat menghabiskan malam bersama wanita lain. Pasalnya, ia memang tidak sanggup memenuhi kewajiban sebagai istri. Lagi pula Mayzura menyadari bahwa dirinya adalah wanita yang telah ternoda, tidak pantas lagi untuk dipuja.“Mari ikut saya ke bawah, Nona. Apa perlu saya bantu untuk turun tangga?” ucap Tama memecah kesunyian. Ia tetap bersikap sopan mengingat Mayzura adalah istri dari sang tuan muda. Terlebih, ia tahu persis bahwa Mayzura baru saja siuman dari pingsan. “Tidak perlu, aku
Mata Sadewa tak kunjung berhenti melihat ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan sang kekasih. Sementara, Abimana yang melihat keajaiban itu langsung terperanjat sekaligus senang. Masa panjang penantiannya kini telah berakhir dengan pulihnya Sadewa dari koma.Dengan pergerakan tangan yang cepat penuh kekhawatiran, Abimana menjalankan kursi rodanya dan mendekat pada Sadewa yang terbaring di atas ranjang. Sebelumnya sempat terdengar racauan dari Sadewa memanggil nama Mayzura. "Syukurlah kamu sudah sadar, Dewa. Sebentar, Paman panggilkan dokter dulu." Abimana yang sempat berjalan mendekat ranjang Sadewa berhenti sesaat, lalu memutar arah untuk memanggil dokter. Tombol berwarna putih yang ada di dekat ranjang dilupakan, karena terlalu bersemangat. Abimana teriak memanggil dokter dengan wajah antusias. Namun, suara Sadewa sesaat menghentikan aktivitas Abimana. "Mayzura, di mana dia, Paman? Tolong pastikan keadaan dia baik. Aku ....""Dewa, kamu baru saja sadar. Pikirkan saja kesehata
Berulang kali di dalam hati, Mayzura menahan rasa takut. Pertanyaan menghantuinya saat Gavindra terus menarik tangannya tanpa ada bicara sedikit pun. Padahal, Gavindra tadi mengusirnya supaya bisa bersenang-senang dengan wanita bayaran. "Tuan, apa yang terjadi? Kenapa—""Ikut saja, jangan banyak bicara!" sentak Gavindra. Mulut Mayzura langsung terkatup rapat serta matanya berpaling takut. Ternyata, Gavindra membawa Mayzura masuk ke dalam kamarnya dan pintu langsung tertutup rapat. Suasana di dalam kamar menjadi semakin tegang, dengan Mayzura yang merasa terperangkap di dalamnya. Dia menatap ke arah Gavindra, yang sudah duduk di atas kasur dengan senyum miring di wajahnya. Senyum itu terasa mengancam, membuat bulu kuduk Mayzura merinding."Tuan?" lirih Mayzura."Malam ini belum berakhir, Mayzura. Jangan kamu pikir, aku sudah melepaskanmu.”Mendengar penuturan pelan dan penuh penekanan dari Gavindra menambah rasa gentar dalam diri Mayzura. Ia merasa seperti dihadapkan pada predator y
“Bukankah kamu adalah istri Kak Gavindra, bukan pelayan? Lalu kenapa kamu melakukan hal menjijikkan seperti ini,” sindir Soraya pada Mayzura yang duduk di lantai dengan mata berembun.“Saya—““Dia di sini untuk menjadi pelayan, Aya. Wanita seperti dia tidak pantas menjadi istriku!” tegas Gavindra yang entah sejak kapan berdiri di pintu. Mungkin karena mengetahui kedatangan adiknya, lelaki itu kembali ke kamar.“Jadi Mayzura akan menjadi pelayan di rumah ini?” beo Soraya. Tatapan remeh serta senyum miring tercetak di bibir perempuan itu. “Apa Mayzura melakukan kesalahan padamu, Kak?” lanjut Soraya.“Dia sudah berani membangkang terhadap perintahku. Sekarang, biar dia menanggung konsekuensinya,” ketus Gavindra.“Baiklah, aku mendukung apa pun keputusanmu, Kak. Kita memang tidak perlu baik kepada gadis seperti dia.”Mendengar percakapan kakak beradik itu, Mayzura berdiri dengan lutut yang gemetaran. Dia menatap sekilas wajah Gavindra dan Soraya bergantian, lalu menundukkan kepala. Tak ad